Ekonomi Sirkular Butuh Fondasi dan Pengawasan yang Kuat
Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia menghadapi tantangan, mulai dari kebijakan pemerintah hingga kepemimpinan organisasi di internal setiap industri.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan ekonomi sirkular diyakini mampu berkontribusi positif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Namun, penerapan ekonomi sirkular di Indonesia membutuhkan fondasi kebijakan hingga pengawasan yang kuat.
Ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi yang meminimalkan penggunaan sumber daya, limbah, atau emisi. Caranya bisa dari desain sumber daya yang tahan lama, penggunaan kembali, produksi ulang, atau perbaikan ulang.
”Inovasi perangkat teknologi ramah lingkungan, baik untuk produksi di skala industri maupun rumah tangga, sudah berkembang. Nilainya pun semakin terjangkau. Hal yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah fondasi kebijakan ekonomi sirkular yang kuat disertai pengawasan dan penegakan hukum,” ujar Managing Director Waste4Change dan Pendiri Greeneration M Bijaksana Junerosano dalam webinar ”Penerapan Circular Economy untuk Bisnis yang Berkelanjutan di Indonesia”, Selasa (28/9/2021), di Jakarta.
Fondasi kebijakan ekonomi sirkular, lanjut Bijaksana, tidak harus baru. Pemerintah bisa memperkuat kebijakan yang sudah ada, seperti anggaran untuk pembangunan lingkungan berkelanjutan. Soal pengawasan pelaksanaan kebijakan, Indonesia juga dikenal masih amat kurang.
Advisory Board Chairman School of Government and Public Policy Gita Wirjawan menambahkan, selain keterbatasan anggaran, tantangan penerapan ekonomi sirkular di Indonesia sangat struktural. Penerapan konsep ini belum melibatkan dunia pendidikan secara optimal. Apabila konsep ekonomi sirkular ditanamkan sejak pendidikan dasar, anak usia dini akan terbiasa menghargai ekonomi sirkular.
Penerapan konsep ini belum melibatkan dunia pendidikan secara optimal. Apabila konsep ekonomi sirkular ditanamkan sejak pendidikan dasar, anak usia dini akan terbiasa menghargai ekonomi sirkular.
”Tantangan berikutnya adalah ada kesan bahwa perangkat teknologi ataupun barang hasil olahan yang dianggap ramah lingkungan itu mahal,” kata Gita.
Terkait penerapan ekonomi sirkular, Direktur Lingkungan Hidup pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengakui bahwa penerapannya di Indonesia cenderung didominasi kalangan pebisnis atau perusahaan skala besar. Pelaku usaha berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum terlibat aktif.
”Peningkatan pemahaman terkait ekonomi sirkular perlu ditingkatkan. Untuk mendorong partisipasi UMKM, perlu keterlibatan aktif dari Kementerian Koperasi dan UKM,” ujar Medrilzam.
Menurut Medrilzam, pemerintah tengah merancang pemberian stimulus kepada pelaku industri yang menerapkan ekonomi sirkular. Untuk mendorong partisipasi sektor industri, pemberian insentif juga dipertimbangkan.
Visi dan kepemimpinan
Head of Sustainability GoTo Group Tanah Sullivan, yang juga sebagai pembicara dalam webinar, berpendapat, ekonomi sirkular bukan sekadar tren. Penerapannya membutuhkan visi dan kepemimpinan organisasi dalam perusahaan atau di sektor industri.
Sementara itu, Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh menuturkan, penerapan ekonomi sirkular tidak hanya menyangkut pengelolaan sampah, tetapi juga sumber energi yang dipakai dalam proses produksi. Danone mengumpulkan dan memproses 13.000 ton botol plastik per tahun dengan melibatkan 9.000 UMKM pemulungan sampah. Botol plastik tersebut diseleksi, dicuci, dan dicacah untuk didaur ulang menjadi palet yang memenuhi standar food grade.
Danone mengumpulkan dan memproses 13.000 ton botol plastik per tahun dengan melibatkan 9.000 UMKM pemulungan sampah.
”Kami berusaha menggandeng UMKM dan pemerintah daerah dalam segala kebijakan ekonomi sirkular di perusahaan ini,” kata Vera.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Denmark dan UNDP telah merilis laporan studi The Economic, Social, and Environmental Benefits of Circular Economy in Indonesia. Studi ini menganalisis potensi ekonomi sirkular yang difokuskan pada lima sektor industri, yakni makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, ritel yang fokus pada kemasan plastik, dan elektronik.
Kelima sektor tersebut dipilih karena berpotensi menghasilkan limbah yang bisa mencemari lingkungan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Dari hasil studi ditemukan, penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor itu akan mampu mengurangi limbah 18-52 persen dibandingkan skenario dasar atau business as usual pada 2030.
Selain itu, penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri itu diperkirakan mampu menghasilkan tambahan produk domestik bruto Rp 593 triliun-Rp 642 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan baru sampai 2030, dan penurunan emisi 126 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030 (Kompas, 26/1).