Dibayangi Isu Politis, RI-Australia Tetap Genjot Implementasi IA-CEPA
Di tengah isu politik yang dialami Australia, Indonesia tetap berkomitmen mengimplementasikan IA-CEPA. Hal itu dalam rangka meningkatkan perdagangan kedua negara sekaligus meningkatkan kerja sama investasi.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Australia berkomitmen menggenjot implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) di tengah pandemi Covid-19 dan isu politis yang menerpa Australia. Dua komitmen dari sejumlah kesepakatan dalam IA-CEPA yang akan didorong terkait dengan sektor perdagangan dan investasi.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan bilateral antara Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Dan Tehan di Jakarta, Rabu (29/9/2021). IA-CEPA mencakup poin-poin tentang perdagangan bebas, investasi, visa pelatihan kerja, arbitrase antara investor, perdagangan elektronik, dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Kedua negara menandatangani IA-CEPA pada Maret 2019. Kemudian Australia meratifikasi perjanjian itu pada November 2019 dan Indonesia pada Februari 2020. Kedua negara mulai mengimplementasikannya pada 5 Juli 2020.
Lutfi mengatakan, pandemi Covid-19 menghambat implementasi IA-CEPA, terutama di sektor perdagangan. Pada 2020, nilai perdagangan RI-Australia turun 8,8 persen menjadi 7,1 miliar dollar AS lantaran imbas pandemi Covid-19.
”Namun, pada tahun ini, perdagangan kedua negara meningkat cukup signifikan. Kami optimistis perdagangan kedua negara akan meningkat untuk menopang pemulihan ekonomi,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Pandemi Covid-19 menghambat implementasi IA-CEPA, terutama di sektor perdagangan. Pada 2020, nilai perdagangan RI-Australia turun 8,8 persen menjadi 7,1 miliar dollar AS lantaran imbas pandemi Covid-19.
Kementerian Perdagangan mencatat, total perdagangan RI-Australia pada Januari-Juli 2021 senilai 6,82 miliar dollar AS, tumbuh 68,16 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari nilai tersebut, ekspor Indonesia ke Australia sebesar 1,85 miliar dan impor Indonesia dari Australia 4,96 miliar dollar AS.
Ekspor utama Indonesia ke Australia antara lain produk metal, kayu, peralatan televisi, dan pupuk. Adapun impor utama Indonesia dari Australia antara lain minyak bumi, batubara, sapi, bijih besi, dan konsentrat gandum dan meslin.
Menurut Lutfi, IA-CEPA tidak hanya menyangkut perdagangan, tetapi juga sejumlah sektor ekonomi yang lain, termasuk investasi. Oleh karena itu, Indonesia juga akan mengoptimalkan IA-CEPA untuk mendulang investasi, terutama di bidang teknologi dan inovasi.
”Di tengah isu politik yang dialami Australia, Indonesia tetap berkomitmen mengimplementasikan IA-CEPA. Hal itu dalam rangka meningkatkan perdagangan kedua negara sekaligus meningkatkan kerja sama investasi,” ujar Lutfi.
Di tengah isu politik yang dialami Australia, Indonesia tetap berkomitmen mengimplementasikan IA-CEPA. Hal itu dalam rangka meningkatkan perdagangan kedua negara sekaligus meningkatkan kerja sama investasi.
Saat ini, Australia tengah menghadapi berbagai isu politik. Australia bersama Inggris dan Amerika Serikat tengah disorot banyak negara lantaran membentuk aliansi AUKUS. AUKUS fokus pada pembangunan kapasitas pertahanan Australia agar dapat memiliki kapal selam bertenaga nuklir.
Australia juga tengah berkonflik dengan China lantaran seruan Perdana Menteri Australia Scott Morrison terkait dengan penyelidikan asal-usul virus korona baru penyebab Covid-19 pada April 2020. Hal itu membuat China membatasi impor batubara dari ”Negeri Kanguru” tersebut.
Di forum internasional, komitmen Australia terhadap perubahan iklim juga dipertanyakan. Hal itu menyusul kebijakan Pemerintah Australia yang tetap akan mempertahankan produksi batubara. Bagi Australia, batubara merupakan salah satu komoditas ekspor andalan, menyerap tenaga kerja, dan menjadi sumber utama pembangkit listrik.
Sementara itu, Dan Tehan mengemukakan, Australia tertarik berinvestasi di Indonesia. Banyak sektor investasi berpotensi di Indonesia, antara lain di bidang pendidikan, energi baru terbarukan (EBT), mineral, logam, perkebunan, dan peternakan.
”Dua sektor investasi yang paling menarik saat ini di Indonesia adalah EBT dan kendaraan listrik. Australia bisa menjadi pemasok beberapa bahan atau komponen utama sehingga bisa membantu Indonesia mengembangkan kendaraan listrik,” katanya.
Dalam webinar ”IA-CEPA: Supporting Economic Recovery Through Partnership” pada 21 September 2021, Indonesian Battery Company (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia menyebutkan, ada enam bidang kerja sama yang berpotensi digarap RI-Australia. Keenam bidang itu adalah penambangan dan pemurnian bahan baku; penyediaan bahan kimia dan komponen baterai; produksi baterai cell dan pack; ekosistem kendaraan listrik, termasuk infrastrukturnya; sistem penyimpanan energi (ESS); dan daur ulang baterai.
CEO IBC Toto Nugroho Pranatyasto menuturkan, salah satu potensi besar yang bisa digarap RI-Australia adalah sektor hulu baterai kendaraan listrik. Selain mengandalkan sumber daya dalam negeri, Indonesia juga membutuhkan impor litium untuk memproduksi baterai kendaraan listrik. Australia merupakan salah satu negara yang memiliki 44 persen cadangan litium di dunia.
Selain itu, Indonesia juga dapat bekerja sama dengan sejumlah perusahaan di Australia untuk mengembangkan ESS dan yang berminat untuk mengadopsi kendaraan listrik yang dibuat di Indonesia. ”Hal ini akan turut membantu Indonesia mewujudkan ekosistem rantai pasok kendaraan listrik dan meningkatkan ekspor Indonesia ke Australia,” ujarnya.