Pemerintah bersedia merevisi harga patokan ikan dan komponen pungutan hasil perikanan sepanjang nelayan dapat menunjukkan data faktur harga ikan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini & Kristi Utami
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP menyatakan akan merevisi pungutan hasil perikanan dengan mengubah harga patokan ikan dan komponen penghitungan tarif. Revisi tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP itu akan dilakukan dalam dua pekan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengatakan, pemerintah terbuka untuk menerima masukan terkait tarif pungutan. Pihaknya telah menggelar pertemuan dengan perwakilan nelayan pantai utara Jawa di Cirebon, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021), guna membahas harga patokan ikan (HPI) dan komponen tarif pungutan hasil perikanan (PHP) praproduksi.
Zaini mengatakan, pihaknya telah membuka data penghitungan tarif kepada pelaku usaha perikanan. Rumusan penghitungan PHP terdiri atas komposisi tangkapan, produktivitas, dan HPI. HPI tidak pernah naik sejak tahun 2011. Adapun dasar penentuan HPI yang baru adalah harga rata-rata ikan secara nasional untuk berbagai mutu ikan sepanjang tahun 2019 dan 2020.
”Masukan pelaku usaha sudah kami data dan akan diproses sepanjang datanya akurat. Hasil masukan akan dibawa ke rapat pimpinan. Saya janji (revisi) dalam dua minggu,” kata Zaini saat dihubungi, Selasa (27/9).
Sebelumnya, sejumlah asosiasi nelayan mengeluhkan ketentuan PNBP untuk usaha perikanan tangkap yang dinilai membebani nelayan. Tarif pungutan hasil perikanan untuk kapal perikanan meningkat hingga 400 persen di mana komponen penentuan tarif dinilai tidak adil (Kompas, 27/9).
Adapun dasar penentuan harga patokan ikan yang baru adalah harga rata-rata ikan secara nasional untuk berbagai mutu ikan sepanjang tahun 2019 dan 2020.
Menurut Zaini, pihaknya bersedia merevisi harga patokan dan komponen PHP kapal penangkapan ikan sepanjang pelaku usaha dapat menunjukkan data faktur harga ikan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan jika diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Sejauh ini beberapa harga patokan ikan akan diubah.
Persoalannya, lanjut Zaini, sebagian pelaku usaha meminta agar kenaikan tarif PHP sesuai keinginan mereka. Alasan pandemi Covid-19 yang membebani pelaku usaha kapal perikanan dinilai tidak relevan karena dampak pandemi terhadap sektor perikanan tangkap sangat kecil.
Zaini menambahkan, PHP praproduksi ini merupakan masa transisi sebelum pemerintah memberlakukan PHP pascaproduksi mulai 2023. Pungutan pascaproduksi dinilai akan lebih ideal bagi nelayan karena HPI ditentukan sesuai dengan lokasi pendaratan ikan, lokasi penjualan ikan, dan mutu ikan. Saat ini pemerintah sedang menyiapkan sarana pelabuhan.
”Ada persiapan untuk beralih ke pungutan hasil perikanan pascaproduksi. Pelabuhan sedang kami siapkan, termasuk kesiapan timbangan,” ujarnya.
Secara terpisah, Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Bilahmar mengemukakan, pemerintah dan pelaku usaha perlu duduk bersama dan beradu data riil. Selama ini pemerintah memantau buku kapal (logbook) dan laporan kegiatan penangkapan dari pelaku usaha.
”Ini kesempatan untuk beradu data agar penentuan patokan tarif akurat,” katanya.
Pihaknya bersedia merevisi harga patokan dan komponen PHP kapal penangkapan ikan sepanjang pelaku usaha dapat menunjukkan data faktur harga ikan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan jika diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.
Sementara itu, ratusan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Kota Tegal, Jawa Tengah, menolak kenaikan tarif pungutan hasil perikanan yang mencapai empat kali lipat dari tarif sebelumnya. Para nelayan akan berkirim surat ke Presiden Joko Widodo agar pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan tarif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, komponen penetapan tarif pungutan hasil perikanan per gros ton (GT) kapal dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal. Tarif ini berlaku untuk kategori kapal penangkapan ikan berukuran di atas 5 GT hingga 60 GT.
Melalui aturan tersebut, pemerintah memberi opsi tarif PHP pascaproduksi untuk kapal di atas 5 GT sampai 60 GT sebesar 5 persen dan kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen. Adapun opsi tarif PHP praproduksi untuk kapal 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen.
Akibat aturan itu, menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto, tarif PHP akan naik empat kali lipat dari sebelumnya Rp 900.000 per GT per tahun menjadi Rp 3,5 juta-Rp 4 juta per GT per tahun. Hal ini dinilai sangat memberatkan bagi nelayan.
”Jika memang harus ada kenaikan tarif pungutan, maksimal 50 persen saja dari sebelumnya. Biar usaha perikanan kami bisa berjalan dulu,” kata Riswanto, Kamis.
Nelayan Kota Tegal sedang dalam proses pergantian cantrang menjadi jaring tarik berkantong yang juga harus membayar PNBP supaya bisa mendapat surat izin usaha perikanan.