Penerimaan negara bukan pajak sektor perikanan tangkap dinilai perlu dikaji ulang, sesuai kesiapan perangkat. Selain itu, pungutan itu diharapkan tidak membebani nelayan kecil.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan skema pungutan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP perikanan tangkap menuai sorotan. Pemerintah diminta mengkaji ulang perhitungan PNBP itu agar tidak membebani nelayan kecil dan buruh nelayan.
Pungutan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini menggantikan PP No 75/2015. Tarif pungutan hasil perikanan (PHP) itu dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Tarif ini berlaku untuk kategori kapal penangkapan ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT. Adapun opsi tarif praproduksi untuk kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen. Sementara itu, opsi tarif setelah produksi untuk kapal di atas 5 GT sampai 60 GT ditetapkan 5 persen dan kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan besaran PNBP perikanan tangkap tahun ini Rp 1 triliun dan pada 2024 mencapai Rp 12 triliun.
Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI-P Sudin mengemukakan, penerapan skema PNBP setelah produksi memerlukan kesiapan sumber daya manusia dan perangkat teknis di seluruh pelabuhan, serta skema pendataan dan cara penghitungan. Ia mempertanyakan kesiapan perangkat, termasuk penyediaan komputer di seluruh pelabuhan.
Tarif pungutan hasil perikanan (PHP) itu dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Sudin meminta pemerintah mengkaji ulang opsi pungutan PNBP tersebut agar tidak berdampak merugikan negara. ”Tolong dikaji ulang. Jangan sampai niatnya baik (peningkatan PNBP), tetapi akhirnya merugikan negara,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR, Senin (6/9/2021).
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI-P, Ono Surono, menambahkan, komponen pungutan PNBP perlu mempertimbangkan beban tambahan bagi nelayan kecil dan anak buah kapal (ABK). Perubahan komponen penghitungan, yakni klasifikasi ukuran kapal, dinilai akan menambah beban nelayan dan ABK.
Ia menyoroti dua skema pungutan hasil perikanan, yakni pungutan praproduksi dan setelah produksi. Di beberapa daerah, nelayan juga dikenai biaya retribusi lelang. Pungutan daerah itu jika masih ditambah dengan pungutan pemerintah pusat dikhawatirkan berimbas pada penurunan pendapatan nelayan kecil dan ABK. Di sejumlah lokasi, pendapatan ABK berdasarkan sistem bagi hasil dengan pemilik kapal, yakni berbanding 40:60, setelah dipotong biaya produksi dan pungutan.
”Jangan sampai peningkatan PNBP berimbas pada penurunan pendapatan ABK karena di beberapa lokasi (mengandalkan) bagi hasil. Kalau sistem bagi hasil, tetapi pungutan dinaikkan, pendapatan ABK akan turun,” ujar Ono.
Sementara itu, kendati mendukung usaha pemerintah menaikkan PNBP, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PAN, Slamet Ariyadi, menyatakan, ketentuan PNBP sebaiknya tidak salah sasaran atau justru membebani nelayan kecil dan ABK. ”Harus dipastikan pungutan PNBP tidak salah sasaran, yakni kepada rakyat yang secara penghasilan jauh di bawah upah minimum regional,” ucapnya.
Terkait rumusan penghitungan PNBP, menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini, tidak ada yang berubah, hanya ketentuan ukuran kapal yang berubah. Komponen ukuran kapal yang menentukan pungutan memicu banyaknya manipulasi ukuran kapal menjadi ukuran lebih kecil (markdown).
Harus dipastikan pungutan PNBP tidak salah sasaran, yakni kepada rakyat yang secara penghasilan jauh di bawah upah minimum regional.
Di sisi lain, terdapat kelemahan penarikan pungutan praproduksi, yakni penetapan harga patokan ikan yang mencakup harga rata-rata antarwilayah, antarmusim, dan antarmutu. ”Harga rata-rata ada yang di atas dan di bawah. Ini kelemahan penarikan praproduksi,” katanya.
Adapun pungutan setelah produksi dinilai cenderung lebih sederhana, yakni dipungut setelah kapal mendapatkan ikan. Nilai ikan yang didaratkan mencakup laik kapal, ukuran kapal, mutu, dan jenis ikan.
Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengemukakan, rumusan PNBP perikanan tangkap tersebut akan disimulasikan kembali. ”Itu baru konsep,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengemukakan, nelayan-nelayan 6-10 GT sebelumnya masuk dalam kategori nelayan kecil, berdasarkan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Nelayan skala kecil ini perlu diberikan kebijakan khusus, terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19.
”Prioritas kita saat ini adalah menekan angka penyebaran Covid-19 dan memastikan ekonomi rakyat tetap berjalan. Kemiskinan dan pengangguran tidak bertambah,” kata Riza.
Di sisi lain, agenda peningkatan PNBP tidak boleh hanya dilihat sebatas urusan menaikkan angka pungutan. Tren PNBP terbukti mulai naik sejak 2016, sejalan dengan perbaikan data ukuran kapal mark down, proses perizinan kapal mulai dipercepat, dan pendataan mulai baik. ”Yang harus juga diperkuat adalah kemampuan aparat melakukan pemungutan, percepatan perizinan, dan pendataan sehingga pungutan menjadi lebih presisi,” ucapnya.