Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau guna mendongkrak penerimaan membuka lagi risiko peredaran rokok ilegal dan tak terserapnya tembakau petani. Persoalan berkelindan di antara ”jurus klasik” tersebut.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Negara membutuhkan pemasukan ekstra ketika kas negara serba terbatas di tengah kenaikan kebutuhan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 dan program ekonomi nasional. Salah satu instrumen yang dianggap mangkus alias mujarab atau manjur untuk menggenjot pendapatan adalah cukai hasil tembakau.
Pemerintah berharap, selain menambah pemasukan negara, kenaikan cukai berdampak pada pengendalian konsumsi produk hasil tembakau. Langkah tersebut rupanya menjadi cara klasik yang berulang ditempuh pemerintah untuk mempersempit ruang defisit anggaran.
Dalam tujuh tahun terakhir, hampir setiap tahun pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menaikkan tarif cukai hasil tembakau. Kalau dihitung, rata-rata kenaikan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau mencapai 10,92 persen per tahun.
Pengecualian terjadi pada 2019 yang bertepatan dengan tahun penyelenggaraan pemilihan umum. Kala itu, pemerintah mempertahankan besaran tarif cukai hasil tembakau tahun sebelumnya.
Namun, setahun kemudian atau tahun 2020, pemerintah langsung mengatrol tarif cukai hingga 23,5 persen. Besaran tarif cukai hasil tembakau tahun lalu menjadi yang tertinggi, setidaknya sejak 2015.
Di dalam situs Kemenkeu Learning Center, produk hasil tembakau yang dikenakan cukai di antaranya adalah rokok, cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, beberapa liquid vape atau cairan rokok elektrik yang mengandung konsentrat tembakau juga dalam kategori barang kena cukai.
Dalam konferensi pers yang berlangsung awal September 2021, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto membenarkan bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau menjadi salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan mengoptimalkan pendapatan negara.
Dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, kenaikan tarif cukai hasil tembakau juga bertujuan mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.
Kebijakan cukai hasil tembakau 2022 mempertimbangkan pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal.
”Kebijakan cukai hasil tembakau 2022 mempertimbangkan pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal. Keempatnya memayungi kepentingan sektor kesehatan, industri, pertanian, dan tenaga kerja,” ujarnya.
Apabila menilik Rancangan APBN Tahun Anggaran 2022, pemerintah telah mematok penerimaan cukai sebesar Rp 203,9 triliun. Angka tersebut melonjak 11,84 persen jika dibandingkan dengan target penerimaan cukai APBN 2021 senilai Rp 182,2 triliun.
Nirmala mengatakan, besaran tarif cukai hasil tembakau untuk tahun depan akan diumumkan setelah Undang-Undang (UU) APBN 2022 disetujui DPR RI. Artinya, pengumuman mengenai besaran cukai rokok pada 2022 diperkirakan akan dilakukan pada Oktober 2021.
Tahun ini, pemerintah memungut tarif cukai tembakau rata-rata sebesar 12,5 persen untuk kelompok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Besaran 12,5 persen merupakan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok.
Perinciannya, tarif cukai SKM golongan I naik 16,9 persen (Rp 865 per batang), SKM golongan IIA naik 13,8 persen (Rp 535 per batang) dan SKM golongan IIB naik 15,4 persen (Rp 525 per batang).
Sementara tarif cukai SPM juga terbagi tiga menjadi SPM golongan I naik 18,4 persen (Rp 935 per batang), SPM golongan IIA naik 16,5 persen (Rp 565 per batang), dan SPM golongan IIB naik 18,1 persen (Rp 555 per batang).
Adapun seluruh tarif cukai hasil pengelolaan tembakau lainnya (HPTL), dalam hal ini termasuk konsentrat tembakau rokok elektrik, tidak naik dari tahun sebelumnya.
Secara rinci, besaran harga jual eceran untuk ekstrak dan esens tembakau berupa batang sebesar Rp 1.350 per batang, cartridge senilai Rp 30.000 per cartridge, kapsul seharga Rp 1.350 per kapsul, dan cairan untuk rokok elektrik yakni Rp 666 per mililiter. Keempat komponen rokok elektrik ini menggunakan tarif cukai sebesar 57 persen pada 2021.
Kontrol kebabalasan
Mengacu pada laporan tahunan 2020 DJBC, volume produksi hasil tembakau sepanjang tahun lalu sedikitnya mencapai 298,4 miliar batang. Adapun nilai cukai hasil tembakau tahun lalu menjadi yang tertinggi sejak 2015, yakni sebesar Rp 170,2 triliun.
Masih menurut laporan DJBC, kenaikan tarif cukai hasil tembakau hingga sebesar 23,5 persen pada 2020 efektif menekan jumlah produksi rokok di tahun tersebut dari tahun sebelumnya yang mencapai 356 miliar batang.
Cukai hasil tembakau 2020 setara dengan 103,2 persen target cukai hasil tembakau yang ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp 169,94 triliun. Secara kontribusi, cukai hasil tembakau tahun lalu berkontribusi 96,6 persen terhadap total penerimaan cukai 2020 sebesar Rp 176,31 triliun.
Dengan adanya kenaikan cukai rokok tahun ini, pemerintah memprediksi pertumbuhan produksi rokok 2021 menurun 3,2 persen dari tahun 2020 menjadi 288,8 miliar batang. Sementara penerimaan cukai hasil tembakau hingga akhir tahun 2021 ditargetkan mencapai Rp 173 triliun.
Di tengah angka pemerintah yang menunjukkan terkontrolnya peredaran rokok, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kenaikan cukai rokok selama 2020 sebesar 23 persen telah memicu kenaikan peredaran rokok ilegal (rokok yang pungutan cukainya tidak dilunasi) di tahun yang sama sebesar 4,9 persen.
”Di saat rokok semakin mahal sehingga daya beli masyarakat menurun, bisnis rokok ilegal akan mendapatkan celah karena konsumen kelas ekonomi menengah bawah akan memilih rokok dengan harga rendah,” ujarnya.
Di saat rokok semakin mahal sehingga daya beli masyarakat menurun, bisnis rokok ilegal akan mendapatkan celah karena konsumen kelas ekonomi menengah bawah akan memilih rokok dengan harga rendah.
Kondisi tersebut, menurut dia, bukan hanya mendorong tidak terkendalinya konsumsi rokok, melainkan juga berindikasi pula pada hilangnya penerimaan negara dari, yaitu cukai hasil tembakau, pajak rokok, dan dana bagi hasil.
Aspek lain yang perlu ditinjau pemerintah dalam keputusan terkait cukai hasil tembakau adalah kehidupan petani tembakau yang menggantungkan hidupnya dari peredaran rokok. Tauhid memperkirakan, jumlah petani tembakau pada 2020 mencapai 2,6 juta kepala keluarga (KK).
”Jika harga terlalu tinggi, belum tentu produsen akan menyerap tembakau petani dan akan beralih ke bahan baku impor,” kata Tauhid.
Kekhawatiran itu wajar mengingat jumlah produksi rokok mengalami penurunan signifikan sejak 2016, dari 341,73 miliar batang menjadi 298,4 miliar batang pada 2020.
Melihat kenyataan itu, tentu penting bagi pemerintah untuk dapat memikirkan diversifikasi usaha petani tembakau meski tidak mudah dilakukan jika berkaca dari segi sosial, teknologi, dan kondisi lahan. Di tambah lagi, lanjut Tauhid, perubahan jenis tanaman juga berimplikasi pada perubahan budaya.