Kenaikan Tarif di Tengah Pandemi
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau tahun ini tak hanya penting untuk mengendalikan konsumsi rokok yang mengancam kesehatan.
Cukai hasil tembakau menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang realisasi penerimaannya pada 2020 melebihi target.
Kondisi pandemi yang memengaruhi perekonomian juga berdampak pada keuangan negara. Pada 2020, pendapatan negara terealisasi sebanyak Rp 1.633,59 triliun atau 96,1 persen dari target. Dari jumlah tersebut, penerimaan dari perpajakan sebesar Rp 1.282,77 triliun atau 91,33 persen dari target.
Dalam komponen penerimaan dari perpajakan tersebut, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai 103 persen dengan nilai Rp 170,2 triliun. Penerimaan cukai hasil tembakau ini menjadi kontributor terbesar pada penerimaan cukai, yakni rata-rata berkisar 94-96 persen per tahun.
Penerimaan cukai hasil tembakau cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 2017-2020, persentase realisasinya mencapai 100 persen, setelah pada 2016 hanya tercapai 97,4 persen. Pertambahan penerimaan cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 5,4 persen per tahun.
Dari sebesar Rp 138 triliun pada 2016, penerimaan cukai tembakau meningkat menjadi Rp 170,2 triliun pada 2020. Peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau tetap terjadi meskipun dikenai kenaikan tarif, seperti pada 2016 dan 2018.
Lihat Juga: Kompas Data: Fenomena Tingwe Tembakau
Di sisi lain, produksi hasil tembakau cenderung turun selama periode yang sama, kecuali pada 2019. Produksi hasil tembakau pada 2016 sebanyak 343,8 miliar batang, turun secara perlahan hingga menjadi 298,4 miliar batang pada 2020.
Akan tetapi, pada 2019 produksinya sempat naik drastis ke angka 356,5 miliar batang. Tidak adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2019 diindikasikan menjadi salah satu faktor yang mendorong kenaikan produksi hasil tembakau tersebut.
Dari data tersebut terlihat bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau berpengaruh terhadap penurunan produksi hasil tembakau. Namun, cukai tembakau masih mampu menghasilkan penerimaan negara yang melebihi target. Tak bisa dimungkiri, tembakau menjadi sumber potensial untuk pembiayaan pemerintah di tengah sempitnya ruang fiskal anggaran belanja negara akibat pandemi Covid-19.
Baca Juga: Mengapa Mereka Membenci Tembakau
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan produksi turun dan penerimaan negara meningkat. Beberapa faktor lain yang memengaruhi adalah penindakan rokok ilegal. Setiap penetapan tarif baru cukai hasil tembakau juga membuka celah peredaran rokok ilegal.
Oleh karena itu, pengawasan dan penindakan terus dilakukan baik yang bersifat preventif maupun represif seperti melakukan operasi jaring atau patroli laut. Kondisi pandemi tidak menyurutkan peredaran rokok ilegal, begitu pula upaya penanganannya, mengingat peredaran rokok ilegal dapat merugikan keuangan negara.
Selain itu, kenaikan tarif cukai tembakau juga berimbas pada beralihnya perokok konvensional menjadi pengguna rokok elektrik atau vape. Terlepas dari kontroversi penggunaan rokok elektrik di bidang kesehatan, tren peningkatan pengguna rokok elektrik dalam lima tahun terakhir ini memberi peluang bagi penerimaan negara.
Tarif cukai bisa dikenakan pada ekstrak tembakau atau cairan rokok elektrik yang masuk dalam kategori cukai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Cukai HPTL ini telah diterapkan sejak pertengahan tahun 2018.
Baca Juga: Tingwe Tembakau: Pengiritan, Gaya Hidup, Atau Perlawanan
Kenaikan tarif
Penetapan tarif cukai hasil tembakau merupakan instrumen penting untuk mengendalikan tingkat konsumsi, tetapi tetap diupayakan dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Oleh sebab itu, untuk tahun 2021, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata 12,5 persen.
Kenaikan tarif tersebut berlaku untuk kelompok Sigaret Kretek Mesin (SKM) semua golongan dengan persentase 13,8 persen hingga 16,9 persen atau sebesar Rp 65 hingga Rp 125 per batang. Juga untuk kelompok Sigaret Putih Mesin (SPM) semua golongan dengan persentase 16,5 persen hingga 18,4 persen atau sebesar Rp 80 hingga Rp 145 per batang.
Kenaikan tarif yang berlaku per Februari 2021 ini tidak berlaku untuk kelompok sigaret kretek tangan (SKT) semua golongan. Hal ini karena pemerintah tetap berupaya melindungi keberadaan industri padat karya dan yang mengutamakan konten lokal (tembakau dan cengkeh) agar serapan tenaga kerjanya tidak terganggu selama pandemi.
Baca Juga: Tembakau, Euforia dalam Ekspedisi Dunia Baru
Dalam industri hasil tembakau jenis sigaret, terutama SKT, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 158.552 orang. Selain itu, terdapat lebih dari 526.000 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau.
Dengan kenaikan tarif tersebut, target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau tahun 2021 adalah sebesar Rp 173,78 triliun atau naik 5,4 persen dibandingkan target tahun lalu. Namun, produksi hasil tembakau diperkirakan turun 3,2 persen menjadi 288,8 miliar batang. Dengan demikian, prevalensi merokok diharapkan juga turun, terutama pada perempuan dan anak berusia 10 tahun hingga 18 tahun.
Sebelum tahun ini, kenaikan tarif cukai hasil tembakau juga terjadi pada 2016 dan 2018. Pada 2016, rata-rata kenaikan cukai hasil tembakau sekitar 11,5 persen. Untuk rokok jenis SKM, kenaikannya berkisar 11,4 persen hingga 15,6 persen. Rokok jenis SPM naik berkisar 12,9 persen hingga 16,4 persen, sedangkan SKT naik sebesar 0 persen hingga 12 persen.
Baca Juga: Candu Tembakau di Nusantara
Adapun pada 2018, persentase kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10,04 persen. Untuk kelompok SKM, kenaikannya sebesar 10,9 persen. Untuk kelompok SPM, yang merupakan pabrikan besar dan industri padat modal, kenaikannya sebesar 13,5 persen. Adapun untuk SKT yang merupakan industri padat karya naik hanya sebesar 7,3 persen.
Dari tiga kali kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang terakhir terlihat rata-rata kenaikan pada 2021 ini adalah yang tertinggi. Hal ini bisa menyebabkan target penerimaan sulit untuk dicapai karena tahun 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri, termasuk industri hasil tembakau.
Untuk meredam dampak kebijakan yang tidak diinginkan karena kenaikan tarif cukai, pemerintah membuat bantalan kebijakan dengan mengefektifkan penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Penggunaan dana ini sebanyak 50 persen akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani atau buruh tani tembakau dan buruh rokok.
Bentuknya, antara lain, bantuan langsung tunai, pelatihan profesi termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani atau buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM. Selain itu, ada pula program peningkatan kualitas bahan baku.
Baca Juga: Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial
Penggunaan lainnya sebanyak 25 persen adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional. Sementara 25 persen lainnya digunakan untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Tahun 2020, alokasi DBHCHT adalah sebesar Rp 3,46 triliun. Untuk tahun 2021, alokasinya tidak jauh berbeda, yaitu Rp 3,47 triliun. Alokasi ini sekitar dua persen dari realisasi penerimaan cukai hasil tembakau tahun lalu.
Dalam menetapkan tarif baru cukai hasil tembakau, pemerintah tidak semata mempertimbangkan tarikan antara aspek pengendalian konsumsi demi kesehatan dan penerimaan negara. Tetapi juga komitmen perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri, serta mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan. (LITBANG KOMPAS)