Candu Tembakau di Nusantara
Tembakau telah menjadi komoditas bisnis yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi pribadi dan masyarakat lokal. Kini, tembakau telah menjadi ”candu” bagi semua lapisan masyarakat.
Tembakau dan olahannya berhasil menembus dinding feodalisme masyarakat Jawa di masa lampau. Tanpa mengenal latar belakang sosial, tanaman ini berhasil membuat candu masyarakat dari seluruh lapisan, baik bangsawan maupun masyarakat kecil.
Tembakau (Nicotiana tabacum) adalah tanaman yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam. Tanaman ini menjelma sebagai kebutuhan primer dalam konsumsi sehari-hari bagi sebagian masyarakat.
Sejarawan Onghokham dan Amen Budiman dalam bukunya yang berjudul Hikayat Kretek (2016) menuliskan, setidaknya ada beberapa teori yang menyatakan asal mula tembakau masuk ke Indonesia. Pertama, tembakau diperkirakan dibawa oleh bangsa Portugis saat tiba di kepulauan Nusantara.
Pandangan ini disampaikan oleh sinolog Belanda, G. Schlegel, yang menilai bahwa penggunaan nama tembakau erat kaitannya dengan kata tabaco atau tumbaco. Jika merujuk pada pandangan ini, besar kemungkinan tembakau mulai dikenal di Nusantara pada awal abad ke-16.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ahli Botani asal Swiss, Augustin Pyrame de Candolle Georgius, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Keduanya berkesimpulan bahwa tembakau masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-17 yang dibawa oleh bangsa Eropa.
Terdapat beberapa pandangan lainnya dari sejumlah ahli tentang awal mula masuknya tembakau di Indonesia. Namun, terlepas dari perbedaan pandangan ini, yang jelas, tembakau telah membuat candu sebagian masyarakat di kepulauan Nusantara, bahkan jauh sebelum pemerintahan Hindia Belanda terbentuk. Apa yang melatarbelakangi orang-orang di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, begitu mudah menerima tembakau?
Baca juga: Mengapa Mereka Membenci Tembakau?
Sirih dan pinang
Faktor utama yang turut melatarbelakangi penerimaan terhadap tembakau adalah kebiasaan nenek moyang kita untuk mengunyah sirih dan pinang. Sejak lama, kebiasaan ini telah dimiliki oleh orang-orang Indonesia di sejumlah wilayah.
Kebiasaan ini salah satunya terekam dalam catatan pendeta Buddha dari China, I-tsing. Dalam catatan perjalanannya dari Canton ke sekitar daerah Palembang menjelang akhir abad ke-7 Masehi, ia menuliskan bahwa buah pinang telah tersaji dalam pesta yang diselenggarakan masyarakat lokal. Pinang disuguhkan bagi para tamu yang menghadiri pesta tersebut. Namun, dalam catatan ini tidak disebutkan adanya penggunaan sirih oleh masyarakat setempat.
Jejak kedekatan buah pinang dengan masyarakat juga ditemukan di Pulau Jawa, yakni dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Pohon pinang tak luput menjadi subyek yang turut diukir pada candi yang dibangun abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi ini. Temuan ini membuktikan bahwa telah ada hubungan yang cukup erat antara masyarakat lokal saat itu dan buah pinang.
Bukti selanjutnya ditemukan dalam catatan Ibnu Batutah, seorang pedagang dan musafir yang mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai, di wilayah Aceh pada pertengahan abad ke 15-Masehi. Saat melakukan kunjungan, ia menyaksikan acara pernikahan seorang putra raja.
Dalam acara pernikahan itu, pasangan pengantin saling menyuapkan buah pinang dan daun sirih. Catatan ini menguatkan dugaan bahwa konsumsi sirih dan pinang sudah jamak dikenal oleh masyarakat kala itu.
Kebiasaan yang sama juga ditemukan di sekitar daerah pusat Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Menurut catatan Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng-ho, dalam catatannya pada tahun 1416, masyarakat di sekitar pusat Kerajaan Majapahit telah memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang dan sirih. Konsumsi pinang dan sirih dilengkapi oleh kapur yang terbuat dari kulit tiram.
Kebiasaan untuk mengunyah sirih inilah yang kemudian mempermudah penerimaan terhadap tembakau. Pada abad ke-17, tembakau mulai digunakan sebagai bahan campuran untuk mengunyah sirih. Masyarakat Jawa juga menyebutnya sebagai bako susur. Inilah titik persinggungan antara orang-orang di Pulau Jawa dan tembakau (Budiman dan Onghokham, 1987).
Baca juga: Komitmen Pengendalian Produk Tembakau Menguat
Menembus lapisan masyarakat
Tembakau kian menjadi candu seiring meluasnya penggunaan tanaman ini di masyarakat. Di Banten, misalnya, pada tahun 1604, telah ditemukan para petinggi di Banten yang memiliki kegemaran mengisap tembakau (Badil, 2011).
Hal serupa juga ditemukan di dalam Keraton Mataram. Petinggi kerajaan turut menikmati tembakau. Hal ini terekam saat perwakilan Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC), de Haen, melakukan kunjungan ke wilayah Kerajaan Mataram dan bertemu dengan Sultan Agung pada paruh pertama abad ke-17.
Saat itu, tembakau menjadi salah satu jamuan yang disediakan oleh para abdi untuk Sultan Agung. Selama pertemuan, de Haen menemui kebiasaan Sultan Agung sebagai seorang perokok yang menggunakan medium pipa berlapis perak.
Kondisi ini menggambarkan bahwa olahan tembakau telah membuat candu para petinggi kerajaan. Namun, tembakau bukanlah barang monopoli penguasa. Berbagai lapisan masyarakat dapat menikmati tembakau seperti sirih.
Jejak konsumsi tembakau dari masyarakat kecil tergambar dalam memoar yang ditulis oleh JW Winter. Ia tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1799 hingga 1806 dan bekerja sebagai penerjemah. Setelah itu, sejak 1806 hingga 1820, Winter menetap di Surakarta. Pengalaman Winter selama menetap di Yogyakarta dan Surakarta mengantarkannya untuk menulis sebuah memoar berjudul Beknopte Beschrijving Van Het Hof Soerakarta in 1824.
Dalam memoar itu, terungkap kehidupan sederhana masyarakat Jawa, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta. Sebagian penghasilan masyarakat saat itu disisihkan untuk membeli tembakau dan sirih. Tembakau yang dibeli digunakan sebagai bahan dasar rokok dengan memanfaatkan kulit jagung yang telah dikupas dan dikeringkan.
Tembakau tidak hanya dijadikan bahan untuk dikonsumsi seorang diri, tetapi juga disajikan kepada para tamu. Bahkan, tembakau yang telah dilinting merupakan salah satu wujud penghargaan tuan rumah kepada tamu kala itu. Olahan tembakau semacam ini dikenal dengan sebutan rokok klobot.
Selain jagung, linting tembakau juga dipadukan dengan daun pandan. Hal ini dituliskan oleh Pieter Bleeker, seorang dokter dari Belanda yang diterbitkan dalam sebuah majalah pada tahun 1848. Lintingan ini dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat di Semarang dan konon dapat digunakan untuk diisap selama sekitar lima menit (Budiman dan Onghokham, 1987).
Kebiasaan melinting tembakau merupakan langkah awal dari kebiasaan orang-orang di pedesaan untuk menikmati tembakau. Kondisi ini sekaligus menegaskan bahwa tembakau telah menembus dinding tebal feodalisme masyarakat Jawa pada zamannya. Dari bangsawan, pedagang, hingga masyarakat biasa, dapat menikmati tembakau dengan caranya masing-masing.
Baca juga: Pengendalian Produk Tembakau Disinergikan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Tanaman rakyat
Mulai maraknya pemanfaatan tembakau oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa saat itu juga diikuti oleh munculnya tanaman tembakau rakyat, yakni tembakau yang ditanam sendiri oleh masyarakat lokal.
Pada tahun 1939, tanaman tembakau rakyat ini telah tersebar pada sejumlah daerah di Pulau Jawa. Area tanaman terluas adalah pada wilayah Kedu (Temanggung dan sekitarnya) dengan total luas lahan hingga 31,2 ribu hekar, Bojonegoro (20,1 ribu ha), dan Madura (12,8 ribu hektar).
Luasnya lahan tembakau ini mengindikasikan bahwa tembakau telah berkembang sebagai komoditas bisnis dari semula hanya dinikmati secara pribadi oleh masyarakat lokal. Bagaimana geliat bisnis tembakau di era kolonial? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya: Rara Mendut dan Kisah Bisnis Tembakau di Era Kolonial