Cukai Hasil Tembakau Tahun Ini Diprediksi Capai Rp 173 Triliun
Penerimaan cukai hingga semester I-2021 tercatat mencapai Rp 91,3 triliun. Cukai hasil tembakau masih menjadi kontributor terbesar mencapai 96,9 persen dari seluruh penerimaan tersebut.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan memperkirakan perolehan cukai hasil tembakau tahun ini bisa memenuhi target, yaitu Rp 173 triliun. Kebijakan pemberantasan rokok ilegal yang masif berperan penting dalam pencapaian target cukai tersebut.
Cukai hasil tembakau berkontribusi besar dalam penerimaan cukai hingga semester I-2021 yang sebanyak Rp 91,3 triliun. Dari jumlah tersebut, cukai hasil tembakau menyumbang Rp 88,54 triliun atau setara dengan 96,9 persen dari keseluruhan perolehan cukai semester I-2021.
Dihubungi Sabtu (24/7/2021), Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat memperkirakan, cukai hasil tembakau sampai akhir tahun 2021 dapat mencapai target, yakni mencapai Rp 173 triliun.
”Capaian cukai hasil tembakau selalu fluktuatif setiap bulannya. Biasanya akan tinggi sekitar November dan Desember karena faktor musiman jelang akhir tahun sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan tarif cukai pada awal tahun mendatang,” ujar Syarif.
Dari jumlah tersebut, cukai hasil tembakau menyumbang Rp 88,54 triliun atau setara dengan 96,9 persen dari keseluruhan perolehan cukai semester I-2021.
Syarif menambahkan, kenaikan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau di paruh pertama tahun ini disebabkan ampuhnya kebijakan pemberantasan rokok ilegal yang masif. Penerimaan cukai hasil tembakau pada semester I-2020 terbilang cukup rendah lantaran pengaruh pandemi Covid-19.
Pada semester I-2020 tren produksi rokok sempat menurun sebagai imbas dari anjloknya konsumsi masyarakat. Realisasi penerimaan cukai hasil tembakau kala itu hanya Rp 72,91 triliun. Dengan demikian, perolehan cukai hasil tembakau semester I-2021 tumbuh 21,4 persen dari semester I-2020.
Kementerian Keuangan memutuskan untuk kembali memberikan stimulus non-fiskal untuk menjaga keberlangsungan usaha dan arus kas industri hasil tembakau. Kebijakan itu berupa penundaan pembayaran cukai dalam jangka waktu paling lama 90 hari kepada pengusaha.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK No 57/2017 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.
Pokok-pokok pengaturan dalam PMK No 93/2021 adalah relaksasi penundaan pembayaran cukai selama 90 hari diberikan atas pemesanan pita cukai. Ini disertai dengan penundaan yang belum dilakukan pembayaran cukai sampai dengan jatuh tempo penundaan pada saat peraturan ini berlaku sejak 12 Juli 2021.
Kenaikan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau di paruh pertama tahun ini disebabkan ampuhnya kebijakan pemberantasan rokok ilegal yang masif.
Syarif memastikan bahwa relaksasi yang bertujuan untuk membantu pengusaha dalam menjaga arus kas mereka tersebut tidak akan berdampak pada penerimaan cukai sepanjang tahun karena waktu jatuh tempo pembayarannya tidak lebih dari 31 Desember 2021.
Kementerian Keuangan dalam konferensi pers APBN KiTA pertengahan pekan ini mencatat, sepanjang semester I-2021 realisasi pendapatan negara via kepabeanan-cukai mencapai Rp 122,2 triliun atau setara 56,9 persen terhadap target APBN 2021. Realisasi ini tumbuh signifikan sebesar 31,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020.
Penyederhanaan
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Vid Adrison melalui keterangan resmi, mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau dapat meningkatkan penerimaan negara.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi Bank Dunia yang dirilis pada Juni 2021 terkait sejumlah langkah reformasi kebijakan fiskal, salah satu di antaranya terkait penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai tembakau.
Kementerian Keuangan dalam konferensi pers APBN KiTA pertengahan pekan ini mencatat, sepanjang semester I-2021 realisasi pendapatan negara via kepabeanan-cukai mencapai Rp 122,2 triliun atau setara 56,9 persen terhadap target APBN 2021.
Adrison menilai, sistem tarif cukai hasil tembakau yang masih kompleks menjadi alasan pengenaan cukai dan penerimaan negara tidak optimal. Sistem cukai yang kompleks, lanjut dia, juga menyebabkan adanya praktik penghindaran pajak yang bersifat legal karena ada celah hukum yang dimanfaatkan.
Saat ini, pengenaan tarif cukai hasil tembakau dari satu jenis rokok masih tergantung pada empat komponen, yaitu golongan produksi, teknik produksi, jenis rokok, dan harga. ”Agar efektif, saya merekomendasikan simplifikasi tarif cukai tembakau dilakukan secara jelas dan konsistensi,” ujarnya.