Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dianggap penting untuk upaya perluasan basis pajak. Reformasi dilakukan dengan membuat obyek dan jasa kena pajak lebih spesifik, mengacu pada penghasilan serta pola konsumsi masyarakat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasio pendapatan negara terhadap produk domestik bruto atau PDB terus merosot dalam enam tahun terakhir. Untuk menggenjot penerimaan, pemerintah tengah mengutak-atik instrumen pajak.
Salah satu instrumen pajak yang akan direformasi pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Instrumen ini dianggap penting untuk upaya perluasan basis pajak. Reformasi dilakukan dengan menetapkan obyek dan jasa kena pajak secara lebih spesifik.
Dalam diskusi bertajuk ”Arah Kebijakan Pajak di Kala Pandemi” secara virtual yang berlangsung pada Jumat (11/6/2021), Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, kajian tersebut telah dilakukan sebelum pandemi Covid-19, tetapi baru akan dibahas tahun ini bersama DPR.
Kajian tersebut termaktub dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). ”Selain memperluas basis pajak, masukan dan ide terkait kebijakan PPN juga ditujukan untuk memperbaiki skema penarikan PPN yang saat ini dinilai terlalu banyak ketidakadilan,” ujarnya.
Revisi kebijakan PPN salah satunya diarahkan pada spesifikasi obyek barang dan jasa kena pajak. Yustinus memberi ilustrasi, dengan aturan PPN saat ini, masyarakat yang membeli daging jenis wagyu dan masyarakat yang membeli daging ayam di pasar tradisional sama-sama tidak dikenakan pajak. Padahal, daya beli dan kemampuan ekonomi kedua kelompok masyarakat tersebut berbeda.
”Masalahnya adalah selama ini kita masukkan kedua jenis konsumsi ini dalam keranjang yang sama, padahal jenis dan harga dari obyek konsumsinya berbeda,” ujar Yustinus.
Yustinus memberikan ilustrasi tersebut untuk menjawab pertanyaan publik terkait hilangnya daftar beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN dalam Pasal 4A Ayat (2b) rancangan beleid revisi UU tentang KUP. Karena hilang, publik pun menduga sejumlah barang yang sebelumnya tidak terkena pajak nantinya akan dikenakan pajak. Jenis barang yang menjadi polemik itu antara lain bahan pokok dan pendidikan.
Jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, serta gula konsumsi.
Terkait pendidikan, Yustinus mengilustrasikan dengan aturan PPN saat ini, siswa yang belajar di sekolah-sekolah nirlaba yang mendapatkan subsidi dari pemerintah dengan siswa yang bersekolah di sekolah privat internasional sama-sama tidak dikenakan PPN.
Hal serupa juga terjadi pada masyarakat yang melakukan operasi plastik di klinik kecantikan dengan masyarakat yang melakukan operasi pengangkatan kutil di puskesmas. Kedua jasa layanan kesehatan tersebut sama-sama tidak dikenai PPN.
Pertimbangan ini membuat dalam Pasal 4A Ayat (3) rancangan beleid revisi UU tentang KUP, daftar sejumlah jenis jasa yang tidak dikenai PPN dihapuskan, termasuk jasa pendidikan, pelayanan kesehatan medis, keuangan, dan asuransi.
”Rencana penggantian skema PPN dari tunggal menjadi multitarif semata-mata untuk memenuhi asas keadilan bagi masyarakat. PPN yang dibayarkan mengacu pada penghasilan dan pola konsumsi masyarakat. Itu pun baru akan diimplementasikan setelah ekonomi Indonesia pulih,” ujar Yustinus.
Yustinus belum bisa memastikan apakah bahan kebutuhan pokok dan biaya pendidikan yang dikonsumsi masyarakat menengah bawah tetap tidak akan terkena pajak atau dikenakan PPN dengan tarif lebih rendah.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, seharusnya upaya pemerintah memenuhi asas kehadilan dalam pajak sudah selesai di tataran Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk wajib bajak badan maupun wajib pajak perorangan.
”Dampak dari skema multitarif PPN adalah harga menjadi lebih tinggi, inflasi. Kalau tidak ada kenaikan gaji, pendapatan riil masyarakat turun. Untuk masyarakat berpendapatan rendah, maka artinya kemiskinan bisa meningkat. Kesenjangan sosial lebih tinggi,” kata Anthony.