Pembentukan Badan Pangan Nasional diharapkan mengatasi problem sektor pangan dan pertanian yang tidak kunjung terselesaikan. Namun, perannya dikhawatirkan tereduksi oleh perubahan regulasi yang melandasi pembentukannya.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Pasal 151 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebenarnya mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan paling lambat tiga tahun sejak undang-undang itu diundangkan pada 12 November 2012. Artinya, lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden itu semestinya sudah terbentuk sebelum November 2015.
Akan tetapi, baru pada 29 Juli 2021 Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Hampir sembilan tahun sejak undang-undang diundangkan, enam tahun sejak tenggat, dan kurang dari 30 hari sejak Rapat Pleno Badan Legislasi DPR RI pada 5 Juli 2021 meminta pemerintah membentuk lembaga tersebut.
Terlepas dari jeda waktu yang begitu panjang, tidak sedikit pihak yang menumpukan harapan pada lembaga ini. Betapa tidak, problem yang dihadapi sektor pangan dan pertanian nasional teramat kompleks. Ada tumpang tindih aturan, kewenangan antarkementerian/lembaga dan pusat/daerah, serta kepentingan lintas sektor yang melingkupinya.
Selain itu, ada masalah terkait pengelolaan cadangan pangan nasional, stabilitas stok, dan harga komoditas yang berpengaruh besar pada kehidupan jutaan petani, peternak, pembudidaya ikan, pekebun, dan nelayan di Tanah Air. Ada pula problem mendasar, yakni soal akurasi data produksi dan neraca pangan, yang belum terselesaikan. Isu kuantitas, mutu, dan keamanan pangan juga masih menjadi persoalan.
Kehadiran lembaga ini sudah sejak lama diidamkan dapat menyelesaikan segenap persoalan itu. Dengan kelembagaan yang kokoh dan kewenangan yang luas, Badan Pangan Nasional diharapkan lebih ampuh menyelesaikan masalah pangan secara integral, dari hulu hingga ke hilir. Dengan pendekatan yang komprehensif, penyelesaian masalah oleh lembaga yang powerful diharapkan lebih efektif.
Setidaknya, sejumlah masalah yang berulang, seperti soal perbedaan data, sudut pandang, dan tarik ulur kepentingan sektoral bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Selama ini, publik kerap dibikin bingung oleh ketidaksinkronan kebijakan dan perbedaan sikap antarkementerian atau lembaga. Soal impor garam, misalnya, ada perbedaan antara sektor perikanan dan kelautan dengan perindustrian atau antara petambak garam rakyat dengan pelaku industri makanan dan minuman. Sementara terkait impor gula, beras, dan daging, ada perbedaan sikap dan pandangan antara pelaku usaha dan pemangku di sektor perkebunan atau pertanian dengan perindustrian atau perdagangan.
Menyempit
Sesuai Pasal 126 UU No 18/2012, lembaga pemerintah di bidang pangan dibentuk untuk mewujudkan tujuan yang ideal, yakni kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional. Penyelenggaraan kebijakan antara lain ditujukan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri; menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi; serta meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan.
UU No 18/2012 juga mendefinisikan pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan perairan. Cakupannya luas dan beragam. Namun, Perpres No 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional hanya membatasi jenis pangan pada sembilan komoditas saja, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Selain itu, orientasi kebijakan lembaga ini dikhawatirkan berfokus pada ketahanan pangan, lalu mengabaikan aspek kedaulatan dan kemandirian sebagaimana amanat UU No 18/20212. Apalagi, Perpres No 66/2021 mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
UU No 11/2020 mengubah dan menghapus norma yang sangat berharga bagi petani dan produsen pangan dalam negeri di dalam UU No 18/2012, yakni prioritas produksi domestik sebagai sumber pangan. Regulasi ”sapu jagat” ini merevisi ketentuan umum tentang ketersediaan pangan dengan memosisikan pangan impor sebagai sumber yang setara dengan produksi dalam negeri.
UU Cipta Kerja juga menganulir pasal-pasal pelindung produsen pangan dalam negeri dalam sejumlah UU, terutama terkait syarat dan ketentuan impor yang menjadi semakin longgar. Di sektor peternakan, misalnya, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan UU No 14/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mensyaratkan impor ternak dan produk hewan bisa ditempuh jika produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Syarat pemasukan ternak dalam wujud bakalan pun diubah tanpa syarat sehingga cakupan impor jadi lebih luas.
Dengan demikian, selain terlambat dari sisi waktu, pembentukan Badan Pangan Nasional berpotensi menjadi sia-sia seiring perubahan undang-undang yang menjadi acuannya. Cakupan tugas, fungsi, dan visinya tereduksi dari cita-cita semula, yakni sebagai lembaga yang kuat untuk menghadapi problem kusut sektor pertanian.
Padahal, ada sederet pekerjaan rumah krusial yang mesti diselesaikan pemerintah terkait stagnasi dan kemunduran sektor pertanian, antara lain tecermin dari produktivitasnya yang belum optimal, usia petani yang makin tua, defisit neraca perdagangan pangan, serta kesejahteraan petani yang tidak beranjak. Keberadaan lembaga yang kuat dinantikan untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, jangan kerdilkan badan pangan.