Imbangi Lompatan Adopsi Digital dengan Literasi Keuangan
Adopsi teknologi digital meningkat pesat di tengah pandemi Covid-19. Namun, perkembangan itu dinilai belum selaras dengan peningkatan literasi digital dan keuangan yang berisiko merugikan pengguna, termasuk pelaku UMKM.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pesatnya perkembangan ekonomi digital di tengah masyarakat mesti diiringi literasi keuangan yang baik. Sebab, perkembangan itu meningkatkan potensi masalah yang merugikan konsumen, seperti soal perlindungan data pribadi, kejahatan siber, dan penipuan.
Kepala Departemen Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (BI) Yunita Resmi Sari dalam Kampanye #IbuBerbagiBijak 2021, program literasi keuangan yang digelar PT Visa Worldwide Indonesia, Kamis (26/8/2021), di Jakarta, mengingatkan risiko akselerasi digital yang bisa menyebabkan masyarakat enggan menggunakan layanan digital atau menjadi backfire bagi pengguna.
Bank Indonesia berharap literasi keuangan dan perlindungan konsumen meningkat sejalan dengan peningkatan penetrasi teknologi digital. Terkait perlindungan konsumen, Bank Indonesia memiliki kerangka aksi strategis, yaitu regulasi dan kebijakan, pengawasan, edukasi dan literasi, serta penanganan pengaduan.
Menurut Yunita, adopsi teknologi memang membantu UMKM menjadi lebih produktif. Namun, sumber daya manusia tetap harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, literasi keuangan dan literasi digital menjadi modal dasar yang harus dimiliki oleh pelaku UMKM agar lebih optimal memanfaatkan ekosistem digital.
Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia Riko Abdurrahman mengatakan, saat pandemi Covid-19 ini, para pelaku UMKM memang menghadapi masalah penjualan akibat terhambatnya keterbatasan mobilitas masyarakat. Namun, pelaku UMKM bisa beralih ke saluran daring melalui platforme-dagang.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan sudah meningkat dari 29,7 persen pada 2016 menjadi 38,03 persen pada 2019. Sayangnya, literasi keuangan perempuan masih berada di angka 36 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang hampir 40 persen.
Program literasi yang digelar Visa Indonesia didesain dengan melibatkan komunitas UMKM, khususnya perempuan pelaku UMKM. Konsep yang diusung adalah train the trainers, yakni dengan mengedukasi dan mendorong perempuan agar dapat berbagi pengetahuan dengan anggota keluarga, kerabat, dan tetangga. Program itu juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi mengenai pentingnya literasi keuangan. ”Artinya, peserta diharapkan bisa berbagi dan mengajarkan orang lain,” ujar Riko.
Anggota Dewan Komisioner OJK, Tirta Segara, menegaskan, ”Banyak orang Indonesia dewasa yang telah memanfaatkan produk keuangan, tetapi tidak dibekali pengetahuan keuangan atau literasi yang cukup. Literasi keuangan dan pendampingan bagi UMKM menjadi lebih penting di saat masa pandemi.”
Berdasarkan survei OJK tahun 2019, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia secara rata-rata masih rendah, yaitu hanya 38 persen. Sementara itu, tingkat inklusi keuangan secara rata-rata telah mencapai 76 persen.
Menurut Tirta, pandemi Covid-19 telah membawa dampak negatif, termasuk bagi para perempuan dan perempuan pelaku UMKM. Untuk kembali bangkit dan memperoleh pembiayaan, banyak yang memiliki solusi pembiayaan instan, tetapi sangat berisiko, yaitu pinjaman daring (online) ilegal.
Dalam memberantas pinjaman online ilegal dan mengedukasi peningkatan literasi keuangan, OJK tidak dapat bergerak sendirian. Menurut Tirta, gerakan penting dan strategis ini harus dilakukan secara sinergi dengan semua pemangku, mulai dari regulator (OJK dan BI), kementerian/lembaga, pemerintah daerah, hingga industri keuangan, termasuk pegiat literasi keuangan UMKM.
OJK mengapresiasi Visa Indonesia yang beberapa tahun ini berupaya meningkatkan literasi keuangan bagi para ibu dan perempuan pelaku UMKM. Tahun ini, program literasi keuangan dibarengi dengan literasi digital. Para pelaku UMKM kini sudah masuk ke dalam sistem e-dagang dan program onboarding serta pendampingan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menambahkan, pada 2020, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berhasil mengumpulkan data sekitar 750 UMKM. Persoalan yang dihadapi UMKM Jawa Tengah yang terbesar adalah masalah pemasaran, yakni mencapai 52,98 persen, disusul permodalan 30,24 persen, serta bahan baku 3,53 persen. Penjualan yang dilakukan secara konvensional mulai mengarah ke cara-cara digital.
”Kira-kira, bagaimana strategi pemulihan ekonomi? Saya sudah tanya ke sana-kemari. Ternyata sulitnya minta ampun. Tidak ada rumus tunggal yang bisa dipakai untuk membangkitkan ekonomi secara tiba-tiba. Yang ada tetap saja kita mesti memilih sektoralnya, daerah dan keunggulannya, serta melakukan business matching dengan pasar, serta kompromi di tingkat ini,” tutur Ganjar.
Menurut Ganjar, belanja pemerintah cukup merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, oleh karena masih sebatas belanja konsumsi, dampaknya terhadap peningkatan produktivitas belum terlalu terlihat.
Ganjar menilai digitalisasi ekonomi penting untuk mengangkat UMKM lebih tinggi. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 yang mengakselerasi masyarakat dalam adopsi teknologi digital. Dengan masuk ke ekosistem digital, UMKM berpeluang menjangkau pasar, kesempatan, dan peluang lebih besar.