Waspadai Perlambatan Ekonomi China dan Amerika Serikat
Ekspansi China melambat sejak Juli 2021, sedangkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan melambat karena gelombang Covid-19 yang dipicu varian Delta. Indonesia perlu mewaspadai penurunan ekspor.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren surplus neraca perdagangan Indonesia memang terus berlanjut lantaran ditopang kenaikan harga komoditas dan pemulihan ekonomi sejumlah negara tujuan ekspor. Kendati begitu, Indonesia perlu mewaspadai penurunan ekspor secara bulanan sebagai imbas lonjakan kasus Covid-19 di dalam negeri ataupun sejumlah negara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total nilai ekspor migas dan nonmigas Indonesia pada Juli 2021 sebesar 17,7 miliar dollar AS, sedangkan impornya 15,11 miliar dollar AS. Dengan demikian, neraca perdagangannya surplus 2,59 miliar dollar AS, melanjutkan tren surplus selama 15 bulan berturut-turut.
Ekspor dan impor nonmigas Indonesia secara tahunan tumbuh cukup signifikan, tetapi secara bulanan justru turun. Nilai ekspor nonmigas pada Juli 2021 mencapai 16,71 miliar dollar AS atau tumbuh 28,26 persen dari Juli 2020. Namun, jika dibandingkan Juni 2021, nilai ekspor nonmigas justru turun 3,46 persen.
Begitu juga dengan impor nomigas Indonesia yang tumbuh 40,21 persen secara tahunan pada Juli 2021 menjadi 13,33 miliar dollar AS. Namun, jika dibandingkan secara bulanan, nilai impor nonmigas Indonesia turun sebesar 10,67 persen.
Ekonom Moody’s Analytics, Sonia Zhu, Rabu (18/8/2021), mengatakan, kinerja neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2021 cukup positif, terutama ditopang oleh harga komoditas yang tinggi. Namun, jika dicermati secara bulanan, ekspor dan impor Indonesia turun lantaran lonjakan kasus Covid-19 yang disebabkan virus korona baru varian Delta.
Lonjakan kasus yang berujung pada pembatasan sosial menyebabkan gangguan pabrik, transportasi, dan rantai pasokan. Nilai ekspor industri manufaktur atau pengolahan, yang berkontribusi sebesar 76,6 persen, turun 3,63 persen secara bulanan.
Impor bahan baku/penolong dan barang modal juga turun masing-masing sebesar 12,37 persen dan 18,58 persen secara bulanan. Kontribusi sektor ini terhadap total impor nonmigas Indonesia masing-masing mencapai 75,55 persen dan 13,71 persen.
”Indonesia memang memperoleh manfaat dari kenaikan harga komoditas. Namun, hal itu tidak akan terus berkelanjutan. Di sisi lain, kebangkitan Covid-19 (dengan varian Delta) masih mengancam,” kata Sonia dalam siaran pers.
Ekspansi China mulai melambat sejak Juli 2021, sedangkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan melambat karena tengah menghadapi gelombang Delta.
Indonesia, lanjut Sonia, juga perlu mewaspadai negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia yang juga tengah menghadapi kebangkitan Covid-19 tersebut, terutama China dan Amerika Serikat. Ekspansi China mulai melambat sejak Juli 2021, sedangkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan melambat karena tengah menghadapi gelombang Delta.
”Ini bisa menghambat momentum pertumbuhan ekspor Indonesia. Kami perkirakan kinerja perdagangan Indonesia tidak akan goyah atau turun drastis, tetapi akan melemah dalam beberapa bulan mendatang,” katanya.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia ke China pada Juli 2021 mencapai 3,57 miliar dollar AS atau turun 13,7 persen dibandingkan Juni 2021. Nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat juga turun 5,35 persen secara bulanan menjadi 2,02 miliar dollar AS.
Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kepala BPS Margo Yuwono menuturkan, kenaikan harga komoditas dan pemulihan ekonomi sejumlah negara tetap menjadi penopang utama kinerja positif ini. Komoditas ekspor yang harganya masih tinggi antara lain lain minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, dan nikel.
Pada Juli 2021, misalnya, harga CPO meningkat 4,74 persen secara bulanan dan 52,33 persen secara tahunan. Hal ini menyebabkan ekspor lemak dan minyak hewan/nabati berkontribusi paling tinggi terhadap ekspor Juli 2021. Nilai ekspor produk berkode HS 15 itu mencapai 614 juta dollar AS.
”Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia ke India meningkat paling signifikan, yaitu senilai 272,7 juta dollar AS. Komoditasnya adalah lemak dan minyak hewan/nabati, serta bijih, terak, dan abu logam,” ujarnya.
Ekonomi India mulai membaik setelah mampu menekan dan mengendalikan gelombang kedua Covid-19. Varian Delta, salah satu turunan SARS-CoV-2 yang paling menular ini, pernah meluluhlantakkan India, dengan penambahan lebih dari 400.000 kasus dan kematian 4.800 orang per hari pada Mei 2021.
Sementara itu, Peneliti Pusat Perdagangan, Industri, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha M Rachbini, berpendapat, Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada komoditas karena harganya rentan bergejolak. Jika ekspor benar-benar mau dijadikan sebagai pendorong ekonomi nasional yang berkualitas, sektor produksi atau industri harus diarahkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
”Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong hilirisasi, investasi, dan ekspor secara bersamaan. Tidak bisa hanya mengandalkan ekspor saja,” katanya.
Pemerintah harus mendorong hilirisasi, investasi, dan ekspor secara bersamaan. Tidak bisa hanya mengandalkan ekspor saja.
Menurut Eisha, pengembangan ekspor juga perlu diikuti dengan pembenahan usaha dan industri kecil padat karya agar mereka bisa mengekspor secara mandiri atau masuk dalam rantai pasok global. Saat ini, usaha dan industri kecil di Indonesia masih terkonsentrasi di sejumlah subsektor tertentu, seperti makanan-minuman, tekstil, pakaian jadi, otomotif, dan furnitur.
Namun, dari sisi kualitas produk dan efisiensi biaya produksinya masih rendah sehingga perlu ditingkatkan. Selain itu, mereka juga perlu terus didorong agar mudah mendapatkan akses pembiayaan dan teknologi digital agar bisa bersaing di pasar domestik ataupun internasional.