Proses pemulihan ekonomi Indonesia kembali terganjal. Penularan Covid-19 dari varian Delta yang begitu cepat kembali memaksa pemerintah menginjak rem darurat. Cerita manis ekonomi Indonesia selama triwulan II-2021 pun ambyar.
Kondisi ekonomi pada triwulan kedua sempat mendongkrak asa dengan pertumbuhan mencapai 7,07 persen secara tahunan (year on year/yoy). Tak hanya menandai kembalinya pertumbuhan positif sekaligus mengakhiri resesi
yang telah berlangsung selama setahun, angka tersebut juga melonjak tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang minus 0,74 persen. Pemerintah pun optimistis, pertumbuhan ekonomi tahun 2021 bisa mencapai
4,5-5,3 persen.
Meski demikian, petaka itu kembali datang. Sejak pertengahan Juni, kasus Covid-19 melonjak drastis dan mencapai puncaknya pada 15 Juli 2021 dengan penambahan kasus Covid-19 sebanyak 56.757 orang. Untuk mengerem laju penularan virus, pemerintah pun menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada 3-20 Juli 2021 dan dilanjutkan dengan PPKM Level 4 dan 3 hingga 9 Agustus 2021.
Kondisi ini sudah pasti akan melemahkan perekonomian. Tingkat konsumsi masyarakat diperkirakan kembali turun pada triwulan III-2021. Begitu pula aktivitas sektor riil.
Dalam skenario berat, pemerintah memperkirakan relaksasi PPKM baru akan dilakukan mulai pekan ketiga Agustus dan pemulihan aktivitas ekonomi baru kembali terjadi secara bertahap mulai September 2021. Kondisi ini membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 diturunkan menjadi 3,7
persen.
Padahal, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi terutama tahun ini dan tahun 2022. Ini agar pada 2023 pemerintah bisa kembali menormalisasi kebijakan fiskalnya, baik dari sisi penerimaan maupun belanja.
Dalam proses pemulihan ekonomi yang diproyeksikan berlangsung selama 2020-2022, kebijakan fiskal terpaksa dibuat tidak normal, sebagai upaya countercyclical dalam mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19,
defisit APBN boleh dilebarkan melampaui ambang batas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama kurun 2020-2022.
Baca juga kolom penulis:
Penerimaan negara yang turun akibat lesunya ekonomi, sedangkan belanja justru harus ditingkatkan untuk penyaluran stimulus, membuat defisit anggaran tak mungkin lagi dipatok di bawah 3 persen selama periode tersebut.
Pada 2020, defisit anggaran melebar menjadi 6,09 persen PDB. Sementara tahun 2021 dan 2022, defisit diproyeksikan masing-masing 5,7 persen dan 4,51-4,85 persen. Untuk menambal defisit dan kebutuhan investasi, pemerintah harus menambah utang sebesar Rp 1.226,8 triliun pada 2020 dan diperkirakan sebesar Rp 1.177,4 triliun pada 2021 sehingga total utang negara bakal menjadi Rp 7.252 triliun atau 41 persen PDB pada akhir 2021.
Nah, pada 2023, berdasarkan UU tersebut, defisit APBN harus dikembalikan di bawah 3 persen PDB. Ini artinya, pada tahun itu, penerimaan negara diasumsikan sudah kembali ke level normal agar bisa menopang belanja yang kemungkinan masih tinggi.
Untuk mendorong penerimaan negara, terutama dari pajak, tentu saja yang utama harus dilakukan adalah memulihkan ekonomi dengan cepat yang ditandai dengan pertumbuhan tinggi. Jika aktivitas ekonomi pulih, kinerja per-
usahaan dan belanja masyarakat kembali normal, pembayaran pajak akan otomatis meningkat.
Berdasarkan skema konsolidasi fiskal pemerintah, rasio pendapatan negara terhadap PDB pada 2021 diperkirakan turun menjadi 9,88 persen dari 10,68 persen pada 2020. Pada 2022, rasionya akan dinaikkan menjadi 10,18-10,44 persen.
Lalu pada 2023 diharapkan masuk zona normal di kisaran 10,19-10,89 persen. Sementara di sisi belanja negara, rasionya akan diturunkan dari 16,8 persen pada 2020 menjadi 15,58 persen pada 2021 dan 14,69-15,3 persen pada 2022. Pada 2023, rasio belanja diproyeksikan kembali normal di kisaran 12,9-13,86
persen.
Jika ekonomi tak lekas pulih akibat selalu tertahan lonjakan kasus Covid-19, penerimaan pajak pun tak akan kunjung naik. Konsekuensinya, peningkatan penerimaan pajak tidak bisa lagi terkonsolidasi secara alami, melainkan melalui
intervensi kebijakan, yakni menaikkan tarif pajak secara signifikan. Namun, langkah ini juga tak mudah karena berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat yang ujungnya membuat perekonomian terkontraksi.
Bagaimana bila belanja negara yang diturunkan? Ini juga pilihan sulit karena bisa membuat perekonomian terkontraksi juga. Bisa saja pemerintah kembali mengeluarkan perppu untuk melonggarkan kembali defisit anggaran pada
2023 agar perekonomian bisa tumbuh positif. Namun, konsekuensinya, utang negara akan terus membengkak dan beban bunganya bakal menghambat optimalisasi belanja dalam jangka menengah panjang.
Agar tidak jadi simalakama fiskal pada tahun 2023, penularan kasus Covid-19 harus terus ditekan, dan potensi lonjakan kasus wajib dimitigasi agar pemerintah tak perlu lagi menginjak rem darurat. Percepatan vaksinasi, implementasi protokol kesehatan yang ketat, dan penerapan 3T (tracing, testing, treatment) perlu dioptimalkan. Hanya dengan cara ini pemulihan ekonomi dapat berkesinambungan.