Pemerintah memberikan pinjaman kepada sejumlah BUMN untuk menalangi utang yang jatuh tempo. Pinjaman pemerintah, yang dibuat seperti skema investasi, berasal dari utang.
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
Kompas
M Fajar Marta, Wartawan Kompas
Kebijakan fiskal Indonesia menganut prinsip lebih besar pasak daripada tiang atau lebih besar belanja ketimbang pendapatan. Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN selalu defisit alias tekor. Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah harus berutang. Setiap tahun, utang yang ditarik cenderung semakin besar.
Ternyata, pemerintah tak hanya menggunakan utang untuk menutup defisit anggaran. Pemerintah juga berutang untuk hal-hal yang bersifat investasi, pemberian pinjaman, penjaminan, dan pembiayaan lain. Setiap tahun, rencana penarikan utang baru selalu lebih besar daripada defisit anggarannya. Biasanya, selisih di antara keduanya sekitar Rp 30 triliun per tahun.
Namun, dalam lima tahun terakhir, selisih antara penarikan utang baru dan defisit anggaran cenderung semakin besar. Pada 2019, realisasi penarikan utang baru Rp 435,4 triliun, sementara defisitnya Rp 353 triliun sehingga ada selisih Rp 82,4 triliun, termasuk sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa).
Puncaknya terjadi pada 2020, selisih keduanya mencapai Rp 268,5 triliun, termasuk Silpa. Pemerintah menarik utang baru Rp 1.226,8 triliun, sedangkan defisit anggaran Rp 958,3 triliun.
Dalam pos pembiayaan tersebut, anggaran relatif besar disalurkan untuk berbagai bentuk investasi. Bentuknya, antara lain, penyertaan modal negara (PMN) dan pemberian pinjaman kepada BUMN, investasi pada badan layanan umum, dana bergulir, dana abadi, dan investasi pada lembaga keuangan internasional.
Sumber dana PMN dari utang mungkin masih relevan sepanjang tujuannya untuk meningkatkan leverage BUMN sebagai korporasi dan agen pembangunan.
Dari investasi dalam bentuk PMN, pemerintah diharapkan bisa memperoleh dividen yang lebih besar atau mendapatkan dampak ekonomi yang lebih signifikan dari pembangunan yang dilakukan BUMN.
Sumber dana PMN dari utang mungkin masih relevan sepanjang tujuannya untuk meningkatkan leverage BUMN sebagai korporasi dan agen pembangunan.
Pada 2020, pemerintah menyuntikkan PMN untuk 6 BUMN dan 2 lembaga serta memberikan pinjaman kepada 5 BUMN lain senilai Rp 60,73 triliun. PMN diberikan kepada sejumlah BUMN untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur dan padat karya sebagai upaya countercyclical dampak pandemi Covid-19 sekaligus mendorong pemulihan ekonomi.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Penyertaan Modal Negara dalam APBN 2020
Namun, menjadi pertanyaan ketika pemerintah harus berutang untuk memberikan pinjaman guna menalangi utang-utang BUMN yang jatuh tempo. Skemanya dibuat seperti investasi, yakni pemerintah membeli obligasi yang diterbitkan BUMN bersangkutan melalui lembaga-lembaga investasi milik pemerintah. Padahal, sebenarnya dana itu merupakan dana talangan karena BUMN tersebut tak mampu lagi mencari dana pembiayaan kembali akibat kinerjanya buruk.
Pembiayaan seperti itu jelas sulit dikategorikan sebagai investasi karena bukan untuk leverage, melainkan untuk menutup kerugian BUMN. Hal ini menjadi ironi karena dana untuk menutup kerugian tersebut berasal dari utang.
Berbeda dengan belanja negara yang dibatasi besaran defisit, pembiayaan investasi tak ada pembatasnya. Kondisi ini berbahaya karena pembiayaan investasi berpotensi menjadi tidak terkendali.
Dana-dana talangan untuk menutup kerugian BUMN semestinya tidak bersumber dari utang. Maka, pemerintah harus bekerja lebih keras membenahi tata kelola sejumlah BUMN agar tidak menjadi beban negara dan masyarakat.
Tahun ini, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran Rp 1.006,4 triliun. Utang baru yang ditarik sebagian besar dari penerbitan obligasi, mencapai Rp 1.143 triliun, atau ada selisih Rp 136,6 triliun.
Seperti halnya tahun lalu, sebagian memang diproyeksikan untuk mendongkrak kapasitas BUMN agar bisa mengerjakan lebih banyak proyek pembangunan guna mempercepat pemulihan ekonomi. Namun, lagi-lagi ada juga pembiayaan investasi yang sebenarnya merupakan upaya menutup kerugian BUMN yang salah kelola.
Lagi-lagi ada juga pembiayaan investasi yang sebenarnya merupakan upaya menutup kerugian BUMN yang salah kelola.
Dampaknya, utang pemerintah makin menumpuk. Posisi utang Indonesia pada akhir 2021 diperkirakan Rp 7.306,11 triliun atau 41,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang ini melonjak dibandingkan dengan akhir 2014 yang 24,68 persen terhadap PDB.
Sudah saatnya pembiayaan investasi lebih dikendalikan. Salah satunya melalui batasan, seperti halnya defisit anggaran. Jika dibiarkan, utang akan makin membengkak, meninggalkan bom waktu untuk anak cucu kita.