Dana menganggur yang hanya menumpuk di rekening pemerintah tentu tak bermanfaat karena tak bisa dipakai untuk mendorong aktivitas ekonomi di masyarakat.
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
Tak mudah memproyeksikan anggaran negara untuk setahun mendatang. Dalam 20 tahun terakhir, sangat jarang pos-pos anggaran dalam APBN dapat mencapai target 100 persen atau lebih. Untuk menyiasatinya, pemerintah dan DPR biasanya merevisi anggaran pada tengah tahun dalam bentuk APBN Perubahan. Namun, itu pun kerap meleset.
Dinamika perkembangan ekonomi domestik dan global yang relatif cepat membuat pos-pos anggaran dalam APBN sulit diprediksi secara akurat. Apalagi, di masa pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian.
Pos belanja negara tahun 2020 ditargetkan Rp 2.739,2 triliun. Namun, realisasinya Rp 2.589,9 triliun atau 94,5 persen dari target. Begitu pula pos pendapatan negara, tak sesuai proyeksi. Pada 2021, realisasi pendapatan dan belanja negara kemungkinan juga meleset dari proyeksi. Indikasi awal terlihat dari penyerapan anggaran dalam dua bulan pertama tahun ini yang masih rendah.
Dari target belanja APBN 2021 sebesar Rp 2.750 triliun, realisasi hingga Februari 2021 baru Rp 282,7 triliun atau 10 persen dari target. Jika anggaran belanja dibagi rata tiap bulan, seharusnya realisasi sudah mencapai 16,6 persen.
Namun, ada satu pos anggaran yang hampir selalu memenuhi target, bahkan melampauinya, yakni pembiayaan utang. Pada 2020, pembiayaan utang diproyeksikan Rp 1.220,5 triliun, sedangkan realisasinya Rp 1.226,8 triliun atau 100,5 persen dari target. Kedisiplinan pemerintah menarik utang baru juga terlihat pada awal tahun ini. Per Februari, realisasi utang Rp 273 triliun atau 23,2 persen dari proyeksi tahun ini, yakni Rp 1.177,4 triliun.
Ada satu pos anggaran yang hampir selalu memenuhi target, bahkan melampauinya, yakni pembiayaan utang.
Silpa
Penarikan utang baru yang jauh lebih cepat ketimbang belanja membuat selalu ada dana silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran) setiap tahun. Pada 2020, dana silpa terbilang besar, yakni Rp 234,7 triliun. Dana silpa biasanya akan dialihkan ke tahun berikutnya, baik untuk membiayai program tahun sebelumnya yang belum selesai atau program baru.
Pemerintah berencana menggunakan dana silpa 2020 untuk program penanganan kesehatan, dukungan dunia usaha melalui perbankan, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) lainnya.
Penarikan utang selama Januari-Februari 2021 juga sangat cepat. Dengan penyerapan belanja yang masih relatif lambat, dana Silpa pun makin menumpuk. Per Februari 2021, dana silpa tahun berjalan mencapai Rp 209,5 triliun. Jika ditambah silpa tahun 2020, pemerintah saat ini memiliki dana sisa Rp 444,2 triliun.
POLITICAL ECONOMY AND POLICY STUDIES
Proyeksi utang pemerintah.
Apabila tak segera terpakai, dana silpa akan merugikan negara. Dana menganggur yang hanya menumpuk di rekening pemerintah tentu tak bermanfaat karena tak bisa dipakai untuk mendorong aktivitas ekonomi di masyarakat. Namun, pemerintah tetap harus menanggung beban bunganya karena dana silpa tersebut berasal dari utang.
Tanpa memperhitungkan dana silpa, pemerintah harus membayar bunga utang Rp 373,3 triliun. Dengan proyeksi belanja negara Rp 2.750 triliun, rasio beban bunga utang terhadap belanja negara mencapai 13,6 persen.
Hal ini menunjukkan porsi belanja negara yang digunakan untuk membayar bunga utang semakin besar. Sebaliknya, porsi belanja untuk program pembangunan semakin kecil.
Namun, pemerintah tetap harus menanggung beban bunganya karena dana silpa tersebut berasal dari utang.
Adapun dibandingkan dengan pendapatan negara yang diproyeksikan Rp 1.743,6 triliun, rasionya akan mencapai 21,4 persen pada akhir 2021. Artinya, lebih dari seperlima penerimaan negara hanya untuk membayar bunga utang.
Pemerintah perlu mencermati rasio beban bunga utang terhadap pendapatan yang cenderung meningkat pesat dalam enam tahun terakhir. Indikator ini akan memengaruhi penilaian kreditor, terutama kreditor asing.
Dengan posisi silpa yang cukup besar saat ini, pemerintah seharusnya bisa mengerem laju utang. Pemerintah tak perlu repot-repot lagi mengejar target utang baru sebesar Rp 1.177,4 triliun tahun ini. Lebih baik pemerintah fokus mempercepat penyerapan anggaran agar target belanja bisa tercapai 100 persen atau lebih.
Jika tak direm, pada akhir 2021, outstanding utang bisa mencapai Rp 7.252 triliun atau 41 persen dari produk domestik bruto (PDB), yang berarti melaju rata-rata 16 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.