Ketidakpastian ekonomi global serta penanganan Covid-19 di dalam negeri yang belum terkendali mau tak mau memaksa industri manufaktur melambat dulu. Seperti kata pepatah, tidak apa-apa lambat, asal selamat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Industri manufaktur dalam negeri sempat menunjukkan anomali menggembirakan di awal tahun. Di tengah tekanan pandemi, kinerja sektor pengolahan mengalami ekspansi, bahkan jauh lebih baik dibandingkan kondisi prapandemi. Kini, di bawah bayang-bayang keganasan varian baru Covid-19, industri harus melambat sejenak.
Berbagai indikator selama enam bulan pertama tahun ini menunjukkan, daya tahan sektor manufaktur terhadap guncangan pandemi masih kuat. Mengacu pada Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI Manufaktur) oleh IHS Markit, aktivitas industri pengolahan sejak November 2020 terus melaju di zona ekspansif (di atas angka 50).
Meski sempat ada di titik terendah pada April 2020 dengan PMI Manufaktur yang anjlok di angka 27,5, kinerja industri pengolahan cepat membaik. Seiring dengan pulihnya ekonomi global, pada Agustus 2020, aktivitas industri sudah kembali ke zona ekspansif di level 50,8.
Bahkan, berturut-turut pada periode Maret-Mei 2021, PMI Manufaktur menyentuh rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir sejak survei IHS Markit dimulai. Kinerja industri Indonesia juga sempat lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya pada Mei 2021.
Sejumlah faktor, mulai dari output produksi, permintaan baru, ketenagakerjaan, inventori, hingga waktu pengiriman (logistik), menunjukkan kinerja yang baik. IHS Markit mencatat, kenaikan paling tajam tampak pada output produksi dan pesanan (order) baru. Kondisi terus membaik hingga pada Mei 2021, perusahaan-perusahaan mulai berani menambah jumlah karyawannya.
Ekspansi itu banyak didorong oleh naiknya permintaan global, seperti tampak dari kinerja ekspor industri pengolahan yang melesat di awal tahun. Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang Januari-Juni 2021, ekspor industri pengolahan berkontribusi 78,8 persen dari total ekspor nasional senilai 102,87 miliar dollar AS. Sejalan dengan itu, realisasi investasi di sektor industri pun meningkat secara tahunan pada semester I tahun ini.
Terkontraksi
Ledakan Covid-19 dan pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama satu bulan terakhir kini melambatkan lagi laju ekspansi industri. Pada Juli 2021, PMI Manufaktur Indonesia tercatat di posisi 40,1, menurun dari angka 53,5 pada bulan sebelumnya. Ini menjadi kontraksi pertama sektor manufaktur Indonesia setelah delapan bulan sebelumnya berturut-turut mengalami ekspansi.
Output produksi dan permintaan baru menurun, membuat perusahaan ikut mengurangi jumlah tenaga kerja atau melakukan pemutusan hubungan kerja. Selain tertekan Covid-19 yang memburuk, kemacetan rantai pasokan global juga memperparah kinerja industri.
Akhir pekan lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah memberi industri manufaktur keleluasaan untuk beroperasi hingga 100 persen bagi sektor esensial dan kritikal serta 50 persen bagi sektor non-esensial selama PPKM.
Alasan pengusaha, pelonggaran dibutuhkan agar produksi industri tetap maksimal, perusahaan dapat mempertahankan pekerjanya, dan pangsa ekspor Indonesia tidak lari ke negara lain.
Namun, melonggarkan kegiatan industri hingga maksimal 100 persen sesuai keinginan pengusaha dapat memukul mundur upaya pengendalian Covid-19. Saat ini saja, dengan berbagai pembatasan, masih ada pabrik yang melanggar dan beroperasi 100 persen. Kluster industri pun masih marak ditemukan.
Pada beberapa kasus, pekerja tetap memaksa bekerja meski sedang mengalami gejala sakit karena takut kehilangan upah. Buruh terjangkit, membentuk kluster penularan baru di lingkup keluarga dan perumahan, dan meninggal selama isolasi mandiri (isoman). Apa kabarnya jika aktivitas industri dilonggarkan?
PMI Manufaktur menunjukkan, kinerja industri pengolahan mulai melambat pada Juni 2021, sebelum PPKM darurat. Juni lalu, kasus Covid-19 memang mulai melonjak. Survei IHS Markit juga menunjukkan, penurunan order dari luar negeri sudah mulai terjadi sejak Juni, sebelum PPKM darurat diterapkan.
Ini menunjukkan, meski PPKM kelak dilonggarkan dan pabrik-pabrik bisa beroperasi lebih leluasa, selama laju penularan Covid-19 belum terkendali, kinerja industri manufaktur tetap akan menurun.
Lagi pula, kendati melambat, bukan berarti industri dipaksa menginjak rem dan berhenti total. Pemerintah masih mengizinkan industri esensial berorientasi ekspor dan industri kritikal beroperasi dengan kapasitas tertentu selama PPKM.
Kementerian Perindustrian meyakini, ekspansi yang dialami di awal tahun ini akan menjadi bekal yang menjaga resiliensi industri manufaktur selama PPKM. Tentu, keyakinan pemerintah perlu dilengkapi dengan sistem izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) yang lebih disiplin.
Hanya dengan sistem monitoring dan evaluasi kuat, industri esensial dan kritikal dapat tetap berjalan selama PPKM, tanpa perlu mengorbankan aspek kesehatan dan memunculkan kluster-kluster penularan baru.
Gelombang baru
Hal lain yang patut diwaspadai adalah tren gelombang varian baru di tingkat global. Selain Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara lain juga tengah menghadapi ledakan kasus Covid-19.
China, sebagai raksasa ekonomi global dan mitra dagang utama Indonesia, tiga hari lalu melaporkan kenaikan kasus Covid-19 terbanyak sejak Januari 2021. Perekonomian China pun tercatat melambat pada Juli 2021.
Amerika Serikat juga dilaporkan mulai waswas dengan perkembangan varian baru Covid-19 yang jauh lebih ganas. Beberapa negara bagian mulai mempertimbangkan lagi pengetatan pembatasan dan penguncian wilayah.
Di tengah kondisi yang serba tidak pasti, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan beberapa negara Asia. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri dikoreksi dari awalnya 4,3 persen menjadi 3,9 persen.
Mengingat nasib sektor manufaktur sangat bergantung pada perekonomian negara lain, ini menjadi lampu kuning. Ketidakpastian ekonomi negara mitra dagang serta penanganan Covid-19 di dalam negeri yang belum terkendali memaksa industri manufaktur melambat dulu.
Seperti kata pepatah, tidak apa-apa lambat, asal selamat.