Industri Pengolahan Jadi Tumpuan Pemulihan Ekonomi
Tantangan memajukan industri pengolahan tidak mudah. Saat ini, 99,7 persen industri manufaktur di Indonesia masih didominasi industri berskala kecil dan menengah yang menyerap hingga 15,63 juta tenaga kerja.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat Indonesia kembali turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Pembangunan industri yang bernilai tambah serta mampu menyerap banyak tenaga kerja menjadi andalan untuk mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan memulihkan perekonomian nasional.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, Selasa (29/6/2021), mengatakan, Covid-19 melambatkan langkah Indonesia untuk menjadi negara maju. Perekonomian Indonesia yang terkontraksi 2,07 persen sepanjang 2020 berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan.
Padahal, pada 2019, Bank Dunia telah menobatkan Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) dengan pendapatan per kapita 4.050 dollar AS, naik dari tahun 2018 sekitar 3.840 dollar AS.
Rencana investasi harus bernilai lebih dari Rp 1 triliun, mendorong substitusi impor, berorientasi ekspor, dan mampu menyerap tenaga kerja minimal 3.000 orang.
Indonesia awalnya berasumsi bisa keluar dari negara berpendapatan menengah (middle income country) pada 2036 jika ekonominya bisa tumbuh rata-rata 5,7 persen per tahun. Namun, dengan pandemi yang berkepanjangan, bahkan memburuk, hal itu sulit dicapai.
”Indonesia kembali menjadi lower middle income country lagi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan menjadi poin krusial untuk keluar dari tekanan jebakan middle income trap,” kata Suharso dalam webinar ”Road to Indonesia Development Forum” di Jakarta.
Dengan kontribusi hingga 19,9 persen terhadap perekonomian nasional, pembangunan industri pengolahan (manufaktur) pun menjadi kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pulih dari dampak pandemi.
”Strategi pemulihan kita fokus pada pembangunan industri yang memiliki daya ungkit, mampu menyerap tenaga kerja, dan punya efek multiplier (pengganda) yang tinggi. Kita butuh industri yang bisa menjawab tantangan dan peluang pascapandemi,” kata Suharso.
Satuan Tugas Investasi Percepatan Investasi telah menetapkan kriteria proyek investasi prioritas. Kriteria itu, antara lain, rencana investasi harus bernilai lebih dari Rp 1 triliun, mendorong substitusi impor, berorientasi ekspor, dan mampu menyerap tenaga kerja minimal 3.000 orang.
Pada triwulan I-2021, realisasi investasi mencapai Rp 219,7 triliun dan menyerap 311.793 tenaga kerja. Capaian itu meningkat dibandingkan dengan 2019 dan 2020. Namun, efek pengganda dari investasi itu belum optimal. Setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk hanya mampu menyerap 1.419 tenaga kerja.
Sumber daya manusia
Tantangan untuk memajukan industri yang relevan dengan kondisi zaman tidak mudah. Saat ini, 99,7 persen industri manufaktur di Indonesia didominasi industri berskala kecil dan menengah. Mereka menyerap hingga 66,25 persen dari total serapan tenaga kerja industri pengolahan atau 15,63 juta orang. Namun, kontribusi nilai mereka terhadap keseluruhan industri masih rendah, sekitar 21 persen.
Selain itu, menurut Guru Besar Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung Dradjad Irianto, sebelum memusingkan adaptasi strategi teknologi digital, Indonesia harus terlebih dahulu membereskan persoalan mendasar berupa pengembangan industri hilirisasi yang bernilai tambah serta memajukan sumber daya manusia (SDM).
Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan angkatan kerja antara yang berketerampilan rendah dan tinggi semakin lebar. ”Ini menimbulkan masalah kesenjangan sosial. Sebab, seharusnya, semakin tinggi keterampilannya, semakin tinggi upah yang didapat. Maka, strategi yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah meningkatkan SDM,” katanya.
Faktor lain adalah pembangunan sektor hilir yang bernilai tambah. Ia menilai, meski pemerintah sekarang telah sadar untuk memajukan hilirisasi industri, keunggulan sumber daya alam yang dimiliki tidak dikelola dengan baik.
Regulasi seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja justru cenderung membuka kemungkinkan industri hulu (primer) penghasil bahan baku dikuasai oleh investor asing ketika seharusnya sektor primer itu diambil alih dan dikelola oleh negara untuk memaksimalkan pembangunan industri di hilir.
Saat ini, 99,7 persen industri manufaktur di Indonesia didominasi industri berskala kecil dan menengah. Mereka menyerap hingga 66,25 persen dari total serapan tenaga kerja industri pengolahan atau 15,63 juta orang.
”Kita punya comparative advantage untuk sektor hulu kita. Namun, kalau kita tidak cermat, ini akan diambil oleh investor luar negeri dan UU Cipta Kerja semakin membuka kemungkinan itu,” kata Dradjad.
Menurut dia, teknologi dan digitalisasi merupakan faktor penting industrialisasi pascapandemi. Namun, hal itu bukan penentu kemajuan industri manufaktur. ”Jangan kebablasan dan menganggap itu segalanya. Berkaca dari Jerman yang produknya berdaya saing tinggi, tingkat intensitas digitalisasi mereka ternyata tidak setinggi itu untuk kegiatan manufaktur,” ujarnya.
Memajukan IKM
Terkait memajukan industri kecil dan menengah (IKM) yang merupakan pemain utama jagat industri nasional, Direktur Jenderal IKM dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, pemerintah sedang berupaya untuk memperkuat struktur industri nasional berskala kecil-menengah.
Salah satunya dengan mendorong IKM masuk dalam rantai pasok industri secara keseluruhan dan bermitra dengan industri besar. ”Untuk itu, kami terus melakukan pendampingan ke IKM dari bidang manajemen, teknis produksi, sampai memfasilitasi sertifikasi bagi produk yang dihasilkan,” kata Gati.
Hal lainnya adalah membantu efisiensi IKM dalam mendapatkan bahan baku lewat pembangunan pusat bahan baku (material center) khusus IKM dalam waktu dekat. Selama ini, karena jumlah bahan baku yang dibutuhkan tidak banyak, IKM kerap harus membeli bahan baku dengan harga lebih mahal.
”Dengan material center, hal-hal seperti itu dapat kita hindari. Kita permudah, sekaligus juga ini menjadi bagian dari mendorong upaya substitusi impor,” ujarnya.