ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing, Nyanyian Duka yang Tak Kunjung Usai
Kelalaian negara melindungi calon pekerja migran membuat Riki Samosir tak bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-29. Kematian Riki menambah panjang daftar WNI yang meninggal saat bekerja di kapal ikan asing.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
Kelalaian negara melindungi calon pekerja migran membuat Riki Samosir tak dapat merayakan ulang tahunnya yang ke-29. Ia terbaring di atas meja otopsi. Kematian Riki menambah panjang daftar warga negara Indonesia yang meninggal saat bekerja di kapal ikan berbendera asing.
Yusna Samosir (41) terisak saat menceritakan kenangan tentang adiknya, Riki Samosir, melalui telepon dari rumahnya di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Jumat (23/7/2021). ”Harusnya malam ini dia merayakan ulang tahun yang ke-29,” ucapnya dengan suara bergetar.
Namun, malam itu, usia Riki tak bisa lagi bertambah. Ia terbaring kaku di atas meja otopsi Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam, Kepulauan Riau. Hingga, Senin, (26/7/2021) malam, jenazah Riki juga belum sampai ke Pematang Siantar.
Yusna bercerita, kisah pilu itu bermula pada Juni 2019. Saat itu, Riki sedang kesulitan mencari kerja di Pematang Siantar. Di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit, seorang agen pekerjaan datang dan menawari dia lowongan di kapal asing.
Riki tergiur dengan iming-iming gaji yang besar. Ia kemudian membayar Rp 6 juta kepada sang agen dan diberangkatkan ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan.
Namun, satu bulan di Ibu Kota, nasib Riki justru semakin tidak jelas. Di sana, ia bertemu dengan beberapa calon tenaga kerja lain asal Sumatera Utara. Dari mereka, ia mendengar proses penempatan bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.
”Jadi, di sanalah, dia ketemu teman yang mengajak untuk pindah ke perusahaan penempatan lain di Tegal (Jawa Tengah). Nama perusahaannya itu PT RCA,” kata Yusna.
Di Tegal, Riki menjalani pelatihan selama lebih kurang dua bulan. Ia bercerita kepada Yusna, PT RCA memberikan berbagai macam pelatihan tentang kecakapan menjadi pelaut dengan serius dan baik.
Setelah dua bulan menjalani pelatihan, Riki kemudian disalurkan menuju Singapura. Ketika akan terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, ia sesaat menelepon keluarganya untuk yang terakhir kali pada 12 Oktober 2019.
”Sampai saat ini, kami tak pernah lagi mendengar suaranya. Sampai akhirnya perwakilan perusahaan penyalur mengabarkan ia telah meninggal pada 29 Juni 2021,” ujar Yusna.
Dari informasi yang didapat keluarga, Riki meninggal saat bekerja di kapal ikan berbendera China, Taixiang 11. Namun, jenazah Riki kemudian dipindahkan ke kapal Taixiang 6 untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah di perairan Batam, perbatasan antara Indonesia dan Singapura.
Pemulangan
Pada 21 Juli 2021, Kementerian Perhubungan mengerahkan Kapal Negara (KN) Kalimashada P-115 untuk menjemput jenazah Riki dari kapal Taixiang 6. Penyerahan jenazah Riki dilakukan secara ship-to-ship di perairan Batam, perbatasan antara Indonesia dan Singapura.
Kepala Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas II Tanjung Uban Handry Sulfian mengatakan, KN Kalimashada sandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, pada 21 Juli 2021 sekitar pukul 19.30. Jenazah Riki kemudian dibawa menggunakan ambulans Polresta Barelang ke RS Badan Pengusahaan Batam untuk diotopsi.
Sampai saat ini, kami tak pernah lagi mendengar suaranya. Sampai akhirnya perwakilan perusahaan penyalur mengabarkan ia telah meninggal pada 29 Juni 2021.
Menurut Yusna, proses pemulangan jenazah Riki dari kapal Taixiang 6 itu sempat berjalan alot. Perusahan penyalur sempat menawarkan uang 25.000 dollar AS, atau sekitar Rp 361 juta, agar keluarga bersedia menerima jenazah Riki dilarung ke laut.
Nakhoda Kapal Taixiang 6 khawatir akan ditangkap aparat Indonesia jika mereka menyerahkan jenazah Riki di perairan Batam. Penyebabnya, pada Juli 2020, TNI Angkatan Laut pernah menangkap kapal ikan berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 118, di perairan Pulau Nipah, Batam. Di kapal itu terdapat satu jenazah anak buah kapal (ABK) asal Indonesia, Hasan Afriadi.
Aliansi terbuka Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat, ada 37 warga negara Indonesia (WNI) yang meninggal saat bekerja di kapal perikanan asing pada periode November 2019-Juni 2021. Sebagian besar di antaranya adalah pekerja di kapal perikanan berbendera China dan Taiwan.
Koordinator Nasional DFW Abdi Suhufan mengatakan, pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk memberantas perusahaan ilegal yang melakukan perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan migran. Sampai kini, banyak perusahaan tidak memiliki izin, tetapi masih bisa leluasa beroperasi.
Abdi menduga, PT RCA yang memberangkatkan Riki juga merupakan perusahaan yang ilegal. ”Saat ini, PT RCA sudah tutup. Sebelumnya, mereka dilaporkan menelantarkan tiga ABK perikanan asal Indonesia selama enam bulan di perairan Somalia,” katanya.
Secara terpisah, Direktur SAFE Seas Project Nono Sumarsono mengatakan, pemerintah juga harus memastikan terpenuhinya hak-hak WNI yang meninggal saat bekerja di kapal asing, seperti upah kerja dan pemenuhan asuransi. Ia mendorong pemerintah segera menyusun rencana aksi nasional sebagai panduan instansi dan lembaga terkait untuk menangani kasus-kasus yang menimpa ABK Indonesia di kapal asing.