Menjamin Kebutuhan Rakyat
Menyelamatkan ekonomi berarti menyelamatkan manusianya, yang kini sedang sulit memenuhi kebutuhan hidup. Upaya perlindungan sosial tak bisa disikapi dengan kebijakan, politik anggaran, dan mental birokrasi seadanya.
Selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Demikian bunyi Pasal 55 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Belakangan, undang-undang itu kerap digunakan untuk mendisiplinkan orang-orang yang melanggar aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Namun, regulasi yang sama tidak dipakai ketika berurusan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang mayoritas masih bergantung pada ekonomi sektor informal.
Padahal, UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur dua hal. Bukan hanya soal kewajiban masyarakat untuk mematuhi aturan dasar kekarantinaan, melainkan juga menjamin hak masyarakat untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya saat karantina.
Baca juga : Warga Kepri Butuh Bantuan Pemerintah Selama PPKM Darurat
Beberapa hari terakhir ini, pemberitaan diramaikan oleh aksi penegakan hukum yang dilakukan aparat di sejumlah daerah untuk mendisiplinkan warga yang melanggar aturan PPKM darurat. Ada yang persuasif, tak sedikit pula yang represif.
Berbagai kisah tentang warga yang memilih dipenjara daripada membayar denda ke negara menunjukkan, pilihan masyarakat sangat terbatas. Lebih baik mengorbankan kebebasan selama beberapa hari daripada harus kehilangan uang yang menjadi sumber penghidupan di tengah kondisi pandemi yang serba sulit.
Sebagaimana ditegaskan sejarawan ekonomi Karl Polanyi, ekonomi pada hakikatnya berurusan dengan organisasi mata pencarian manusia (the livelihood of man), atau upaya bertahan hidup. Manusia bertahan hidup tidak dengan mengasalkan pada dirinya sendiri, tetapi pada institusi lain di luar dirinya—komunitas, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pemikir filsafat almarhum Herry B Priyono dalam tulisannya ”Karl Polanyi Menanam Ekonomi” menyatakan, makna substantif ekonomi itu mulai mengalami pergeseran seiring dengan kemunculan sistem pasar bebas. Ekonomi tercerabut dari relasi sosial di masyarakat dan seolah berkutat pada urusan kalkulasi untung-rugi dan kepentingan per individu masing-masing.
Kini, Covid-19 membumikan kembali hakikat manusia ekonomi itu secara substantif. Kembali pada ekonomi sebagai urusan mata pencarian dan bertahan hidup. Itulah mengapa, di tengah kondisi krisis saat ini dan rencana perpanjangan PPKM darurat, implementasi Pasal 55 Ayat 1 UU Karantina Kesehatan menjadi krusial.
Covid-19 membumikan kembali hakikat manusia ekonomi itu secara substantif. Kembali pada ekonomi sebagai urusan mata pencaharian dan bertahan hidup.
Baca juga : Warga Miskin Ibu Kota Bertahan dengan Secuil Asa dan Sedikit Nafkah
Masyarakat akan patuh berdiam diri di rumah jika kehidupannya terjamin. Kalau masih ada yang melanggar, di situ UU Karantina Kesehatan berlaku untuk menegakkan kewajiban warga, lengkap dengan sanksi dan disiplin yang sepantasnya, tanpa pandang bulu dan status sosial. Namun, rakyat kecil tidak bisa diminta memilih antara sakit atau kelaparan.
Perlu terobosan
Memang, pemerintah tidak diam saja. Anggaran perlindungan sosial ditambah dari pagu Rp 148,27 triliun di tahun 2020 menjadi Rp 153,86 triliun di tahun 2021. Namun, untuk hitungan kondisi darurat, kenaikan alokasi itu masih minim. Jumlahnya jauh di bawah realisasi perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional 2020, yaitu Rp 220,39 triliun.
Bantuan sosial itu, antara lain, program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, Kartu Prakerja, bantuan sosial tunai, bantuan langsung tunai desa, bantuan kuota internet untuk siswa dan tenaga didik, dan diskon listrik bagi rumah tangga dengan listrik 450 VA-900 VA.
Belum terlihat ada terobosan program baru atau perbaikan skema bansos untuk menanggapi kondisi darurat ini. Program yang penyalurannya terbukti tidak tepat sasaran untuk masyarakat kecil masih dipertahankan. Tak hanya itu, alokasi jumlah anggaran sejumlah program justru berkurang dari tahun lalu.
Perencanaan di atas kertas juga belum tampak di lapangan. Realisasi belanja pemerintah di daerah masih lambat sehingga masyarakat harus menunggu lama untuk datangnya bantuan. Hingga menjelang akhir PPKM darurat, masih banyak masyarakat yang belum tersentuh bantuan.
Baca juga : Bansos bagi Warga Terdampak, Pemkot Bekasi Masih Tunggu Pusat
Sementara, masyarakat mulai kehilangan sumber nafkah. Pekerja formal dibayangi ancaman PHK, upahnya dipangkas, karena kondisi perusahaan yang sudah tidak kondusif. Tidak sedikit pekerja meninggal saat isolasi mandiri (isoman) karena sulit mengakses bantuan obat-obatan, oksigen, atau tidak punya cukup uang.
Pelaku sektor informal yang bergantung pada pemasukan harian lebih miris nasibnya karena praktis tidak bisa beroperasi selama PPKM darurat. Mereka mendominasi angkatan kerja dan pelaku ekonomi di Indonesia, tetapi karena tidak terdata dengan baik, mayoritas masih luput dari bantuan selama pandemi.
Insentif bagi dunia usaha tidak kalah pentingnya, karena dapat mencegah pengangguran, kemiskinan, dan gejolak sosial. Kendati demikian, sampai sekarang, sejumlah insentif, termasuk subsidi upah yang diharapkan pekerja dan pengusaha, belum tampak akan kembali dihidupkan.
Baca juga : Pandemi Belum Terkendali, Lindungi Pekerja Terdampak
Anggaran yang kurang sering menjadi alasan. Namun, menjadi ironi ketika di saat yang sama, pemerintah kembali menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN) ke 12 BUMN dengan total anggaran Rp 106 triliun. Suntikan dana itu mayoritas diberikan untuk menjalankan penugasan membangun infrastruktur, seperti jalan tol, pariwisata, hingga kawasan ekonomi khusus.
Membius ekonomi
Meminjam istilah Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Berly Martawardaya, di tengah situasi darurat seperti sekarang, ekonomi mau tidak mau harus dibius hingga koma untuk sementara. Kebijakan yang bercabang hanya akan membuat pemulihan kesehatan maupun ekonomi berjalan di tempat.
Ibaratnya, seorang atlet yang cedera dipaksa untuk bertanding di Olimpiade. Medali tidak didapat, cedera sang atlet juga tidak sembuh-sembuh. Krisis di depan mata saat ini adalah konsekuensi dari kebijakan bercabang antara gas dan rem ekonomi versus kesehatan di tahun lalu, yang ujung-ujungnya tidak memulihkan keduanya.
Prioritas pemerintah kini diuji untuk mengedepankan kebijakan dan anggaran bagi penanganan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan hidup warga agar PPKM darurat berjalan efektif. Kegentingan dan rasa darurat harus ditanamkan dari pemerintah pusat hingga daerah, agar birokrasi tidak lagi bekerja sekenanya. Urusan lain di luar itu, dapat menunggu.
Baca juga : Pengendalian Covid-19 Tentukan Pemulihan Ekonomi
Menyelamatkan ekonomi berarti menyelamatkan manusianya, yang kini sedang kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Upaya perlindungan sosial dan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat tidak bisa disikapi dengan kebijakan, politik anggaran, dan mental birokrasi seadanya, apalagi dengan penyangkalan.
Desperate times call for desperate measures. Tidak ada yang ingin PPKM darurat yang sudah berjalan sejauh ini gagal, setelah terlalu banyak korban nyawa berjatuhan dan uang negara dikeluarkan. Ekonomi bisa dibangkitkan lagi, tetapi nyawa manusia tidak.