Lonjakan kasus Covid-19 dan pembatasan kegiatan masyarakat yang berlanjut berpotensi memicu tekanan kembali ke pasar properti. Harga pasar perumahan sekunder berpeluang terkoreksi lagi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berlanjut hingga pertengahan tahun ini membuat sektor properti tertekan lagi. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat berpotensi mengoreksi kembali harga properti, termasuk di pasar sekunder perumahan.
CEO dan Pendiri Indonesia Property Watch Ali Tranghanda berpendapat, harga perumahan sekunder sempat tertekan pada masa pandemi Covid-19 di tahun 2020. Tekanan pada pasar perumahan sekunder (rumah seken) cenderung lebih tinggi dibandingkan pasar perumahan primer (rumah baru). Beberapa rumah seken dijual di bawah harga pasar, bahkan di wilayah-wilayah elite di Jakarta. Namun, pada awal 2021, koreksi harga pasar sekunder mereda.
Namun, kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat melalui PPKM darurat pada 3-20 Juli 2021 dan ketidakpastian yang tinggi akibat pandemi Covid-19 berpotensi membuat koreksi harga pasar sekunder perumahan kembali tinggi pada triwulan III-2021. Hal ini perlu diwaspadai karena pasar perumahan sekunder bakal semakin tertekan.
”Bila (pandemi) berlanjut, daya beli masyarakat akan semakin terpuruk dan koreksi harga bisa lebih tinggi dibandingkan yang terjadi sebelumnya. Bahkan, dengan harga koreksi pun bisa saja (rumah) belum tentu terjual karena daya beli semakin menurun,” kata Ali, akhir pekan lalu.
Pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 berpotensi mengoreksi harga pasar sekunder perumahan kembali tinggi pada triwulan III-2021.
Data Indonesia Property Watch, sepanjang tahun 2020 harga rumah terkontraksi rata-rata 2,85 persen. Koreksi tertinggi terjadi di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Utara dengan tipe rumah segmen besar yang terkoreksi rata-rata 5,55 persen. Koreksi harga paling tinggi mencapai 27,99 persen atau paling tinggi dalam kurun sepuluh tahun terakhir.
Meski demikian, Ali menambahkan, koreksi harga tidak selalu identik dengan harga rumah jatuh. Di beberapa lokasi, koreksi mengarah kembali ke harga pasar pada 2-3 tahun sebelumnya, ketika harga yang terbentuk sudah berlebih (over price). Di sisi lain, tidak sedikit pembeli yang menunggu untuk membeli harga rumah dengan harga yang terkoreksi.
”Pasar yang over value kembali ke harga normal dan membuat pasar mencapai keseimbangan baru. Artinya, harga rumah masih mencatat kenaikan meskipun tipis,” katanya.
Lebih banyak penjual
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) DKI Jakarta Clement Francis mengungkapkan, saat ini tren pasar rumah sekunder diwarnai lebih banyak yang menjual ketimbang membeli sehingga harga terkoreksi. Dengan kondisi ini, pembeli menginginkan harga terbaik.
”Dengan kondisi pandemi, orang lebih banyak menjual rumah dibandingkan membeli. Pembeli tidak banyak sehingga pembeli lebih pintar untuk mendapatkan harga terbaik,” ujarnya dalam diskusi daring Pasar Seken Lagi Obral yang diadakan oleh Prolab Property, Kamis malam.
Menurut Clement, di lokasi perumahan elite seperti Pondok Indah, Jakarta Selatan, harga rumah yang pada 2018 dan 2019 berkisar Rp 50 juta-Rp 60 juta per meter persegi ada yang terkoreksi menjadi Rp 30 juta-Rp 35 juta per meter persegi. ”Harga jual menjadi keputusan akhir pemilik,” katanya.
Direktur Utama PT ERA Graharealty Tbk Darmadi Darmawangsa menilai, penjualan rumah dengan koreksi harga mendalam sempat terjadi di awal pandemi tahun lalu, antara lain karena kebutuhan dana kas. Apabila pandemi berlanjut, ia memprediksi pada akhir tahun atau awal tahun depan tren penjualan rumah dengan harga terkoreksi kembali terjadi.
Menurut Darmadi, harga rumah masih bisa turun di lokasi yang pembelinya adalah investor. Namun, tidak ada rumah mewah di kawasan elite seperti Pondok Indah, Menteng, dan Kelapa Gading yang sampai diobral. Pasalnya, rumah di kawasan itu umumnya untuk dihuni (end user), stok terbatas, dan bukan untuk peruntukan investasi seperti di wilayah lain.
Ia menilai, tren harga properti mulai turun sejak semester II-2015, selanjutnya tumbuh lambat, dan stagnan hingga 2020. Hal itu antara lain dipicu oleh harga sebelumnya yang terlalu tinggi sehingga akhirnya terkoreksi. ”Properti belum punya momentum untuk terbang. Harga naik terlalu tinggi sehingga butuh koreksi. Namun, properti tetap investasi yang baik,” katanya.
Penjualan oleh ERA selama 2020 naik 14,7 persen. Sementara sepanjang Januari-Juni 2021 omzet naik 125 persen secara tahunan. Dari kenaikan itu, 90 persen penjualan berasal dari pasar sekunder.