Peritel Harapkan Insentif Pemerintah untuk Jaga Keberlangsungan Usaha
Sektor ritel mulai merumahkan pekerja di tengah penerapan PPKM darurat. Aprindo berharap pemerintah juga memberikan insentif di sektor ini, seperti keringanan tarif listrik dan subsidi upah.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia berharap agar pemerintah juga memberikan insentif di sektor ritel modern di tengah masih berlangsungnya pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat. Insentif diperlukan untuk menjaga keberlangsungan usaha dan menopang pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Micholas Mandey mengatakan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada 3-20 Juli 2021 membuat peritel semakin mengurangi jumlah pekerja. Pengurangan pekerja itu mempertimbangkan semakin berkurangnya waktu operasional ritel dan menurunnya jumlah pengunjung hingga lebih dari 60 persen.
Saat PPKM mikro diterapkan, jumlah pekerja yang telah dirumahkan sekitar 20 persen dari total 2 juta pekerja di sektor ritel. Kemudian, dengan penerapan PPKM darurat yang tengah berlangsung ini, jumlah pekerja yang telah dirumahkan bertambah menjadi sekitar 30 persen.
”Kendati dirumahkan, kami tetap menggaji mereka meski tidak penuh, yaitu sekitar 30-40 persen dari total gaji. Kami berkomitmen tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun di sisi lain, kami juga ingin pemerintah mengerti kondisi keuangan kami,” ujar Roy ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (6/7/2021).
Aprindo mencatat jumlah toko ritel modern yang telah tutup sepanjang April-Desember 2020 sekitar 1.300 toko dan pada triwulan I-2021 sebanyak 87 toko. Dari total jumlah itu, 776 toko atau 56 persen tutup total dan sisanya tutup sementara.
Kami berkomitmen tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun di sisi lain, kami juga ingin pemerintah mengerti kondisi keuangan kami.
Menurut Roy, Aprindo mengharapkan insentif dari pemerintah untuk mempertahankan usaha dan pekerja. Insentif itu misalnya bisa berupa keringanan tarif listrik sebesar 50 persen untuk industri ritel mengingat waktu operasional ritel berkurang dan pengunjung turun drastis.
Untuk pekerja, pemerintah diharapkan bisa menggulirkan kembali subsidi gaji atau upah bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. Di sektor ritel, 65 persen pekerjanya bergaji di bawah itu.
”Subsidi gaji ini diperlukan lantaran pendapatan pekerja semakin tergerus di tengah PPKM darurat. Otomatis, daya beli mereka semakin turun,” ujarnya.
Subsidi gaji ini diperlukan lantaran pendapatan pekerja semakin tergerus di tengah PPKM darurat. Otomatis, daya beli mereka semakin turun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, upah atau gaji buruh, karyawan, dan pegawai, serta pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian pada Februari 2021 dibandingkan Februari 2020 turun. Rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan.
Tergerusnya pendapatan itu berpengaruh terhadap turunnya pengeluaran masyarakat terutama untuk komoditas pangan. Dalam periode pandemi pada Maret-September 2020, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan, untuk komoditas makanan turun 3,96 persen dari Rp 613.025 pada Maret 2020 menjadi Rp 588.773 pada September 2020.
Penurunan pengeluaran pangan terjadi pada penduduk dalam kelompok pengeluaran 40 persen bawah dan 40 persen menengah, sedangkan pada kelompok 20 persen atas justru meningkat. Pada kelompok 40 persen bawah, misalnya, pengeluaran untuk konsumsi makanan turun dari Rp 344.917 per kapita per bulan pada Maret 2020 menjadi Rp 314.521 per kapita per bulan.
Selain itu, lanjut Roy, pemerintah juga bisa memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khusus untuk barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di ritel. Dengan demikian, harganya bisa lebih murah dan konsumen yang daya belinya tengah tergerus bisa lebih menjangkaunya.
Ia juga berharap para peritel bisa mendapatkan kredit modal kerja dan korporasi dengan bunga yang lebih ringan, yaitu 6,5-7,5 persen. Saat ini suku bunga kredit memang sudah di kisaran 8-9 persen. Namun masih banyak peritel yang menunda ekspansi usaha lantaran suku bunga kredit tersebut dinilai masih terlalu tinggi.
Subsidi upah
Kepala Kajian Perlindungan Sosial dan Ketenagakerjaan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) Muhammad Hanri berpendapat, imbas penerapan PPKM darurat di sektor ritel terhadap ketenagakerjaan memang cukup besar. Hal ini tidak lepas dari pembatasan waktu operasional, penutupan toko ritel nonsembako, dan sepinya pengunjung.
Merujuk pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada Agustus 2020, jumlah pekerja di sektor ritel, terutama di swalayan, mal, dan bioskop, 3,3 juta orang. Dari jumlah tersebut, 2,9 juta orang merupakan pekerja berketerampilan dan berpenghasilan rendah. Mereka ini biasanya berstatus pekerja kontrak yang menerima upah harian.
”Merekalah yang paling rentan terkena imbasnya. Bisa jadi mereka dikurangi jam kerjanya, dirumahkan, bahkan di-PHK. Oleh karena itu, mereka juga perlu mendapatkan bantuan atau insentif dari pemerintah agar memiliki bantalan penghasilan. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan peritel,” kata Hanri.
Menurut Hanri, pemerintah memang telah menggulirkan program Bantuan Sosial Tunai, Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai, dan Kartu Prakerja. Program-program perlindungan sosial itu perlu dilengkapi dengan subsidi gaji atau upah bagi para pekerja di sektor-sektor penopang ekonomi berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan.
Pemerintah juga harus serius menggarap pasar tenaga kerja dalam negeri sesuai dengan amanat UU Cipta Kerja. Selain itu, segera realisasikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang juga menjadi bagian dari UU tersebut.
Lanjutkan program tersebut dengan menyasar para pekerja, termasuk pekerja ritel, yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Upaya ini setidaknya bisa memberikan bantalan ekonomi sementara bagi mereka untuk bertahan hidup dan menekan laju pertumbuhan kemiskinan.
”Sembari itu, pemerintah juga harus serius menggarap pasar tenaga kerja dalam negeri sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Selain itu, segera realisasikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang juga menjadi bagian dari UU tersebut,” katanya.