Omzet Ritel Modern dan Pasar Tradisional Makin Tergerus
Aprindo memperkirakan omzet ritel modern secara nasional hanya tumbuh 0,5-1 persen pada 2021 karena lonjakan kasus Covid-19 dan kebijakan PPKM Mikro. Sementara itu, pendapatan pedagang pasar tradisional turun 60 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan kasus Covid-19 akibat merebaknya varian baru virus korona dan pembatasan sosial semakin menggerus omzet ritel modern dan pasar tradisional. Penutupan beragam jenis toko ritel dan lapak-lapak pedagang pasar terus berlanjut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey, Rabu (23/6/2021), mengatakan, pertumbuhan ritel modern di kala pandemi Covid-19 bergantung pada lonjakan kasus dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). PPKM membuat jam operasional toko ritel modern dibatasi dan masyarakat mengurangi belanja ke toko ritel.
Pertumbuhan ritel juga dipengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah bawah dan frekuensi belanja kelas atas. Selama pandemi, daya beli masyarakat menengah bawah turun lantaran banyak yang pendapatannya dipotong akibat dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya, dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara mayoritas kelas atas menunda belanja atau memilih menabung dan berinvestasi.
”Kami memperkirakan omzet ritel modern secara nasional hanya tumbuh 0,5-1 persen tahun ini karena banyak daerah yang menerapkan PPKM, daya beli masyarakat menengah bawah masih belum pulih, dan kelas atas kembali menahan belanja,” kata Roy ketika dihubungi di Jakarta.
Kami memperkirakan omzet ritel modern secara nasional hanya tumbuh 0,5-1 persen tahun ini karena banyak daerah yang menerapkan PPKM, daya beli masyarakat menengah bawah masih belum pulih, dan kelas atas kembali menahan belanja.
Merujuk data survei AT Kearney, Roy menyebutkan, omzet penjualan ritel Indonesia pada 2019 sebesar 396 miliar dollar AS pada 2019. Pada 2020, nilainya meningkat sekitar 1,2 persen menjadi 400,752 miliar dollar AS.
Sebelum ada lonjakan kasus Covid-19 dan PPKM Mikro, Aprindo sebenarnya memproyesikan omzet ritel modern tahun ini bisa tumbuh 2,5-3 persen menjadi sekitar 20,6 triliun. Hal ini mempertimbangkan pertumbuhan indeks penjualan ritel (IPR) secara tahunan yang mulai membaik pada Januari hingga April 2021. Pada Januari 2021, IPR tumbuh minus 16,4 persen, Februari 2021 minus 18,1 persen, Maret 2021 minus 14,6 persen, dan April 2021 tumbuh 9,8 persen.
Sementara itu, jumlah toko ritel modern yang telah tutup sepanjang April-Desember 2020 sekitar 1.300 toko dan pada triwulan I-2021 sebanyak 87 toko. Dari total jumlah tersebut, 776 toko atau 56 persen tutup total dan sisanya tutup sementara.
Adapun jumlah tenaga kerja di sektor ritel modern yang di-PHK sekitar 22.000 orang dari total 2 juta tenaga kerja. Setiap kali ada pembatasan sosial ataupun PPKM, jumlah tenaga kerja yang dirumahkan sekitar 10-15 persen dari total tenaga kerja di sektor ritel.
”Kendati dirumahkan, kami tetap menggaji mereka kendati tidak penuh, yaitu sekitar 30-40 persen dari total gaji. Setelah kondisi membaik nanti, kami akan meminta mereka kembali bekerja,” ujar Roy.
Dalam pelaksanaan PPKM Mikro, imbuh Roy, Aprindo pada prinsipnya mendukung kebijakan pemerintah untuk menekan penularan Covid-19. Di sisi lain, Aprindo berharap agar pemerintah daerah menyelaraskan kebijakan dengan pemerintah pusat, terutama menyangkut keseragaman jam tutup operasional. Pemerintah pusat menetapkan jam operasional ritel modern hingga pukul 20.00, tetapi sejumlah daerah meminta tutup lebih awal, yaitu pada pukul 18.00 dan 19.00.
Tak hanya peritel modern, pedagang pasar tradisional juga mengalami penurunan omzet. Sepinya pembeli juga membuat banyak pedagang pasar tradisional menutup lapak atau kiosnya.
Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menuturkan, pada tahun lalu omzet pedagang rata-rata turun sebesar 50 persen. Namun pada tahun ini, omzetnya diperkirakan turun 60 persen. Hal ini disebabkan oleh semakin tergerusnya daya beli masyarakat akibat pandemi yang berkepanjangan.
Banyak juga pedagang pasar tradisional yang menutup lapaknya lantaran pengeluaran untuk pergi dan pulang dari rumah ke pasar lebih besar ketimbang pendapatan. ”Saat ini kami tengah mendata para pedagang yang menutup lapak atau kiosnya di pasar, baik secara permanen maupun sementara,” katanya.
Mansuri juga berharap agar pemerintah daerah dan pengelola pasar menambah berbagai fasilitas pendukung di pasar, seperti tempat cuci tangan, alat deteksi suhu tubuh, dan penyanitasi tangan. Yang kerap terjadi selama ini adalah upaya tersebut baru dilakukan setelah kasus positif Covid-19 meningkat.
Banyak juga pedagang pasar tradisional yang menutup lapaknya lantaran pengeluaran untuk pergi dan pulang dari rumah ke pasar lebih besar ketimbang pendapatan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan, Kementerian Perdagangan juga telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, para pengelola pasar tradisional, dan peritel wilayah-wilayah zona merah untuk mematuhi PPKM Mikro dan penerapan protokol kesehatan. Kewenangan pengaturan dan pelaksanaannya ada di tangan Satgas Covid-19 dan instansi terkait di daerah.
Untuk menjaga kenyamanan dan keamanan dalam bekerja, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kesehatan, serta satgas Covid-19 dan pemerintah daerah setempat, juga telah memvaksinasi para pedagang pasar dan karyawan ritel modern. Khusus untuk pekerja di sektor ritel, koordinasi pelaksanaan vaksinasi telah dilakukan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara.
”Pekan lalu, kami mendapatkan jatah 50.000 dosis vaksin untuk wilayah Jakarta. Sebanyak 27.000 vaksin diberikan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk pedagang pasar, dan 23.000 dosis vaksin untuk pekerja ritel modern. Program ini akan terus berlanjut secara bertahap sesuai dengan ketersediaan stok vaksin,” ujarnya.