Durian Kalimantan, Kearifan Lokal Berabad-abad
Hutan belantara menjadi kekayaan alam tak ternilai bagi Kalimantan Tengah. Durian hutan juga jengkol jadi andalan. Namun, alih fungsi lahan membuat hutan dan daya dukung lingkungan terancam.
Sebagian masyarakat Kalimantan menjaga pepohonan duriannya dengan tradisi ratusan tahun. Bagi warga adat tertentu, mempertahankan hutan bahkan sama dengan menjaga ibu.
Durian menjadi mata pencarian utama masyarakat Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Desa itu berjarak 616 kilometer dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng. Perjalanan menuju Kecamatan Delang cukup membuat napas berdeham.
Hampir sepanjang perjalanan, pohon sawit berdiri di sisi jalan. Udara kian sejuk begitu memasuki Delang dengan tutupan hutan yang masih sangat baik. Dari Delang ke Desa Kubung memerlukan waktu lebih kurang satu jam melewati jalur Trans-Kalimantan, lalu masuk perdesaan, jalan mulai berlumpur.
Walakin, beberapa ruas jalan mulai disemen dan bisa dilalui dengan baik. Rumah-rumah berdiri di bukit yang sisi kanan dan kirinya merupakan hutan belantara dengan durian (Durio zibethinus), jengkol (Archidendron pauciflorum), dan pohon buah hutan lain.
Feri Irawan (33), warga Desa Kubung, pada awal Februari 2021, sibuk mengangkut keranjang besar dari rotan yang disebut lanjung berisi 15 durian. Setidaknya dalam sehari ia bisa menghasilkan 400-500 durian. ”Bukan saya yang tanam. Pohonnya dari leluhur. Saya belum tinggal di sini sudah ada. Kalau kata nenek, dibawa burung enggang atau orangutan,” katanya.
Baca juga : Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir
Di Desa Kubung, setiap orang memiliki wilayah kelola hutan atau wilayah adat. Meski secara administrasi belum diakui sebagai hutan adat, masyarakat sekitar melindunginya lewat kearifan lokal secara adat. Setiap orang setidaknya memiliki 5-6 hektar lahan. Setiap lahan, seperti Feri, setidaknya memiliki 300-400 pohon durian, juga jengkol. Mereka juga memiliki paken, sejenis durian yang rasanya jauh lebih manis.
RK Maladi, warga Desa Kubung, mengatakan, buah-buahan hutan itu dipanen pada Februari, Juli, dan Desember. Durasi panen bisa berlangsung selama satu hingga dua bulan.
”Biasanya, pembeli datang dari Lamandau atau Pangkalan Bun. Omzetnya bisa mencapai Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per hari setiap keluarga,” katanya. Masyarakat Dayak Tomun yang tinggal di Desa Kubung meliputi 214 keluarga.
Dari delapan kecamatan di Lamandau, hanya Delang yang belum dikonversi menjadi kebun sawit. Di kecamatan ini, Desa Kubung dan Sekombulan telah mendeklarasikan wilayah kelola hutan adat dengan luas mencapai 23.000 hektar, lengkap dengan tata batas hutan. Hutan itu merupakan sumber penghasilan masyarakat adat.
Bebas mengambil
Hal unik berlaku. Warga bebas mengambil hasil hutan sepanjang ikut menanam dan menjaga kelestariannya. Persaudaraan begitu kental sehingga warga boleh memanen di area yang dikelola warga lain. Hal itu tak lepas dari begitu melimpahnya hasil hutan. Nyaris tak ada warga tergolong miskin. Selama rajin menanam dan memetik hasil hutan, mereka bisa memiliki pendapatan cukup.
Baca juga : Dedi Mulyadi: Hutan Adat Rumit, Konsesi Mudah
Semangat menjaga hutan menjalar ke desa-desa tetangga. Sedikitnya enam desa memetakan wilayah kelola adat dengan total luas 32.500 hektar. Pemetaan warga didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Save Our Borneo, dan Justice, Peace, and Integrity of Creation Kalteng. Warga tak ingin rimba mereka hilang.
”Tugas kami menjaga, bukan merusaknya. Bukan untuk saya atau istri, tapi untuk anak, cucu, dan generasi masa depan,” ujar Kepala Desa Kubung Edy Zacheus.
Di atas kertas, hutan di Kalteng memang perkasa. BPS Kalteng mencatat, luas hutan lindung Kalteng mencapai 1,3 juta hektar. Sementara luas kawasan suaka dan pelestarian alam di area eks pengembangan lahan gambut 1,6 juta hektar.
Adapun kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi terbatas (3,3 juta hektar), hutan produksi (3,8 juta hektar), hutan produksi konversi (2,5 juta hektar), dan areal penggunaan lain (2,5 juta hektar). Totalnya 12,3 juta hektar. Total kawasan lindung dan budidaya mencapai 15,3 juta hektar. Luasan hutan di Kalteng setara 1,2 kali luas Jawa yang luasnya sekitar 12 juta hektar.
Meski demikian, ancaman di depan mata. Luasnya hutan di Kalteng juga menjadi incaran investor tambang, sawit, atau kayu. Dinas Kehutanan Kalteng mencatat, sepanjang 2017 hingga kini ada 91 izin konsesi hutan seluas 5,08 juta hektar.
Selain itu, data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalteng menunjukkan ada 303 perusahaan tambang dengan luas konsesi tambang 1,8 juta hektar. Adapun Dinas Perkebunan Kalteng mencatat terdapat 333 perusahaan perkebunan sawit dengan total luas 3,9 juta hektar. Yang beroperasi seluas 1,13 juta hektar.
Baca juga : Satu Lagi Hutan Adat Diusulkan
Jika ditotal, luasnya mencapai 11,2 juta hektar, baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun belum. Artinya, hanya 4,1 juta hektar atau 1,7 persen sisa lahan Kalteng merupakan kawasan permukiman warga atau wilayah kelola lain.
Kerusakan alam bisa dibayangkan. Hutan tak hanya hilang, keanekaragaman pohon juga diganti monokultur. Konflik pun tak terhindarkan. Walhi mencatat, pada tahun 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tak optimal.
Warga, termasuk di Desa Kubung, menolak perusahaan yang mendapat konsesi mengalihfungsikan hutan karena merupakan sumber kehidupan. Bahkan, bagi Edy dan masyarakat Dayak Tomun, hutan layaknya ibu yang harus dijaga. ”Hutan indai kito, yang artinya hutan itu ibu kami. Hutan memberikan kehidupan, salah satunya dari durian dan buah lain,” katanya.
Seratus tahun
Di Kampung Long Iram Bayan, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Nanang Adriani (58) meneruskan penggarapan lahan yang ditumbuhi sekitar 80 pohon durian milik kakeknya. Puluhan tahun lalu, saat baru dibeli keluarganya, tanaman itu sudah tinggi di lahan sekitar 3 hektar tersebut.
Dayak Benuaq sebelumnya mengelola lahan itu dengan ladang berpindah. Suku itu memiliki tradisi menandai lahan yang pernah digarap dengan tanaman buah. Salah satu yang paling banyak ditanam adalah durian. Mereka kembali ketika tanah sudah meremajakan diri secara alami. Kini, Long Iram dihuni berbagai suku. Nanang, keturunan Banjar, hidup dengan Dayak, Kutai, dan suku lain.
”Usia pohon durian sudah puluhan tahun. Mungkin ada yang sekitar 100 tahun. Diameter ada yang mencapai 1,5 meter. Masa panen menunggu durian jatuh,” kata Nanang yang juga Sekretaris Dinas Pertanian Kutai Barat itu.
Durian ini juga dinanti, antara lain, di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang. Di luar Kutai Barat, sebutannya melak, nama kecamatan di Sendawar, ibu kota Kutai Barat. Padahal, daerah penghasil durian lokal di sana adalah Long Iram dan Nyuatan.
Durian di dua kecamatan itu amat beragam. Masyarakat setempat menjuluki sesuai fisik dan rasa, seperti durian belimbing, lingau, tanjung, tajau, bola, hingga mentega. Karakter umum durian Kutai Barat berduri panjang.
Nanang menjelaskan, salah satu yang banyak diminati adalah durian tajau dengan berat 2,5-4 kilogram dan sedikit lonjong. Buahnya kuning muda dan tak berair. Tebal daging durian Kutai Barat 1-1,5 cm.
BPS Kutai Barat mencatat, produksi durian di Kutai Barat 4.679 kuintal pada 2017. Seiring banyaknya masyarakat yang memulai budidaya, produksi menanjak, yakni 9.796 kuintal pada tahun 2020.
”Musim durian antara Januari dan Februari. Sepohon bisa menghasilkan 200-400 buah,” ujar Kepala Dinas Pertanian Kutai Barat Petrus. Umumnya, masyarakat Long Iram dan Nyuatan berkebun secara tradisional tanpa perawatan khusus karena sebagian besar pohon diwariskan turun-temurun. Sejumlah pohon durian bahkan tumbuh di tepi Sungai Mahakam.
Hal itu turut melestarikan durian lokal dan tradisi berbagi hasil ladang. Setiap panen, pemilik pohon kerap membagikan durian kepada kerabat, tetangga, dan rekan kerja. ”Ada yang menginap di ladang untuk menunggu durian jatuh, kemudian dinikmati bersama. Sebagian dijual seharga Rp 20.000-Rp 70.000 per buah, sesuai ukuran dan jenis,” katanya.
Kepala Suku Dayak Long Gliit, Blawing Blareq, menjelaskan, masyarakat Dayak pada masa silam menanam durian, salah satunya sebagai bahan untuk peti saat pemilik meninggal. ”Saat ini, hanya beberapa suku yang menjalankannya,” ujarnya.