RK Maladi dan kawannya memanen jengkol di hutan Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (16/1/2019). Dalam waktu dua jam saja mereka bisa menghasilkan 45 kilogram seharga Rp 675.000.
Bagi masyarakat adat Dayak Tomun di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, hutan merupakan sumber kehidupan. Dari mengelola hutan adat secara lestari, mereka hidup tidak kekurangan. Mereka juga menikmati ”wangi” jengkol dari hasil hutan adat itu.
Jonathan Pondar (13) dan Toni (35), kerabatnya, Rabu (16/1/2019) siang, asyik memanen jengkol di hutan adat yang berada sekitar 5 kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Kubung, Kecamatan Delang. Toni bertugas memanjat pohon jengkol (Archidendron pauciflorum) dan memotong ranting yang dipenuhi jengkol, sementara Jonathan yang mengumpulkan jengkol.
”Kalau panen joring (sebutan warga setempat untuk jengkol) memang harus dipotong (rantingnya). Kalau ambil satu-satu, lama. Pohonnya ada ribuan, gak selesai sampai tahun depan,” kata Jonathan. Saat musim panen, siswa SMP itu sepulang sekolah langsung membantu orangtuanya memanen jengkol.
Tak jauh dari pohon itu, RK Maladi, ayah Jonathan, juga tengah memanen jengkol. Dari sekitar dua jam memanen, tak kurang dari 45 kilogram jengkol terkumpul di karung. Jengkol lalu dibawa ke rumah untuk kemudian dikupas kulitnya yang keras dengan dipukul menggunakan kayu. Butuh 4-5 jam untuk mengupas jengkol sebanyak itu.
KOMPAS/Dionisius Reynaldo Triwibowo
Jengkol hutan menjadi salah satu sumer penghasilan warga di Desa Kubung dan Desa Sekombulan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Dalam sekali waktu panen mereka bisa menghasilkan 15 ton buah jengkol per keluarga.
Jengkol dijual Rp 15.000 per kilogram. Dalam sepekan terakhir, keluarga Jonathan telah memanen sekitar 300 kilogram atau senilai Rp 4,5 juta. ”Banyaknya hasil panen tergantung seberapa rajin kami memanennya. Selain itu, kami juga pilih-pilih karena pada musim buah itu, tak hanya jengkol yang bisa dipanen, tetapi juga durian, langsat, dan lain-lain,” ucap Maladi.
Dalam setahun, warga memanen jengkol sampai tiga kali, biasanya pada Desember- Februari. Sekali masa panen, Maladi bisa memanen 15 ton jengkol. Jengkol itu dipanen dari sekitar 1.200 pohon di lahan yang dikelolanya.
”Tak hanya panen, kami juga menanam bibitnya meski pohon jengkol yang ada di hutan sudah banyak,” kata Toni yang ikut mengupas jengkol.
Keesokan paginya, Soni (29), pedagang jengkol, datang dengan mobil pikap untuk membeli jengkol dari warga. Jengkol selanjutnya dibawa ke Pelabuhan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, untuk dikirim ke Jakarta. Jarak dari Desa Kubung ke Kumai mencapai 232 kilometer, ditempuh dalam empat jam.
Rimba terakhir
Masyarakat Dayak Tomun yang tinggal di Desa Kubung meliputi 214 keluarga. Mereka menjunjung tinggi adat istiadat dan menjaga keharmonisan alam, termasuk menjaga kelestarian hutan adat.
Dari delapan kecamatan di Lamandau, hanya Kecamatan Delang yang belum dikonversi menjadi kebun sawit. Di kecamatan ini, Desa Kubung dan Desa Sekombulan telah mendeklarasikan wilayah kelola hutan adat dengan luas mencapai 23.000 hektar, lengkap dengan tata batas hutan. Hutan itu merupakan sumber penghasilan masyarakat adat di dua desa itu.
Hal unik berlaku di sana, yakni warga bebas mengambil hasil hutan, seperti jengkol, durian, dan langsat, sepanjang ikut menanam dan menjaga kelestariannya. Persaudaraan begitu kental sehingga warga boleh memanen di area yang dikelola warga lain. Hal itu tak lepas dari begitu melimpahnya hasil hutan.
Nyaris tak ada warga yang tergolong miskin. Selama rajin menanam dan memetik hasil hutan, mereka bisa memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Semangat menjaga hutan menjalar ke desa-desa tetangga. Sedikitnya ada enam desa yang memetakan wilayah kelola adat dengan total luas 32.500 hektar.
Pemetaan dilakukan warga didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Save Our Borneo, dan Justice, Peace, and Integrity of Creation Kalteng. Warga tak ingin rimba mereka hilang.
”Tugas kami menjaganya, bukan malah merusaknya. Ini bukan untuk saya atau istri saya, tetapi untuk anak, cucu, dan generasi masa depan desa ini,” ujar Kepala Desa Kubung Edy Zacheus.
Berdasarkan data Walhi Kalteng, tutupan hutan di Kalteng berkurang tiap tahun. Pada 1990 masih ada 11,05 juta hektar, tetapi tahun 2014 tinggal 7,8 juta hektar karena dibabat untuk beragam kepentingan, termasuk pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan hutan produksi.
Sampai 2018 ada 327 perkebunan besar di Kalteng dengan luas konsesi 3,9 juta hektar, baik yang sudah beroperasi maupun masih eksplorasi. Ada pula 1.007 izin usaha pertambangan dan lahan konsesi meliputi 3,6 juta hektar lahan.
Konflik pengelolaan lahan pun terjadi. Sejumlah warga menolak perusahaan yang mendapat konsesi untuk mengalihfungsikan hutan. Penolakan terjadi karena hutan sejatinya menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Bahkan, bagi Edy dan masyarakat Dayak Tomun, hutan layaknya ibu yang harus dijaga. ”Prinsip kami, hutan indai kito, yang artinya hutan itu ibu kami. Hutan memberikan kehidupan,” katanya.