Waspadai Dampak Tekanan Kenaikan Harga Minyak Dunia bagi Indonesia
Kebijakan subsidi BBM di Indonesia menghadapi dilema antara kecenderungan harga minyak dunia yang tengah meningkat dan daya beli masyarakat yang belum pulih akibat pandemi Covid-19
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren peningkatan harga minyak dunia berpotensi memukul Indonesia sebagai negara importir yang sarat dengan kebijakan subsidi di tingkat konsumen. Pemerintah dinilai mesti mengubah skema kebijakan subsidi demi penyesuaian dengan pergerakan harga di tingkat internasional.
Berdasarkan data yang dihimpun Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) dari Bloomberg, harga minyak mentah dunia jenis Brent pada Kamis (24/6/2021) tercatat sebesar 75,38 dollar AS per barel dan melampaui harga tertinggi terakhir pada 24 April 2019 yang senilai 74,6 dollar AS per barel.
Posisi tersebut melesat 45,5 persen dibandingkan pada akhir 2020. Rata-rata harga pada Juni 2021 hingga Kamis lalu mencapai 73,2 dollar AS per barel dan lebih tinggi dibandingkan rata-rata bulanan pada April dan Mei 2021 yang masing-masing sebesar 65,3 dollar AS per barel dan 68,3 dollar AS per barel.
Sebagai negara importir, Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, menilai, kenaikan harga minyak dunia dapat membebani Indonesia. “Biaya pengadaan minyak untuk kilang-kilang dalam negeri akan meningkat. Apabila pemerintah tidak ingin harga BBM (bahan bakar minyak) naik, perlu ada perubahan skema suntikan subsidi mengingat daya beli masyarakat belum pulih,” katanya saat dihubungi, Senin (28/6/2021).
Harga minyak mentah dunia jenis Brent pada Kamis (24/6/2021) tercatat sebesar 75,38 dollar AS per barel dan melampaui harga tertinggi terakhir pada 24 April 2019 yang senilai 74,6 dollar AS per barel.
Badan Pusat Statistik mendata, nilai impor minyak dan gas bumi sepanjang Januari-Mei 2021 mencapai 9,22 miliar dollar AS atau naik 34,55 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Secara spesifik, nilai impor minyak mentah sebesar 2,7 miliar dollar AS pada periode tersebut dan meningkat 39,3 persen dibandingkan Januari-Mei 2020.
Kardaya berpendapat, pemerintah mesti mengalihkan mekanisme subsidi dari BBM jenis premium ke pertamax. Pengalihan tersebut harus tercantum dalam anggaran, pendapatan, dan belanja negara (APBN) sebagai subsidi. Hingga saat ini, premium tergolong sebagai BBM penugasan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, penggolongan premium sebagai BBM penugasan menunjukkan kebijakan yang abu-abu karena PT Pertamina (Persero) harus menanggung kompensasi selisih harga secara sementara dan diganti oleh pemerintah dalam jangka waktu lebih dari setahun. Dari sisi audit dan tata kelola keuangan korporasi, skema tersebut tidak disarankan. Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya menegaskan skema penugasan tersebut menjadi anggaran subsidi dengan kuota yang ditetapkan dalam APBN.
Rezim kebijakan BBM di Indonesia, lanjut Komaidi, belum mengikuti harga keekonomian dan sarat dengan intervensi pemerintah. Pemerintah seolah-olah tidak menaikkan harga, tetapi membebankan pada Pertamina. “Dari segi edukasi masyarakat, langkah ini tergolong kurang baik karena melanggengkan perspektif konsumen terhadap harga BBM itu murah. Dengan harga minyak dunia sekitar 75 dollar AS per barel, harga premium mestinya Rp 8.500 per liter,” katanya.
Sisi positifnya, Komaidi mengatakan, kenaikan harga di tingkat dunia dapat mendongkrak skala keekonomian produksi siap jual (lifting) minyak di bagian hulu. Dampaknya, volume lifting minyak nasional berpotensi meningkat.
Pemerintah mesti mengalihkan mekanisme subsidi dari BBM jenis premium ke pertamax. Pengalihan tersebut harus tercantum dalam anggaran, pendapatan, dan belanja negara (APBN) sebagai subsidi.
Salah satu pendorong tren kenaikan harga minyak tersebut ialah peningkatan konsumsi Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di kawasan Timur Tengah seiring dengan pulihnya aktivitas perekonomian. Mengutip data Administrasi Informasi Energi AS (EIA), laporan Office of Chief Economist Bank Mandiri menunjukkan, konsumsi minyak di wilayah Amerika Utara dan Timur Tengah pada Mei 2021 masing-masing meningkat 0,5 juta barel per hari dan 0,55 juta barel per hari.
Meskipun demikian, konsumsi minyak dunia menurun dari 96,23 juta barel per hari pada April 2021 menjadi 96,22 juta barel per hari pada bulan berikutnya lantaran lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah negara.
Penurunan inventori pada Mei 2021 sebesar 1,2 juta barel per hari dan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 2,28 juta barel per hari. Head of Industry and Regional Research Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Dendi Ramdani mengatakan, penurunan inventori disebabkan oleh tingkat konsumsi yang lebih besar dibandingkan produksi. Namun, saat ini penurunan tersebut mengecil seiring dengan kenaikan produksi.
Data EIA juga menyebutkan, produksi minyak mentah dunia meningkat dari 93,95 juta barel per hari pada April 2021 menjadi 95,02 juta barel per hari pada Mei 2021. Penambahan produksi dari negara-negara anggota OPEC sebesar 0,44 juta barel per hari serta negara yang berada di wilayah Amerika Tengah dan Selatan yang sebanyak 0,61 juta barel per hari menopang pertumbuhan tersebut.
Walaupun demikian, Dendi memperkirakan rata-rata harga minyak mentah (Brent) pada 2021 senilai 67,7 dollar AS per barel. “Kami melihat harga minyak masih rentan terkoreksi karena kasus Covid-19 yang kembali meningkat di sejumlah negara, terutama di Asia, seperti, Indonesia, Iran, Filipina, Pakistan, Malaysia, dan Thailand,” katanya.