Lapangan Kerja Minim, Benahi Strategi Tarik Investasi
Sebanyak 45 persen pekerjaan yang tercipta pada 2009-2019 berupah rendah serta minim jaminan sosial. Investasi tidak hanya diukur dari banyaknya lapangan kerja yang dibuka, tetapi kualitas kerja layak yang diciptakan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan lapangan kerja yang layak dan berkualitas untuk mendorong tumbuhnya kelas menengah masih minim. Meski capaian investasi sejauh ini memenuhi target dari sisi nilai, tetapi efek pengganda untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja layak belum tercapai.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, pada triwulan I-2021, realisasi investasi mencapai Rp 219,7 triliun dan menyerap 311.793 tenaga kerja. Capaian itu meningkat dibandingkan realisasi investasi dan serapan tenaga kerja pada periode yang sama di 2019 dan 2020.
Wakil Ketua Umum Kaman Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Anton J Supit, Minggu (20/6/2021) menilai, dari segi kuantitas, realisasi investasi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu memang meningkat dan sesuai target.
Namun, secara kualitas, efek domino penciptaan lapangan kerja belum optimal. Ia membandingkan, pada 2014, Rp 1 triliun investasi sebanding dengan penyerapan 3.090 tenaga kerja. Kondisi itu konsisten menurun signifikan hingga pada 2017 yang per Rp 1 triliun investasi menyerap tenaga kerja sebanyak 1.698 orang, pada tahun 2018 menyerap 1.331 orang, dan di tahun 2019 menyerap 1.277 orang.
Idealnya, Rp 219,7 triliun yang didapat pada triwulan I-2021 ini bisa menciptakan sekitar 500.000 hingga 600.000 lapangan kerja.
Idealnya, Rp 219,7 triliun yang didapat pada triwulan I-2021 ini bisa menciptakan sekitar 500.000 hingga 600.000 lapangan kerja. Kenyataannya, tiap Rp 1 triliun investasi yang masuk hanya menyerap lebih kurang 1.419 orang tenaga kerja.
”Artinya, ini belum optimal. Investasi yang masuk masih lebih banyak bersifat padat modal. Untuk menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan kita, seharusnya investasi padat karya didorong sampai naik tiga kali lipat,” kata Anton.
Data Kementerian Investasi, investasi yang masuk pada triwulan I-2021 memang lebih banyak di sektor tersier (jasa/padat modal) senilai Rp 104,8 triliun, dibandingkan sektor sekunder (manufaktur/padat karya) senilai Rp 88,3 triliun.
Konsistensi strategi
Menurut Anton, meski UU Cipta Kerja memudahkan dari sisi tarif pajak, alur perizinan, dan aturan ketenagakerjaan, tetapi itu tidak cukup untuk menarik investor di sektor pengolahan. ”Bicara menarik investasi, kita juga harus bicara konsistensi kebijakan dan strategi,” katanya.
Investasi bukan hanya soal kemudahan menanamkan modal dan mendirikan usaha di fase awal, tetapi juga kemudahan menjalankan usaha setelah perusahaan berdiri. Untuk itu, diperlukan keselarasan strategi investasi, industri, dan perdagangan.
Contohnya, kendala bahan baku industri. Menurut dia, pemerintah harus memperjelas bahan baku yang bisa diproduksi sendiri serta yang perlu impor. ”Supaya kebijakan impornya pun sesuai, tidak dipukul rata. Karena harus ada jaminan bahwa produksi lancar dan pabrik bisa bekerja efisien,” ujar Anton.
Investasi bukan hanya soal kemudahan menanamkan modal dan mendirikan usaha di fase awal, tetapi juga kemudahan menjalankan usaha setelah perusahaan berdiri.
Adapun pemerintah berambisi mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan menambah penciptaan lapangan kerja sebagai motor pemulihan ekonomi pascapandemi.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pada 2022 pemerintah ingin meningkatkan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan hingga 20,9 juta orang. Adapun tahun 2020, sektor pengolahan menyerap 18,9 juta orang.
Hal itu sejalan dengan target pemerintah mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas sekitar 5,3-6,1 persen pada tahun 2022. Tahun 2020, PDB industri pengolahan tumbuh minus 2,93 persen.
Kerja layak
Di sisi lain, investasi tidak hanya terkait jumlah lapangan kerja yang diciptakan, tapi juga kualitas kerja yang layak bagi pekerja. Laporan Bank Dunia ”Prospek Ekonomi Indonesia Mempercepat Pemulihan” pada Juni 2021 menyoroti masih minimnya lapangan kerja yang layak bagi masyarakat kelas menengah di Indonesia. Sebanyak 45 persen dari lapangan kerja yang tercipta pada 2009-2019 adalah pekerjaan berupah rendah serta minim perlindungan atau jaminan sosial.
Sebanyak 45 persen dari lapangan kerja yang tercipta pada 2009-2019 adalah pekerjaan berupah rendah serta minim perlindungan atau jaminan sosial.
Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, kerja-kerja layak bukan hanya pekerjaan formal yang umumnya harus diciptakan melalui investasi, tetapi juga pekerjaan informal yang saat ini semakin menjamur.
Konteks pekerjaan yang layak dan berkualitas tidak bisa terpatok pada sektor tertentu. ”Bicara kerja layak, berarti bicara regulasi yang berpihak pada pekerja, untuk hidup layak, dari sektor mana pun, manufaktur atau tidak, formal maupun informal,” ujar Timboel.
Untuk itu, perlu ada regulasi yang menjamin hak pekerja informal untuk kerja layak sebagaimana pekerja formal. Apalagi, melihat tren investasi yang akan semakin berorientasi padat modal/teknologi, serta semakin banyaknya pekerjaan informal dan pekerjaan gig yang sekarang masih jauh dari kata layak.
”Jangan sampai kita terus fokus pada pekerja formal, tetapi tidak kunjung mengurusi hak kerja layak untuk pekerja informal. Padahal, angkatan kerja kita lebih banyak di sektor informal,” ujar Timboel.