Pekerjaan Rumah Menanti Pasca-Cipta Kerja
Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan mendongkrak kemudahan berusaha. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan pemerintah untuk mewujudkannya.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung serta Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anton J Supit selaku pembicara di Kompas Collaboration Forum berfoto bersama peserta, Jumat (30/4/2021). Tema acara kali ini adalah ”Kemudahan Izin Membuka Usaha di Indonesia”.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berusaha membenahi iklim kemudahan berusaha lewat implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan bersama. Investasi yang masuk harus dipastikan berdampak pada penciptaan lapangan kerja serta kesejahteraan masyarakat.
Hasil survei Persepsi Kemudahan Berusaha 2021 oleh Litbang Kompas menunjukkan, secara umum, kalangan pengusaha menilai kehadiran UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi asing dan domestik. Namun, UU Cipta Kerja belum menjawab sejumlah hal yang dibutuhkan untuk mempercepat investasi.
”UU Cipta Kerja telah mengisi sebagian elemen yang dibutuhkan pengusaha. Ini bisa saja mendorong perbaikan kemudahan berusaha, tetapi ada bagian yang belum diperhatikan, yang perlu dijawab dengan cara atau peraturan lain,” kata peneliti Litbang Kompas, Bambang Setiawan, dalam acara acara Kompas Collaboration Forum (KCF) yang digelar secara daring, Jumat (30/4/2021). Acara dihadiri Sekretaris Kabinet Pramono Anung serta para chief executive officer (CEO) dan direktur perusahaan anggota KCF.
Survei menunjukkan, dalam beberapa indikator kemudahan berusaha, pengusaha merasa optimistis. Sebanyak 70,9 persen pengusaha tidak meragukan aspek memulai usaha. Mereka juga optimistis terkait aspek mendapatkan listrik (75,7 persen), pendaftaran properti (68 persen), izin konstruksi (67 persen), pembayaran pajak (67 persen), dan mendapatkan kredit (62,1 persen).
Akan tetapi, dalam beberapa aspek lain, pengusaha masih pesimistis. Misalnya, 62,1 persen pengusaha masih pesimistis dalam memandang aspek penegakan kontrak, 60,8 persen pengusaha meragukan aspek penyelesaian kepailitan, dan 52,4 persen pengusaha meragukan perlindungan terhadap investor minoritas.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung selaku pembicara kunci dalam acara Afternoon Tea Kompas Collaboration Forum #5, Jumat (30/4/2021).
Baca juga: Kementerian Investasi Diharapkan Tingkatkan Investasi
Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2019 terhadap pelaku bisnis memetakan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp 858,5 triliun tahun 2021. Namun, Presiden Joko Widodo memasang target lebih tinggi, yakni Rp 900 triliun. Sampai triwulan I-2021, realisasi investasi mencapai Rp 219,7 triliun atau 25,5 persen dari target nasional. Capaian itu meningkat 4,3 persen dibandingkan dengan triwulan I-2020.
Menurut Pramono Anung, melihat kondisi penanganan Covid-19, perkembangan vaksinasi, dan indikator perekonomian yang membaik, target investasi diyakini tercapai. Pemerintah juga telah memberi kepastian hukum dan kemudahan bagi pelaku usaha lewat UU Cipta Kerja. Pekan lalu, pemerintah membentuk nomenklatur kementerian baru, Kementerian Investasi, dan melantik Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebagai pejabatnya.
”Tugas utama dari kementerian ini adalah memberikan kepastian dan kemudahan dalam berusaha. Kalau itu tidak kita lakukan, mau bagaimanapun juga, Indonesia tidak akan bisa menarik negara lain untuk berinvestasi,” ujarnya.
Pramono mengatakan, Presiden telah mengarahkan agar indeks kemudahan berusaha pada 2022 bisa mencapai peringkat ke-40, setelah selama ini bercokol di peringkat ke-73. Asal kondisi perekonomian dan kesehatan terjaga serta ada kepastian hukum dari UU Cipta Kerja, pemerintah yakin target investasi tercapai.
”Memang, ke depan harus bekerja keras. Sistem OSS (online single submission) yang sebelumnya belum baik harus dijalankan. Pemerintah pusat dan daerah juga harus sinkron karena sering kali urusan di pusat sudah selesai, tetapi di daerah masih jadi persoalan,” ujarnya.

Baca juga: Tahun Ini Pembuktian Janji Ekonomi
Reformasi birokrasi
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit berpendapat, UU Cipta Kerja saja tidak akan bisa berdampak menarik investasi jika tidak diimbangi dengan kejelasan peta jalan transformasi ekonomi, reformasi birokrasi, serta konsistensi antara kebijakan dan penerapannya di lapangan.
Ia menyoroti, tugas besar pasca-UU Cipta Kerja adalah melakukan reformasi birokrasi secara masif. Konsistensi kebijakan dan implementasi di lapangan jadi tantangan besar. ”Dengan membereskan masalah perizinan dan infrastruktur, belum tentu ekonomi kita membaik. Persaingan usaha memang urusan bisnis ke bisnis, tetapi itu banyak ditentukan oleh birokrasi karena mereka yang mengurus perizinan,” katanya.
Menurut Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang, meski pemerintah sudah mengeluarkan UU Cipta Kerja untuk memudahkan iklim berusaha, pengusaha masih menunggu seberapa cepat implementasi regulasi sapu jagat itu dapat diwujudkan.
Berdasarkan pengalamannya, pengurusan izin untuk pemanfaatan tata ruang sejauh ini masih membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun. Urusan izin juga kerap dilempar dari pemerintah pusat ke daerah dan sebaliknya. Ia berharap ada terobosan dalam UU Cipta Kerja untuk mempercepat urusan perizinan tata ruang dan memudahkan investasi.
”Mudah-mudahan, dengan adanya menteri investasi yang baru, hal-hal seperti ini bisa selesai dalam waktu satu bulan saja. Bayangkan, tiga tahun harus menunggu izin tata ruang,” katanya.
Baca juga: Investasi Bukan Sekadar Nilai

Para pekerja memilah dan membersihkan pisang mas dari Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, Lampung, yang akan diekspor untuk pertama kali ke Shanghai, China, Selasa (24/4). Pisang mas tersebut dibudidayakan oleh sekitar 300 petani di enam kecamatan di Tanggamus dengan binaan dari PT Great Giant Pineapple (GGP).
Direktur PT Great Giant Pineapple Welly Soegiono menambahkan, pengusaha juga membutuhkan dukungan fasilitasi dan pendampingan dari pemerintah pada tahap ekspor produk. Ia mengatakan, sejauh ini kebijakan pemerintah dalam hal perizinan dan insentif fiskal sudah baik.
”Tetapi, fasilitasi-fasilitasi itu berhenti sampai di operasi investasi. Sementara setelah jadi produk, untuk dipasarkan ke dunia internasional, kami dibiarkan sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim mengatakan, ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kondisi demokrasi dan politik. Untuk membenahi iklim berusaha dan memulihkan perekonomian, kondisi demokrasi perlu dibenahi terlebih dulu.

Presdir Krakatau Steel Silmy Karim.
”Demokrasi kita ini harus dibereskan dulu, perlu dikaji apakah proses yang kita ambil ini sudah benar. Kalau kita diamkan terus, yang kasihan itu rakyat, dan tujuan kita di UUD 1945 dalam konteks menyejahterakan rakyat menjadi semakin jauh,” kata Silmy.
Menurut CEO PT Triputra Agro Persada Arif P Rachmat, vaksinasi Covid-19 dan UU Cipta Kerja membuat Indonesia semakin resilient. ”Kami sangat bersyukur dan, menurut saya, program pemerintah untuk mendukung investasi, FDI, memperkuat UMKM, dan juga ekonomi berbasis ekspor sudah sangat tepat,” ujarnya.

Lapangan kerja
Di sisi lain, investasi bukan sekadar angka triliunan rupiah yang ditanam investor. Investasi terkait dengan penciptaan lapangan kerja dan upaya memajukan kesejahteraan masyarakat.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020, dari setiap 100 orang angkatan kerja di Indonesia, ada 7 orang yang menganggur. Total, ada 9,77 juta orang yang menganggur dan 77,68 juta orang pekerja informal yang membutuhkan lapangan kerja di sektor formal.
Anton mengatakan, ada beban angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi yang harus dijawab oleh implementasi UU Cipta Kerja. Ia mengutip Presiden AS John F Kennedy bahwa masyarakat bebas yang tidak bisa membantu sekian banyak orang miskin tidak akan bisa menyelamatkan orang kaya yang jumlahnya segelintir.
”Artinya, ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kalau kita tidak bisa atasi masalah itu, bagaimana kita bisa hidup dengan nyaman dengan dikelilingi angka-angka (pengangguran dan kemiskinan) itu?” ujarnya.
Survei Litbang Kompas menunjukkan, meski peran pengusaha dinilai besar dalam mendorong kemajuan perekonomian negeri, perannya dalam memberikan upah dan menjamin kesejahteraan pekerja masih dinilai kurang atau tidak memadai.

Petugas memberikan penjelasan dalam layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS) pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Koordinasi Penanaman Modal (PTSP BKPM), Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Sebanyak 52 persen pengusaha/wiraswasta mengakui sendiri bahwa peran pengusaha dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja tidak memadai. Sementara 59 persen pekerja menganggap hal serupa dan 47 persen masyarakat nonpekerja juga menganggap pengusaha tidak berperan banyak dalam menjamin kesejahteraan pekerja.
Di sisi lain, pemerintah dinilai lebih banyak berpihak kepada pengusaha dibandingkan dengan pekerja. Sebanyak 42 persen pekerja dan 45 persen masyarakat nonpekerja menilai pemerintah kurang atau tidak berpihak pada kepentingan pekerja. Persepsi berbeda ditangkap oleh pengusaha, sebanyak 48 persen menilai pemerintah sudah memberi perhatian yang besar kepada pekerja.
Sebaliknya, baik pengusaha, pekerja, maupun masyarakat nonpekerja sama-sama berpandangan bahwa pemerintah berpihak terhadap pengusaha. Sebesar 55 persen pengusaha menilai perhatian pemerintah kepada pengusaha sudah besar. Demikian pula, 38 persen pekerja dan 48 persen masyarakat nonpekerja menilai pemerintah sudah memperhatikan pengusaha.
Baca juga: Ciptakan Kemudahan Berusaha