Pekerja Digaji Rendah, Pertumbuhan Kelas Menengah Terhambat
Kemudahan investasi harus diseimbangkan dengan jaminan upah dan perlindungan yang layak bagi pekerja. Pekerjaan yang layak dan berkualitas dibutuhkan untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan Bank Dunia menunjukkan mayoritas pekerja Indonesia masih dibayar dengan upah rendah dan perlindungan kerja yang lemah. Jika tidak segera diantisipasi, minimnya lapangan kerja yang layak dan berkualitas itu dapat menghambat pertumbuhan kelas menengah serta pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19.
Dalam laporan ”Prospek Ekonomi Indonesia Mempercepat Pemulihan” edisi Juni 2021, Bank Dunia menggarisbawahi, jika ingin naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia perlu segera membenahi kebijakannya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak dan berkualitas.
Dalam satu dekade terakhir, Pemerintah RI gencar menciptakan lapangan kerja dengan rata-rata 2,4 juta pekerjaan baru per tahun. Namun, lapangan kerja yang tercipta ternyata hanya mampu mengurangi angka kemiskinan, tidak cukup untuk mengangkat status pekerja ke masyarakat kelas menengah.
Sebagai gambaran, dari 85 juta pekerja bergaji tetap di tahun 2018, hanya 13 juta orang yang upahnya sesuai dengan standar taraf hidup keluarga kelas menengah. Sementara, hanya 3,5 juta orang pekerja yang mendapat upah kelas menengah (Rp 3,75 juta per bulan), berstatus pekerja tetap, dan mendapat perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. Sebanyak 40 persen di antaranya pegawai negeri sipil.
Lapangan kerja yang tercipta ternyata hanya mampu mengurangi angka kemiskinan, tidak cukup untuk mengangkat status pekerja ke masyarakat kelas menengah.
Adapun pekerjaan bagi kelas menengah (middle class jobs) selayaknya mencakup upah, hak dan kepuasan kerja, manfaat, serta perlindungan jaminan kerja yang sesuai dengan ekspektasi dan taraf hidup masyarakat kelas menengah.
Bank Dunia mencatat, 45 persen dari lapangan kerja yang tercipta pada periode 2009-2019 adalah pekerjaan dengan upah rendah dan minim perlindungan atau jaminan. Dua dari tiga pekerjaan itu ada di sektor agrikultur serta sektor jasa yang bernilai tambah rendah dan berproduktivitas rendah.
Kondisi setelah pandemi diproyeksi semakin buruk. Mengacu pada Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2019 dengan Agustus 2020, porsi pekerjaan bagi kelas menengah di Indonesia menurun 5,2 persen dalam waktu satu tahun setelah Covid-19. Sebanyak 47 persen dari total 128,4 juta tenaga kerja kini terjebak di bawah status masyarakat kelas menengah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad, Jumat (18/6/2021), menilai, meski secara kuantitas serapan tenaga kerja pada triwulan I-2021 ini bertambah, investasi yang masuk belum tentu maksimal menciptakan lapangan kerja layak bagi kelas menengah.
Hal itu karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja yang saat ini menjadi payung hukum penciptaan lapangan kerja lebih banyak memberi kemudahan kepada investor, misalnya lewat melonggarkan aturan upah, pesangon, serta ketentuan mempekerjakan pekerja alih daya (outsource).
”Otomatis, dampak dari regulasi yang fleksibel itu adalah adalah upah dan posisi tawar pekerja yang menjadi lebih rendah. Ini bertentangan dengan semangat menciptakan lapangan kerja yang layak dan mendorong pertumbuhan pekerja kelas menengah,” katanya.
Serapan tenaga kerja pada triwulan I-2021 ini bertambah, tetapi investasi yang masuk belum tentu maksimal menciptakan lapangan kerja layak bagi kelas menengah.
Di sisi lain, regulasi juga membolehkan perusahaan merekrut tenaga kerja asing untuk menduduki posisi pekerjaan level menengah-atas. ”Itu semakin mengambil porsi pekerjaan kelas menengah yang seharusnya bisa diisi oleh masyarakat kelas menengah kita,” ujar Tauhid.
Ke depan, kemudahan investasi lewat UU Cipta Kerja harus diseimbangkan dengan regulasi yang menjamin upah dan perlindungan sosial yang layak bagi pekerja. Selain itu, perlu ada penyelarasan antara program peningkatan kapasitas atau keterampilan pekerja dan regulasi yang tegas terhadap perekrutan tenaga kerja asing.
Hal itu diperlukan agar investor tidak sebebasnya merekrut pekerja dari negara lain untuk mengisi posisi yang sebenarnya sanggup diisi oleh pekerja lokal. ”Kalau hal-hal itu tidak dibenahi, meskipun investasi yang masuk nanti akan banyak, ujung-ujungnya tetap saja pertumbuhan kelas menengah kita tidak akan maksimal,” ujarnya.
Transformasi ketenagakerjaan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, untuk menjawab tantangan ketenagakerjaan pascapandemi, pemerintah menyiapkan sembilan lompatan besar transformasi. Langkah-langkah itu akan menjawab kebutuhan peningkatan kapasitas pekerja, keterhubungan pekerja dan dunia usaha, hingga penegakan hak pekerja di tengah pasar kerja yang semakin fleksibel.
Sembilan program itu terdiri atas transformasi balai latihan kerja (BLK), keterkaitan (link and match) ketenagakerjaan, perluasan kesempatan kerja, perluasan pasar kerja luar negeri, pengembangan talenta muda, visi baru hubungan industrial, reformasi pengawasan ketenagakerjaan, reformasi birokrasi, dan menyiapkan ekosistem digital ketenagakerjaan.
Saat ini, detail agenda dan program untuk mengimplementasikan sembilan lompatan besar itu sedang disiapkan. ”Disrupsi digital dan pandemi menuntut pemerintah untuk lebih cepat tanggap menghadapi dinamika ke depan. Transformasi pembangunan ketenagakerjaan tidak bisa lagi memakai cara-cara lama, harus lebih inovatif dan kreatif,” kata Anwar.
Salah satu aspek yang ditingkatkan adalah peningkatan kapasitas pekerja melalui pendidikan vokasi. Kemenaker baru-baru ini meneken nota kesepahaman bersama empat perusahaan besar untuk bekerja sama dengan BLK mengadakan pelatihan vokasi. Pekerja lulusan BLK diharapkan lebih mudah terserap oleh dunia kerja jika telah belajar langsung di lingkup industri.
Adapun Kementerian Investasi sedang menyusun peta peluang investasi proyek prioritas strategis. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui, proses promosi investasi selama ini seperti ”mengarang bebas” karena tidak ada desain investasi yang terstruktur. Akibatnya, kerap terjadi ketimpangan antarwilayah dan efek pengganda (multiplier) yang kurang optimal.
Adapun sektor-sektor yang menjadi fokus pemetaan saat ini adalah sektor pariwisata, pengembangan kawasan dan industri yang terintegrasi kawasan, serta infrastruktur penunjang kawasan.
”Dengan melakukan pemetaan peluang investasi, investor dapat lebih mudah menetapkan keputusannya di proyek-proyek yang kita anggap strategis. Kita tidak boleh berpusat hanya pada investasi di Jawa, tetapi harus merata ke daerah,” ujar Bahlil.