Pelaku UMKM yang terhubung dengan platform digital baru mencapai sekitar 12 juta unit. Pendampingan terhadap UMKM sangat diperlukan agar dapat menembus pasar ekspor.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang terhubung dengan platform digital baru mencapai sekitar 12 juta unit. Keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan tidak semua UMKM bisa berjualan melalui platform digital sehingga mereka membutuhkan mitra untuk masuk ke ekosistem digital.
Digitalisasi memegang peranan penting dalam percepatan pemulihan ekonomi dan mendorong UMKM Indonesia semakin kuat dan berdaya. Sebesar 80 persen UMKM yang terhubung ke dalam ekosistem digital memiliki daya tahan lebih baik. Dari jumlah itu, 74,1 persennya mengandalkan e-dagang dengan profil usaha 51 persen sebagai penjual ulang (reseller) dan produsen hanya mencapai 11 persen.
Mencermati data Bank Dunia tahun 2021, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam webinar ”UKM Go Digital: Peluang Ekspor Produk UKM di Pasar Dunia” yang diselenggarakan PP Kagama-DPKM Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Sabtu (5/6/2021), mengatakan, ”Sampai saat ini UMKM membutuhkan mitra strategis dalam mendorong produk-produknya untuk go nasional ataupun go internasional. Mereka membutuhkan mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi untuk bisa menjadi partner UMKM sebagai reseller atau drop shipper melalui platform digital.”
Menurut Teten, pemerintah menargetkan 30 juta UMKM dapat masuk ke ekosistem digital pada 2024. Waktu tinggal tersisa tiga tahun, target tersebut akan diupayakan secara bertahap sebanyak 6 juta UMKM per tahun. Salah satu upayanya adalah menggandeng perguruan tinggi.
Pemerintah menargetkan 30 juta UMKM dapat masuk ke ekosistem digital pada 2024.
Secara terbuka, Teten mengajak Kagama untuk sama-sama mendorong UMKM masuk ke platform digital. Selama ini ada cukup banyak UMKM yang sudah masuk platform digital, tetapi kemudian gagal karena kapasitas produksi tidak memadai untuk memenuhi permintaan pasar. Penyebab lain adalah daya saing produk karena begitu masuk platform digital, produk UMKM harus bersaing dengan merek-merek besar sehingga perlu pendampingan dan literasi digital.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Prof Wihana Kirana Jaya memandang akibat kontraksi ekonomi dunia, UMKM ikut terkena dampaknya. Persoalan UMKM tidak hanya berbicara pertumbuhan dan pertambahan nilai, tetapi juga keberlanjutan. Melihat ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19, paradigma UMKM berbasis komunitas perlu dibangun supaya mereka menjadi bagian dari rantai pasok industri.
Menurut Wihana, agar perekonomian tidak mengalami ekstraktif, perlu dibangun keberlanjutan UMKM yang melibatkan masyarakat sekitar, sumber kekayaan lokal (local content), menjadikan tenaga kerja sebagai modal utama UMKM, serta memberikan kewenangan bagi UMKM. Inilah yang disebut pilar-pilar demokrasi ekonomi.
Wihana menyebutkan, pasar yang memiliki potensi untuk UMKM Indonesia adalah produk alas kaki, furnitur, kerajinan, pakaian jadi, makanan, dan perhiasan. Di sinilah UMKM bisa menjawab persoalan-persoalan global. Sesungguhnya, bukan sekadar membawa produk UMKM ke pasar global, melainkan lebih cerdas lagi memosisikan UMKM untuk menarik investasi.
”Jangan hanya terfokus pada mengekspor barang, tetapi bagaimana caranya mengekspor pengetahuan. Semua mengandung kecepatan informasi,” ujar Wihana.
Hal senada diungkapkan Amalia S Prabowo, MD ExportHub Ecosystem E-commerce Entrepreneur Incubator. ”Mendorong UMKM ekspor membutuhkan orkestrasi luar biasa,” kata Amalia.
Anak-anak muda di ExportHub telah disiapkan untuk membawa produk Indonesia yang produknya sudah terkurasi kualitasnya sehingga bisa dimasukkan ke dalam radar konsumen global.
Selama tiga tahun belakangan ini, ExportHub memang bergerak di bidang akses global bagi produk-produk UMKM. Anak-anak muda di ExportHub telah disiapkan untuk membawa produk Indonesia yang produknya sudah terkurasi kualitasnya sehingga bisa dimasukkan ke dalam radar konsumen global.
”Kami lebih fokus mendorong program berbasis business to business dan e-dagang. Mengapa? Selama tiga tahun menangani kedua hal ini, ternyata terjadi peningkatan signifikan. ExportHub melihat, 39 persen manufaktur di dunia sudah masuk ke platform e-dagang. Tidak ada waktu lagi kita menunda dari sisi anak muda untuk menguasai e-dagang,” ujar Amalia.
Walaupun pemerintah mendorong UMKM untuk segera go digital, ExportHub justru ingin menunjukkan bahwa UMKM sebaiknya fokus pada produk. Adapun untuk urusan pengelolaan toko UMKM dipercayakan pada ExportHub.
”Pekerjaan mengelola toko daring UMKM bukanlah pekerjaan paruh waktu. Kami sendiri sudah mempekerjakan 200 anak muda untuk mengelola toko daring. Mereka inilah yang dipercayakan menguasai e-dagang untuk bisa ’dikawinkan’ dengan UMKM. Jadi, UMKM lebih baik fokus pada kualitas produk, sementara anak-anak muda inilah yang menguasai e-dagang, termasuk urusan ekspor produk UMKM,” kata Amalia.
Momentum
Guru Besar Fakultas Teknik UGM Prof Alva Edy Tontowi menuturkan, pandemi Covid-19 telah membuat munculnya gagasan Program Starlink dengan target 42.000 satelit. Dengan kecepatan perkembangan teknologi digital, hal ini sesungguhnya menjadi momentum untuk mendukung digitalisasi UMKM.
Pandemi Covid-19 memang sudah sangat mengganggu, salah satunya kehidupan masyarakat. Kualitas hidup manusia menurun di seluruh dunia. Karena itu, adat kebiasaan yang berubah ikut memengaruhi pasar. Untuk mengembalikan ke situasi normal sepenuhnya tidak bisa lagi. Butuh kreativitas dan inovasi.
Dengan kecepatan perkembangan teknologi digital, hal ini sesungguhnya menjadi momentum untuk mendukung digitalisasi UMKM.
”Situasi ini membuat kebutuhan manusia akan berubah. Inilah saatnya UMKM perlu beradaptasi dan tak henti berinovasi. Tentu ada UMKM yang sukses ataupun gagal dalam menghadapi situasi saat ini. Ada banyak hal yang menyebabkan kegagalan, di antaranya lemahnya komitmen menjaga kualitas, kelembagaan usaha, atau kesesuaian produk tidak cocok dengan kebutuhan pasar,” ucap Alva.
Menurut Alva, terkait dengan produk, hal yang perlu dilakukan adalah inovasi. Tentu, di balik inovasi ada proses riset dan pengembangan. Produk UMKM disebut gagal bisa terjadi akibat berbagai kemungkinan, antara lain proses produksi dan pengemasan yang dilakukan UMKM, proses perjalanan transportasi dari UMKM ke gudang atau pembeli, dan kegagalan terkait perubahan musim di negara lain yang menyebabkan produk rusak atau berjamur.
”UMKM tentu tidak punya cara mengatasi produk yang rusak akibat jamur. Di sinilah peran perguruan tinggi sangat diperlukan untuk menjadi tempat bertanya bagi UMKM,” ujar Alva.