Pemerintah berupaya merampungkan target rasio elektrifikasi 100 persen pada 2022. Namun, pencapaiannya dinilai sangat bergantung pada pendanaan infrastruktur listrik. Hingga kini, 346 desa belum teraliri listrik.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya merampungkan aliran listrik ke 100 persen rumah tangga Indonesia pada tahun 2022. Namun, keberhasilan mencapai target itu bergantung pada pembiayaan pengadaan infrastruktur listrik, khususnya di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T.
Target rasio elektrifikasi itu berbeda dengan yang tertera pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Aturan tersebut mencanangkan rasio elektrifikasi mencapai 100 persen pada 2020.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana menyebutkan, rasio desa berlistrik pada akhir 2020 mencapai 99,56 persen dan naik menjadi 99,59 persen pada triwulan-I 2021.
”Rasio elektrifikasi pada akhir 2020 mencapai 99,20 persen dan pada triwulan-I 2021 sebesar 99,28 persen. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang sedang diselesaikan, rasio elektrifikasi ditargetkan mencapai 100 persen pada 2022,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR yang disiarkan secara langsung, Kamis (27/5/2021).
Sebanyak 346 desa belum berlistrik. Pada indikator rasio elektrifikasi, terdapat 542.124 rumah tangga belum berlistrik. Rida mencontohkan, terdapat desa yang jarak antarrumahnya terpencar dalam radius 500 meter hingga 2 kilometer.
Guna mengalirkan listrik ke desa-desa tersebut, pemerintah menyiapkan tiga strategi. Sebanyak 24 desa akan mendapatkan listrik dari jaringan yang berada dalam jangkauan area PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Ada 37 desa yang akan menjadi peserta program Mini Grid atau pembangunan pembangkit listrik dengan energi baru dan terbarukan (EBT) setempat karena sulit dijangkau oleh jaringan yang ada. Karena pola permukiman tersebar, 285 desa akan memperoleh alat penyalur daya listrik berupa tabung listrik dengan total 20.711 unit.
Rida menyebutkan, investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi rasio elektrifikasi nasional sebesar 100 persen mencapai Rp 12,02 triliun dalam bentuk penyertaan modal negara. Apabila investasi ini tidak terpenuhi, dia khawatir pencapaian target akan mundur.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, target rasio elektrifikasi tersebut dapat tercapai jika pemerintah turun tangan lewat anggaran, pendapatan, dan belanja negara (APBN) karena daerah sasaran berada di kawasan 3T yang tidak komersial sehingga investasi sulit menjadi sumber pembiayaan. ”Karena target pada RUEN tak tercapai, kami mengharapkan adanya terobosan pemerintah dengan modal APBN,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Tak hanya memenuhi rasio elektrifikasi, dia juga menggarisbawahi peningkatan konsumsi listrik per kapita. Dia menilai, intensitas penggunaan listrik di daerah 3T masih rendah salah satunya karena daya beli masyarakat di kawasan tersebut belum kuat.
Lebih hijau
Selain mencanangkan target rasio elektrifikasi, Rida menyebutkan, RUPTL PLN 2021-2030 lebih hijau dibandingkan dengan periode sebelumnya. Rasio pembangkit energi baru terbarukan mencapai 48 persen pada dokumen RUPTL 2021-2030, sedangkan pada periode sebelumnya 30 persen.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo menyebutkan, ada keterlambatan pertumbuhan beban selama tiga tahun. Dia menggambarkan, RUPTL 2019-2028 memperkirakan permintaan listrik pada 2025 mencapai 361 terawatt jam (TWH). Namun, angka itu diproyeksikan baru tercapai pada 2028, yakni pada RUPTL 2021-2030, akibat penurunan permintaan selama pandemi Covid-19. Meskipun demikian, PLN tetap berkomitmen memenuhi bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Menanggapi proses penyusunan RUPTL, Satya mengimbau agar tetap mengacu pada kesepakatan yang tertera pada RUEN. Bauran EBT sebesar 23 persen tetap harus dicapai pada 2025 dengan peta jalan yang memperinci beragam pembangkit, seperti tenaga surya, air, dan panas bumi.
Dalam rapat yang sama, Rida menyebutkan, hingga kini terdapat 34 proyek pembangkit yang terkendala. Sebanyak 15 proyek di antaranya berada pada tahap pengusulan untuk dilanjutkan kembali dengan kapasitas total mencapai 336,8 megawatt (MW).
Ada tujuh proyek dari kategori pengusulan tersebut yang merupakan pembangkit listrik tenaga uap. Dokumen proyek itu sudah lengkap, tetapi jadwal operasionalnya menyesuaikan RUPTL 2021-2030.
Terdapat 12 proyek dengan kapasitas total 177 MW yang dikelompokkan dalam penggantian. Proyek-proyek ini membangun transmisi dan gardu induk. Adapun tujuh proyek lainnya sudah beroperasi dengan kapasitas total 114 MW.