Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi nasional 100 persen tahun ini. Artinya, seluruh penduduk Indonesia harus mendapat akses listrik yang sama dan kualitas yang setara. Namun, ada tantangan untuk mewujudkannya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Data pemerintah menyebutkan bahwa sampai akhir 2020 rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 99,2 persen. Apabila populasi Indonesia mencapai 250 juta jiwa, artinya masih ada sekitar 2 juta jiwa yang belum mendapatkan pasokan listrik. Mereka berada di wilayah terpencil dengan kondisi medan yang berat.
Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi nasional bisa mencapai 100 persen tahun 2021. Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia yang ada di pulau-pulau terpencil, di pegunungan, pelosok hutan, dan tentu saja termasuk yang di perkotaan dapat mengakses listrik. Apakah hal itu memungkinkan? Bisa saja dan tidak ada yang tidak mungkin.
Catatannya adalah apakah mereka yang sudah mengakses listrik memiliki kenikmatan keandalan pasokan? Tidak biarpet nyaris setiap hari? Idealnya, dengan rasio elektrifikasi 100 persen, seluruh rakyat Indonesia mendapat hak yang sama dalam hal keandalan pasokan. Kenikmatan itu adalah listrik yang menyala terus-menerus selama 24 jam sehari dan tujuh hari dalam sepekan.
Apalagi, kategori rasio elektrifikasi di Indonesia masih menjadi perdebatan. Rakyat yang mengakses listrik dari lampu tenaga surya, yang umumnya ada di wilayah terpencil dan belum terjangkau jaringan listrik PLN sudah terhitung sebagai rakyat yang telah mendapat akses terhadap listrik. Secara status, mereka sudah disamakan dengan rakyat Indonesia yang ada di pusat kota dengan kenikmatan terhadap akses listrik nyaris tanpa batas.
Idealnya, dengan rasio elektrifikasi nasional 100 persen, seluruh rakyat Indonesia mendapat hak yang sama dalam hal keandalan pasokan.
Padahal, mereka yang hanya mendapat penerangan bohlam tenaga surya tak bisa menikmati nyala terang selama 24 jam. Bohlam itu hanya bisa dipakai saat gelap tiba hingga dini hari. Bahkan, tak jarang menjelang tidur, bohlam dimatikan dengan alasan penghematan baterai.
Listrik dari tenaga surya hanya benar-benar untuk menyalakan bohlam. Jangan dibayangkan bisa menghidupi kulkas, mesin cuci, televisi, mesin pompa air, atau mesin pendingin udara. Jadi, kendati status akses terhadap listrik sama, mereka ini tidak mendapat keistimewaan dalam hal keandalan dan kecukupan pasokan.
Nah, di situlah tantangannya. Kendati capaian rasio elektrifikasi 99,2 persen dan menyisakan 0,8 persen atau katakanlah masih sisa 1 persen untuk memudahkan penyebutan, pekerjaan elektrifikasi tetap bukan hal yang mudah. Sisa 1 persen itu ada di wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari kemapanan infrastruktur. Apalagi, mereka bermukim terpencar atau tidak berkumpul dalam satu wilayah.
Memanfaatkan potensi energi setempat bisa menjadi solusi. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, ada potensi aliran air, tiupan angin, pancaran sinar matahari, atau ketersediaan biomassa. Semua itu adalah sumber energi terbarukan yang bisa diproses untuk menghasilkan tenaga listrik.
Data pemerintah menunjukkan bahwa potensi dan sumber daya sumber energi terbarukan Indonesia terbilang melimpah. Tenaga surya adalah potensi paling melimpah di Nusantara, yakni mencapai 207.800 megawatt (MW). Lalu disusul tenaga hidro dengan potensi 75.000 MW, bayu atau angin 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan samudra (arus laut) 17.900 MW. Sayangnya, dari total potensi sebesar itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,5 persen saja.
Tak mungkin rasanya membangun pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batubara di lokasi-lokasi terpencil dengan jumlah penduduk yang tak seberapa.
Batubara sebagai sumber energi fosil yang tak terbarukan masih menjadi tulang punggung keandalan pasokan listrik di negeri ini. Namun, tak mungkin rasanya membangun pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batubara di lokasi-lokasi terpencil dengan jumlah penduduk yang tak seberapa. Demikian pula membangun jaringan distribusi hingga ke wilayah pelosok juga tak efisien dari sisi bisnis.
Pemanfaatan potensi lokal dari energi terbarukan adalah pilihan yang paling rasional. Apalagi, sudah ada teknologi penyimpan daya listrik yang dikembangkan PLN bersama Universitas Indonesia, yaitu ”tabung listrik”. Tabung listrik ibarat power bank yang bisa menyalakan alat listrik, terutama bohlam, dengan daya hingga 1.000 watt. Pengisian daya pada tabung listrik dilakukan di stasiun pengisian dari tenaga surya (PLTS).
Kemajuan teknologi yang bisa menghasilkan tingkat efisiensi yang tinggi diharapkan bisa menghadirkan keadilan bagi rakyat Indonesia yang bermukim di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan itu. Keandalan pasokan listrik dan kualitas yang sama di seluruh wilayah Indonesia adalah rasio elektrifikasi 100 persen yang sesungguhnya.