Marsinah Jangan Sirna
Di tengah tantangan yang kian tidak mudah, keadilan dan kesejahteraan buruh yang diperjuangkan Marsinah harus dijaga, jangan sampai sirna. Bukan menyulut api, melainkan mencari keadilan demi hidup layak dan sebutir nasi.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
”kami ini tak banyak kehendak,
sekadar hidup layak,
sebutir nasi”
Puisi ”Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono itu dibacakan dengan lantang di lapangan di depan pintu gerbang Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara, Sabtu (8/5/2021). Sekitar 70 orang berkumpul pada sore hari itu, baik yang hadir langsung dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak satu sama lain maupun yang hadir secara daring.
Acara Malam Renungan Marsinah yang diadakan Ikatan Buruh Perempuan itu berlangsung sederhana dan khidmat. Setelah pembacaan puisi Sapardi yang menggugah dan renungan bersama pihak keluarga Marsinah, satu per satu perwakilan buruh dari sejumlah federasi dan serikat buruh merefleksikan makna perjuangan Marsinah bagi mereka.
Mereka hadir untuk mengenang peringatan meninggalnya Marsinah, simbol perjuangan para buruh, yang ditemukan meninggal pada 8 Mei 1993. Tidak hanya Jabodetabek, perwakilan perempuan buruh dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Makassar, dan Jambi, juga ikut hadir secara daring.
Marsinah adalah buruh arloji di PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada tahun 1992, buruh PT CPS digaji Rp 1.700 per bulan. Padahal, upah minimum regional (UMR) Jawa Timur saat itu adalah Rp 2.250.
Pemerintah daerah sudah meminta pengusaha menaikkan gaji buruh hingga 20 persen. Namun, manajemen PT CPS menolak menaikkan gaji pokok karyawannya. Setelah negosiasi dengan perusahaan buntu, Marsinah dan buruh PT CPS pun menggelar aksi mogok kerja untuk meminta perbaikan nasib pada 3-4 Mei 1993.
Ada 12 tuntutan yang mereka suarakan, antara lain, kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh, tunjangan cuti haid, asuransi kesehatan bagi buruh dengan ditanggung perusahaan, dan tunjangan hari raya sebesar satu bulan gaji sesuai imbauan pemerintah.
Tuntutan lainnya, membubarkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang dinilai sudah disetir oleh rezim Orde Baru, serta menolak praktik intimidasi, mutasi, dan PHK yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja yang menuntut haknya. Sebagian besar tuntutan itu akhirnya dipenuhi oleh manajemen perusahaan.
Namun, dalam perundingan lanjutan dengan manajemen perusahaan, yang melibatkan pejabat Kodim Sidoarjo sebagai penengah, Marsinah dan rekan-rekannya ditawari uang pesangon asal bersedia mengundurkan diri.
Laporan Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, perundingan itu tidak lepas dari intimidasi oleh aparat. Satu per satu akhirnya setuju mengundurkan diri.
Tindakan represif di Markas Kodim itu mengusik Marsinah. Pada 5 Mei 1993, ia bersama seorang rekannya melayangkan surat protes ke pabrik serta berikhtiar hendak mengadukan tindakan Kodim itu ke pengadilan. Malam itu, terakhir kalinya Marsinah dilihat oleh rekannya.
Tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di pinggiran hutan jati di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari PT CPS. Tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan. Sampai hari ini, kasus Marsinah belum tuntas diusut. Siapa pembunuh Marsinah tak pernah diungkap pengadilan.
Baca juga :Ironi Upah Buruh Murah
Menyesal
Makam Marsinah sudah dibongkar hingga dua kali untuk keperluan otopsi dan penyelidikan ulang. Sampai hari ini, Marsini, kakak Marsinah, kerap merasa menyesal telah mengizinkan makam adiknya dibongkar berkali-kali, tanpa membuahkan hasil apa pun.
”Ini pertanggungjawaban saya karena sudah membolehkan dan mengizinkan kuburan adik saya dibongkar. Kami hanya mau membantu penyelidikan, kami ingin tahu siapa sebenarnya pelakunya,” ujar Marsini, yang hadir di acara secara daring.
Marsinah, ujarnya, hanya mempertanyakan ketidakadilan yang dirasakan buruh. Ia hanya ingin memperjuangkan hak pekerja untuk upah dan pekerjaan yang lebih layak. ”Marsinah itu hanya anak kecil, hanya buruh, tetapi kenapa sepertinya sulit sekali menemukan pembunuhnya?” kata Marsini.
Keluarga masih memegang harapan kasus pembunuhan Marsinah dapat diusut sampai tuntas. ”Bahkan, kalau memang sudah tidak bisa diusut lagi, siapa yang termasuk pelaku-pelakunya minta maaf saja, biar saya tahu. Saya hanya benar-benar ingin tahu pelakunya itu siapa,” katanya.
Belum usai
Kini, 28 tahun berselang, perjuangan Marsinah belum usai. Sampai hari ini, buruh masih terus memperjuangkan upah dan penghidupan yang layak.
Dian Septi, aktivis Ikatan Buruh Perempuan, mengatakan, perjuangan Marsinah masih relevan, mengingat masih banyak pekerja yang diupah di bawah standar kelayakan. Tahun ini, upah minimum diputuskan tidak naik karena pandemi. Covid-19 memang memperburuk segala situasi, tetapi persoalan sebenarnya sudah ada jauh sebelum ini.
Baca juga : UU Cipta Kerja dan Pilihan Tersedia
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020, persentase buruh dengan upah di atas UMP adalah 49,10 persen. Mayoritas buruh, atau 50,9 persen, masih hidup dengan pendapatan di bawah standar layak yang ditetapkan negara.
Kondisi itu memburuk dari tahun ke tahun. Pada 2017, lebih dari 60 persen buruh masih menerima upah di atas UMP. Pada 2018, pekerja dengan upah di atas UMP mulai menurun 57 persen. Pada 2019, angkanya menurun menjadi 56,5 persen hingga akhirnya di bawah separuh dari total buruh pada 2020 karena dampak pandemi.
”Sampai sekarang, kita belum melihat adanya penegakan hukum yang kuat terkait hak buruh. Kasus Marsinah saja belum diusut tuntas, dan hak buruh yang dulu diperjuangkan Marsinah, sampai hari ini masih menjadi persoalan,” kata Dian yang juga Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
Begitu pula persoalan lain yang dulu diserukan Marsinah dan para buruh PT CPS dalam 12 poin tuntutan mereka. Sebut saja, belum ditanggungnya asuransi kesehatan bagi buruh oleh perusahaan, pembayaran THR kepada buruh yang tidak sesuai dengan imbauan pemerintah, serta intimidasi, mutasi, dan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang menuntut hak.
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), mengatakan, intimidasi mental masih sering dirasakan para buruh yang lantang menyuarakan haknya. Mulai dari mutasi sepihak, pengurangan hak-hak, serta PHK, kerap terjadi.
Sementara itu, kehadiran pemerintah jarang dirasakan. Beberapa kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan justru mendorong dan menormalisasi pengabaian hak-hak pekerja atas nama investasi dan kemajuan ekonomi.
”Bicara di Jakarta mungkin minim, tetapi dari Sabang sampai Merauke, ada begitu banyak kasus ketidakadilan dan penyiksaan terhadap pekerja. Hanya saja, tidak terekspos. Misalnya, buruh di perkebunan Sawit dan tambang yang diperlakukan tidak adil, tetapi cerita mereka kurang bergema,” kata Mirah.
Baca juga : RUU Cipta Kerja, Ekonomi dan Kesejahteraan
Jangan sirna
Tantangan ke depan akan lebih rumit. Dunia kerja yang berkembang semakin fleksibel membawa ketidakpastian yang seharusnya diiringi dengan perangkat perlindungan hak pekerja yang memadai.
Namun, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berorientasi menarik banyak investor justru meniadakan sejumlah ketentuan krusial yang selama ini melindungi hak dan kesejahteraan buruh.
Di sisi lain, masih banyak buruh yang takut berserikat karena takut di-PHK atau khawatir kontraknya diperpanjang terus tanpa kepastian diangkat menjadi pegawai tetap. Elitisme, intrik politik, dan perpecahan di kalangan buruh juga bermunculan, membuat gerakan buruh mudah goyah.
Masih ada pula pandangan keliru di kalangan pekerja yang menganggap dirinya bukan buruh. Buruh dicap negatif, seolah-olah hanya untuk pekerja pabrik yang sibuk berunjuk rasa dan bermogok kerja untuk menuntut kenaikan ini dan itu.
Padahal, tantangan dan ketidakpastian yang dibawa oleh tren fleksibilitas dunia kerja akan semakin berat. Untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraannya, buruh tidak bisa sendiri-sendiri. ”Stigma peninggalan masa lalu seperti itu harus terlebih dulu dikikis. Mau kerja di perkantoran, pabrik, start up, kerja dari rumah, kita sama-sama buruh,” kata Dian.
Seperti kata Sapardi, buruh bukan ingin menyulut api. Hanya ingin memutar jarum arloji agar sesuai dengan arah matahari, mencari keadilan demi hidup layak dan sebutir nasi. Di tengah tantangan dunia kerja yang semakin tidak mudah ke depan, keadilan dan kesejahteraan buruh yang diperjuangkan Marsinah harus dijaga, jangan sampai sirna.
Baca juga : ”Omnibus Law” dan Kekhawatiran Buruh