Larangan Mudik, Kesehatan Mental, dan Produktivitas Pekerja
Pulang ke kampung halaman, bagi sebagian pekerja perantau, adalah momentum mengisi ulang "daya" yang bisa mengungkit produktivitas. Perusahaan perlu menjaga kesehatan mental karyawan di tengah suasana kerja yang berbeda.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Pekerja menyempatkan diri berfoto saat berjalan menuju stasiun kereta saat jam pulang kerja di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, Jumat (11/9/2020). Kasus penularan Covid-19 di Jakarta yang semakin tinggi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total mulai Senin 14 September 2020 dan meminta kegiatan perkantoran yang non-esensial berkegiatan atau bekerja dari rumah.
Larangan mudik memiliki relasi yang erat dengan kesehatan mental dan produktivitas pekerja. Khususnya pekerja muda yang menjadi kelompok rentan dalam era bekerja ala pandemi Covid-19. Langkah perusahaan dinilai penting untuk membantu mereka mendapatkan daya yang hilang akibat larangan pulang ke kampung halaman.
Laporan tahunan Work Trend Index 2021 berjudul ”The Next Great Disruption is Hybrid Work–Are We Ready?” dari Microsoft menunjukkan, 60 persen pegawai dari kalangan generasi Z merasa tengah bergumul (struggling) dengan situasi pekerjaan selama pandemi Covid-19. Sebanyak 64 persen kelompok karyawan mula atau bekerja kurang dari setahun juga merasa demikian.
Sebanyak 16 persen pekerja generasi Z juga merasa sulit terikat ataupun menyukai pekerjaannya selama pandemi Covid-19. Angka itu merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan generasi boomers yang sebanyak 12 persen, generasi X 13 persen, dan milenial 14 persen. Berdasarkan definisi yang digunakan Badan Pusat Statistik, generasi boomers lahir pada 1946-1964, generasi X lahir pada 1965-1980, generasi milenial lahir pada 1981-1996, dan generasi Z lahir pada 1997-2012.
Sementara itu, bekerja jauh dari daerah asal berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai ketika fleksibilitas libur berubah dari tingkat tinggi ke rendah. Temuan itu mengemuka dalam penelitian ”Social Attachment to Place and Psychic Costs of Geographic Mobility: How Distance from Hometown and Vacation Flexibility Affect Job Performance” yang ditulis oleh Prithwiraj Choudhury dan Ohchan Kwon dari Harvard Business School dan dipublikasikan 2020.
Psikolog klinis sekaligus Konselor Employee Assistance Program Viera Adella membagi pekerja muda dalam tiga kelompok terkait larangan mudik. ”Pulang kampung jadi aktivitas yang mengisi ulang daya psikologis mereka. Oleh sebab itu, perusahaan perlu menjaga kesehatan mental. Dengan demikian, kelelahan mental mereka terbayar sehingga produktivitas (kerja) meningkat,” ujarnya, Rabu (12/5/2021).
Kelompok pertama terdiri dari karyawan muda yang memiliki ikatan emosional kuat dengan keluarga di kampung halamannya. Kelompok ini memiliki kenyamanan dan daya kenang tinggi terhadap pengalaman di rumah sehingga keinginan untuk pulang kampungnya besar. Salah satu cirinya ialah mudah merindukan masakan keluarga.
Untuk menghadapi kelompok pekerja pertama, divisi SDM perusahaan secara pribadi perlu memberikan ruang untuk mengekspresikan kerinduan mereka pada kampung halaman. Anggota divisi SDM dapat menyarankan mereka untuk memiliki waktu komunikasi suara ataupun video dengan keluarga, meminta keluarga mengirimkan masakan dari kampung halamannya, atau meminta resep hidangan yang biasa disantap saat Lebaran lalu memasaknya. Jika stres mereka memuncak, anggota divisi SDM mesti siap memberikan pendampingan profesional.
Pekerja muda yang dapat menerima kenyataan tak bisa mudik dengan rasional, lanjut Adella, masuk dalam kelompok kedua. Kelompok ini biasanya mampu menemukan alternatif kegiatan bersama keluarga secara jarak jauh sebagai pengganti pulang kampung. Mengirimkan bingkisan, misalnya, untuk keluarga atau mentransfer sejumlah uang.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah pegawai kantor meninggalkan gedung perkantoran saat jam istirahat di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (1/3/2021).
Kelompok ketiga terdiri dari karyawan muda yang memiliki perspektif mudik sebagai wujud ikatan sosial dan budaya pada daerah asalnya. Bagi mereka, mudik menjadi aktivitas yang menunjukkan identitas komunitas kampung halamannya. Oleh sebab itu, mereka dapat stres apabila tak pulang kampung.
Pekerja di kelompok ketiga umumnya memiliki semangat berkomunitas yang biasanya terwujud saat merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Adella berpendapat, perusahaan dapat memfasilitasi mereka mengekspresikan semangat itu melalui acara halalbihalal Lebaran secara virtual. Dengan menjadi panitia acara tersebut, mereka dapat menyalurkan kerinduan pada kampung halaman.
Gelaran Lebaran virtual, menurut Adella, dapat menjadi salah satu cara perusahaan dalam menjaga kesehatan mental karyawannya. ”Acara ini seolah-olah membawa kampung halaman para pekerja ke lingkungan perusahaan sehingga mereka terbantu untuk mengenangnya. Secara garis besar, perusahaan perlu menyusun acara yang membuat pekerja merasa di rumah,” ujarnya.
Apabila memungkinkan, divisi SDM perusahaan dapat memetakan pekerjanya berdasarkan daerah asal. Setelah itu, perusahaan bisa mengirimkan makanan khas daerah asal tersebut ke setiap pekerja.
Lebih penting lagi, dia menggarisbawahi, perlu ada jeda setelah libur Lebaran. ”Saya merasa prihatin dengan sejumlah kantor yang langsung meminta mereka bekerja dengan intensitas meeting tinggi. Padahal, kantor perlu membaca, mudik merupakan kebutuhan psikologis pekerja. Kebutuhan ini perlu difasilitasi dengan berbagai alternatif mengingat adanya larangan mudik sehingga karyawan tetap merasakan memperoleh ’udara segara’ dalam dinamika bekerjanya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia Yosminaldi menyebutkan, perusahaan dapat menyusun jadwal libur bagi pekerja secara bergiliran sebagai pengganti mudik yang tak bisa direalisasikan saat ini. Bagi pekerja muda yang tidak bisa pulang kampung, dia menyarankan mereka untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya sambil tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Menurut Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bob Azam, pelaku usaha membuka ruang bagi penyusunan jadwal libur bergilir seusai masa libur Lebaran 2021 bagi pekerja. ”Libur bersama yang biasanya direalisasikan pada Lebaran dapat dialihkan ke bulan-bulan setelah ini. Pekerja dapat memanfaatkan libur tersebut untuk pulang kampung,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (14/5/2021).
Sebagai pengganti pulang kampung, dia mendorong karyawan muda untuk menjalankan aktivitas yang berdampak positif, tetapi sulit dilakukan secara optimal pada hari kerja. Melakukan hobi, olahraga, atau membaca, misalnya.
Selain itu, dia juga menilai, upaya perusahaan untuk menegakkan kepatuhan tak mudik pada pekerja dari generasi yang lebih senior juga penting. Hal ini dapat menunjukkan solidaritas yang diharapkan dapat menguatkan batin karyawan muda.
Bekerja dengan daya batin yang terisi penuh dapat membuahkan hasil manis. Produktivitas naik. Apabila ingin menikmati buah itu, perusahaan tidak boleh abai pada kesehatan mental karyawannya.