Pengusaha Keberatan dengan Rencana Kenaikan Tarif PPN
Kemampuan konsumsi masyarakat dinilai akan semakin rendah saat tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 15 persen. Di sisi lain, konsumsi ritel akan terus loyo selama pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha keberatan dengan rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN tahun depan. Kenaikan tarif PPN dinilai dapat akan membuat harga jual barang dan jasa menjadi lebih mahal sehingga akan menekan penjualan produk ritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey saat dihubungi pada Jumat (11/5/2021) mengatakan, kenaikan tarif PPN akan membuat harga jual barang-barang di sektor ritel yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti makanan dan minuman serta pakaian, menjadi lebih mahal.
Menurut dia, rencana kebijakan itu akan membuat komponen terbesar pembentuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yaitu konsumsi rumah tangga, akan kembali kontraksi pada tahun depan.
”Sekalipun kebijakan itu baru diterapkan pada 2022, kondisi ekonomi masih berat sebab berdasarkan indikator ekonomi hingga sekarang daya beli masih lemah,” kata Roy.
Kenaikan tarif PPN akan membuat harga jual barang-barang di sektor ritel yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti makanan dan minuman serta pakaian, menjadi lebih mahal.
Roy mengatakan, kemampuan konsumsi masyarakat akan semakin rendah saat tarif PPN meningkat dari 10 persen menjadi 15 persen pada tahun depan. Di sisi lain, konsumsi ritel akan makin tertekan apabila penyebaran Covid-19 belum juga bisa dikendalikan.
”Dengan kondisi ekonomi yang saat ini masih buruk, lalu tahun depan ditambah tarif PPN yang naik, terus terang ini akan membebani produk karena saat PPN meningkat belum tentu konsumsi sudah meningkat,” ujar Roy.
Sebelumnya, dalam Musyarawah Perancanaan Pembangunan Nasional 2021 awal Maret lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah berencana akan meningkatkan tarif PPN mulai tahun depan dari yang berlaku saat ini sebesar 10 persen.
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut digunakan agar penerimaan pajak bisa mencapai target. Tahun depan, penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun atau tumbuh 8,37 persen hingga 8,42 persen dari proyeksi akhir tahun 2021.
Sejalan dengan rencana Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pekan lalu menyatakan, pemerintah akan segera mengajukan revisi aturan terkait tarif pajak konsumen kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN menjadi maksimal 15 persen. Untuk meningkatkan tarif PPN, pemerintah bisa hanya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP).
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita menilai, sebaiknya implementasi peningkatan tarif PPN oleh pemerintah dilakukan pada 2024 ketika aktivitas ekonomi masyarakat sudah stabil seperti periode sebelum pandemi Covid-19.
Berdasarkan perhitungannya pelaksanaan vaksinasi secara optimal baru akan selesai pada tahun depan. Setelahnya, butuh satu tahun hingga 2023 agar aktivitas ekonomi masyarakat mulai berjalan normal.
”Saya rasa dalam jangka pendek saat ini masih banyak cara perluasan basis pajak selain kenaikan tarif PPN,” ujar Suryadi.
Senada dengan Suryadi, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyarankan agar pemerintah tidak buru-buru menaikkan tarif PPN. ”Pemerintah perlu melihat dulu arah pemulihan ekonomi tahun depan sebelum memutuskan menaikkan tarif PPN,” ujarnya.
Kenaikan PPN, lanjut Yusuf, akan berdampak terhadap pemulihan daya beli masyarakat. Namun, besar atau tidaknya pengaruh kenaikan tarif PPN terhadap daya beli akan bergantung pada seberapa cepat proses pemulihan ekonomi berlangsung.
Menurut Yusuf, apabila pemulihan ekonomi berlangsung lebih cepat pada tahun ini dan tahun depan, kenaikan tarif PPN tidak akan terlalu menekan daya beli.
Namun, apabila pemulihan aktivitas ekonomi tahun ini dan tahun depan masih berlangsung stagnan, daya beli masyarakat akan tertekan sehingga berimbas pada kembali terkontraksinya pertumbuhan ekonomi.
”Sebaiknya pemerintah tidak mengambil risiko dan tetap fokus terhadap proses pemulihan ekonomi karena tantangan di tahun depan masih terkait dengan pandemi Covid-19,” ujarnya.