Kerugian akibat Kelebihan Muatan dan Dimensi Capai Rp 100 Triliun Per Tahun
Anggaran perbaikan jalan yang rusak dan kemacetan akibat lalu lintas truk dengan muatan dan dimensi berlebih diperkirakan mencapai Rp 100 triliun per tahun. Potensi kerugian bakal makin besar jika pelanggaran berlanjut.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum terhadap pelanggaran truk yang melebihi dimensi dan muatan atau over dimension over loading dinilai masih tarik ulur. Semakin berlarutnya penerapan zero over dimension over loading, potensi kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Dari potensi kerugian itu, dampak serius kecepatan kerusakan infrastruktur jalan mencapai Rp 43 triliun per tahun. Nilai tersebut dilihat dari besaran anggaran perbaikan jalan yang rusak akibat lalu lintas truk dengan muatan dan dimensi berlebih. Adapun kerugian kemacetan lalu lintas jalan diperkirakan mencapai Rp 56 triliun per tahun.
Direktur Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan Suharto dalam Forum Diskusi Virtual ”Pelanggaran dan Solusi ODOL (over dimension over loading)”, di Jakarta, Senin (10/5/2021), mengatakan, ”Prinsipnya, penertiban ODOL akan dilaksanakan dari hulu hingga hilir, dari produksi hingga operasional akan kami awasi.”
Sampai saat ini, kata Suharto, yang ditemukan di lapangan adalah ada para oknum yang sengaja menghindari ketentuan. Sebagai contoh, apabila terdorong niat untuk tertib, tentu mereka melaksanakan proses pengujian kendaraan bermotor di tiap-tiap pemerintah daerah.
Terhadap pelanggaran dimensi, pemilik kendaraan ataupun karoseri akan ditetapkan sebagai tersangka. Karena itu, penegakan pelanggaran terhadap ketentuan itu tidak akan mungkin berdiri sendiri. Tentu butuh kolaborasi kepolisian dan pemangku lain secara permanen. Kementerian Perhubungan telah mengomunikasikan aturan itu kepada pengusaha, karoseri, ataupun asosiasi pengusaha truk.
”(Sanksi atas) Pelanggaran tidak akan dikenakan kepada sopir. Apabila terjadi pelanggaran kelebihan dimensi dan kapasitas, kendaraan tidak diperkenankan melanjutkan perjalanan. Dengan kata lain, mereka akan mengalami penundaan perjalanan. Mau berapa lama? Tentunya ini kesiapan dari pengusaha untuk transfer muatan atau disebut normalisasi,” ucap Suharto.
Suharto mengakui, Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan sesungguhnya sudah memiliki peta jalan tahun 2017. Yang terjadi, banyak sekali pengusaha dari asosiasi meminta relaksasi pelaksanaan zero over dimension over loading. Kemudian, relaksasi ini didukung Kementerian Perindustrian karena pelaksanaan penegakan hukumnya berpengaruh pada nilai logistik ke konsumen yang dikhawatirkan sangat tinggi.
”Banyak sekali tarik ulur. Kalau kami prinsipnya, yang ada disikat. Tapi, tentunya, semangat kami segera menuntaskan zero over dimension over loading tidak harus menunggu tahun 2023. Sayangnya, banyak sekali mitra kami yang mengajukan keberatan penertiban kelebihan muatan dan dimensi sampai tahun 2023, bahkan sampai saat ini banyak surat dari asosiasi untuk minta relaksasi sampai tahun 2025,” kata Suharto.
Kementerian Perhubungan sudah memberikan batas tolerasi. Penegakan zero over dimension over loading semestinya dilakukan 2021, terpaksa ditunda sampai awal 2023.
Atika Dara Parahita, Operation Maintenance Management Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk, mengatakan, dampak pelanggaran kelebihan muatan dan dimensi di jalan tol secara pasti mengganggu kelancaran lalu lintas. Sebab, beban yang dibawa kendaraan itu akan membuat laju kecepatannya sangat rendah.
Dari data PT Jasa Marga, volume capacity (VC) ratio yang diukur baik saat berada di lajur maupun gerbang tol, jumlah kendaraan golongan satu yang melaju di Jalan Tol Jakarta-Cikampek mencapai rata-rata 20,92 persen. Ternyata, VC ratio tercatat 0,95. ”Artinya, semakin besar jumlah kendaraan besar, maka semakin meningkat pula VC ratio ruas. Kecepatannya rata-rata hanya 30-35 kilometer per jam, terutama pada jam sibuk pukul 07.00-09.00,” jelas Atika.
Dampak lain adalah kecelakaan lalu lintas. Hingga Desember 2020, sebanyak 46,96 persen kecelakaan lalu lintas yang terjadi di ruas Jalan Tol Grup Jasa Marga melibatkan kendaraan berat. Meskipun proporsinya hanya 16,01 persen, penyebab kecelakaan didominasi oleh kendaraan barang. Ada kecelakaan tunggal dan kecelakaan beruntun yang disebabkan oleh pelanggaran kelebihan muatan dan dimensi.
Umur perkerasan jalan pun akan terdampak. ”Kalau dihitung menggunakan nilai vehicle damage factor (VDF) atau izin kendaraan yang sudah tidak sesuai dengan VDF di lapangan, kerusakan jalan akan mengalami empat kali lipat muatannya. Tol Jakarta-Cikampek yang, menurut rencana, mencapai umur 10 tahun, ternyata dengan banyaknya pelanggaran ODOL, umur aktualnya menjadi tiga tahun saja,” ujar Atika.
Dari data PT Jasa Marga, biaya pemeliharaan Jalan Tol Jakarta-Cikampek (83 kilometer) tahun 2017-2022 secara normal Rp 11,2 triliun, sedangkan beban riil mencapai Rp 11,6 triliun. Akibat pelanggaran kelebihan dimensi dan muatan, kenaikan riil terhadap biaya normal mencapai 3,1 persen atau senilai Rp 349 miliar untuk membuat perkerasannya kembali maksimal.
Sementara biaya pemeliharaan jalan preventif per kilometer tahun 2017-2020 secara normal Rp 2,2 triliun, sedangkan beban riil Rp 2,4 triliun. Kenaikan riil yang harus ditanggung terhadap biaya normal mencapai 6,2 persen atau sekitar Rp 140 miliar.
Dari perhitungan Jasa Marga, sebetulnya terjadi penurunan persentase kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih di ruas jalan tol Grup Jasa Marga. Tahun 2017 tercatat 61,07 persen, lalu 2018 mencapai 45,49 persen, triwulan I-2019 sebesar 34,21 persen, triwulan II-2019 (37,88 persen), triwulan III-2019 (36,63 persen), dan triwulan IV-2019 (37,95 persen), serta triwulan I-2020 (34,49 persen) dan triwulan IV-2020 (39,68 persen).
Menurut Atika, dari jenis pelanggaran selama operasi penertiban, pelanggaran kelebihan muatan mencapai 38,94 persen dan kelebihan dimensi 2,50 persen. Sementara ketidaklengkapan dokumen kendaraan mencapai 6,58 persen dan pelanggaran lainnya 51,98 persen.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, menegaskan, permintaan relaksasi yang terkesan kuat terjadi tawar-menawar semestinya dihentikan. Jangan ada tawar-menawar lagi. Sebab, pelanggaran kelebihan muatan dan dimensi bisa dilihat sangat merugikan.
”Efeknya, bisa dari sisi keselamatan berkendara dan kemacetan lalu lintas, bahkan dari sisi kerusakan jalan yang menyebabkan biaya besar. Kalau tidak segera dilakukan penegakan hukum berdasarkan aturan-aturan yang telah ada, dikhawatirkan lebih banyak lagi jalan rusak dan kecelakaan lalu lintas,” ujar Ellen.