Kebijakan Bebas Kendaraan Kelebihan Muatan dan Dimensi Perlu Dievaluasi Berkala
Demi mencegah mundurnya lagi kebijakan bebas kendaraan bermuatan dan berdimensi lebih, pemerintah perlu memastikan evaluasi berkala. Pelaksanaannya berulang mundur karena pro kontra berkepanjangan.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesiapan penerapan kebijakan bebas muatan dan ukuran berlebih atau zero over dimension over load secara penuh pada 2023 harus dievaluasi secara berkala. Hal ini ditempuh demi mencegah mundurnya waktu penerapan kebijakan tersebut.
”Jadi harus ada jadwal pelaksanaannya dan kemudian semua pemangku kepentingan ikut mengawasi,” kata pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ketika dihubungi, Selasa (10/3/2020).
Pemangku kepentingan mesti memetakan perusahaan-perusahaan yang berpotensi menggunakan kendaraan yang kelebihan muatan dan atau dimensi. Perusahaan-perusahaan tersebut harus diawasi secara berkala komitmennya dalam menyiapkan diri untuk menerapkan kebijakan tersebut secara penuh.
”(Perusahaan mesti) Ditanya kesanggupannya seperti apa? Kapan? Dan apa saja kesiapannya. Misalnya ada (perusahaan) yang siap tahun 2022, ya, diawasi komitmen dan tahapannya, diperiksa terus,” ujar Djoko.
Selain pengawasan di tingkat pusat, langkah untuk memastikan penerapan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih juga harus dilakukan mulai tingkat daerah. Peran daerah jangan diabaikan dalam upaya tersebut.
"Minimal saat uji kir untuk memeriksa kendaraan; ketika diketahui ada suatu kendaraan yang kelebihan dimensi ya potong! Hal yang seperti itu adalah peran daerah," ujar Djoko.
Terkait hal itu, Djoko menyarankan Kementerian Perhubungan bersinergi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk membantu upaya memastikan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih bisa jalan. Apalagi tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas untuk uji kir.
”Alat-alatnya cukup mahal. Pemerintah pusat dapat memberikan bantuan. Kalau ada daerah yang berprestasi, laporannya lengkap, berikan penghargaan kepada kepala daerahnya,” ujar Djoko.
Keselamatan adalah faktor yang harus diutamakan. Dukungan pemerintah untuk menjaga daya saing produk dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya, melalui subsidi barang, tanpa harus melonggarkan aturan terkait aspek keselamatan.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, pihaknya beberapa waktu lalu diundang rapat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Rapat dipimpin oleh tiga menteri, yakni Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. ”Sudah diputuskan bahwa industri keramik juga masuk ke dalam salah satu industri yang diberikan relaksasi sampai tahun 2022. Jadi mulai 1 Januari 2023 kebijakan itu baru akan diterapkan,” kata Edy.
Menurut Edy, keputusan itu cukup fair. Sebab, apabila langsung diterapkan tahun ini, pelaku industri keramik di Indonesia tidak kuat atau tidak siap. ”Kenapa? Karena, contoh saja, betapa mahal biaya logistik di Indonesia,” ujarnya.
Edy menuturkan Asaki sudah memberi gambaran ke pemerintah bahwa biaya pengiriman dari Jakarta ke Medan bisa mencapai Rp 10 juta per kontainer, sementara dari Jakarta ke Surabaya sekitar Rp 300 per kilogra. ”Kalau bobot satu boks keramik rata-rata 17-18 kg, berarti sudah sekitar Rp 5.000,” ujarnya.
Apabila dipaksakan menaikkan harga jual keramik mengikuti tambahan biaya pengiriman, menurut Edy, hal tersebut saat ini akan menggerus daya saing. Kondisi seperti ini dikhawatirkan menjadi sasaran empuk produk keramik impor.
Jika dipaksakan menaikkan harga jual keramik mengikuti tambahan biaya pengiriman, hal itu akan menggerus daya saing.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, pekan lalu, mengatakan, regulasi terkait bebas kendaraan berukuran dan berdimensi lebih bukanlah regulasi baru. ”Regulasinya sudah lama, tinggal sekarang kita tegakkan aturan itu. Sudah cukup lama pakar mengatakan kita (melakukan) pembiaran. Jadi, kami harapkan semua pihak berperan mulai pemerintah, asosiasi logistik, agen pemegang merek, karoseri, dan lainnya,” kata Budi.
Budi mendorong operator kendaraan truk atau agen pemegang merek yang sudah telanjur tidak sesuai dimensi kendaraannya untuk segera menormalkan kembali.