Jumlah Tangkapan Kapal Eks Asing Akan Dibatasi
Pemerintah berjanji akan menata operasional kapal eks asing. Pengawasan yang masih minim dikhawatirkan membuka celah pelanggaran.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan mengatur kuota tangkapan ikan bagi kapal-kapal buatan luar negeri atau eks asing yang diizinkan kembali beroperasi. Kapal eks asing itu akan diarahkan untuk memanfaatkan potensi lestari ikan yang belum termanfaatkan.
Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi mengemukakan, pemanfaatan kembali kapal ikan eks asing yang selama ini mangkrak akan diatur dengan kuota tangkap. Kuota tangkapan juga akan dibatasi 50 persen dari potensi tangkap lestari yang belum termanfaatkan.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, total potensi stok ikan Indonesia sebesar 12,5 juta ton per tahun, dengan jumlah ikan yang boleh ditangkap untuk potensi lestari sejumlah 10,2 juta ton per tahun. Hingga kini, potensi lestari yang termanfaatkan baru 6,8 juta ton sehingga ada sisa kuota tangkap sebanyak 3,4 juta ton. Sisa kuota tangkap akan dibagi dua untuk dimanfaatkan kapal eks asing dan kapal nelayan kecil.
”Izin kapal buatan luar negeri atau kapal eks asing memang akan kita buka guna memanfaatkan sisa kuota yang belum termanfaatkan. Namun, (izin pemanfaatannya) itu pun hanya 50 persen dari sisa kuota tangkap, selebihnya dipersiapkan untuk nelayan kecil,” kata Wahyu, secara tertulis, Kamis (6/5/2021).
Pemerintah juga mendorong kepastian investasi dan pendapatan bagi negara dari pemberlakuan kapal eks asing melalui opsi sistem bagi hasil, berupa lelang pemanfaatan zona tangkapan yang paling menguntungkan buat negara, sambil menjaga kelestarian lingkungan.
Wahyu menambahkan, beberapa persyaratan operasional kapal buatan luar negeri adalah wajib berbendera Indonesia, menggunakan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) Indonesia, serta alat tangkap ramah lingkungan. Selain itu, hanya boleh beroperasi di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas, serta mendaratkan seluruh hasil tangkapan di pelabuhan dalam negeri.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, peraturan menteri tengah disusun untuk mengakomodasi beroperasinya kapal-kapal buatan luar negeri di zona ekonomi eksklusif dan laut lepas. Saat ini terdata sekitar 680 kapal buatan luar negeri dengan ukuran kapal di atas 30 gros ton (GT) yang mangkrak hampir enam tahun sejak aturan moratorium izin kapal eks asing. Dari jumlah itu, diperkirakan tersisa 445 kapal, yang dimiliki oleh perusahaan dalam negeri (Kompas, 6/5/2021).
Baca juga : Kapal Eks Asing Diizinkan Kembali Beroperasi
Wahyu mengatakan, izin pengoperasian diberikan untuk kapal-kapal eks asing yang belum pernah diproses hukum dengan putusan pengadilan. ”Kalau secara hukum atas putusan pengadilan, mereka (kapal) melakukan pelanggaran, jelas tidak bisa diproses izinnya. Namun, sampai sekarang hanya beberapa unit kapal yang dinyatakan bersalah, dan kapal itu di antaranya sudah dibongkar (scrap),” katanya.
Dari catatan Kompas, hasil analisis dan evaluasi Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (Satgas IUU Fishing) terhadap 1.132 kapal ikan eks asing tahun 2015 menunjukkan, seluruh kapal itu terbukti melanggar. Dari jumlah itu, 769 kapal dinilai melakukan pelanggaran berat dan 363 kapal melakukan pelanggaran ringan.
Perusahaan perikanan dinilai melakukan pelanggaran berat antara lain jika tidak memenuhi lebih dari separuh kriteria penilaian kepatuhan usaha serta terindikasi kuat melakukan tindak pidana, meliputi perdagangan manusia, perbudakan, penggunaan ABK asing, alih muatan ikan di tengah laut (transshipment) untuk dilarikan ke luar negeri, dan kapal berbendera ganda.
Staf Khusus Satgas 115 dan anggota Tim Analisis dan Evaluasi Kapal Ikan yang Dibangun di Luar Negeri Satgas IUU Fishing periode 2014-2019, Fadila Octaviani, mengemukakan, pelaku kapal-kapal eks asing yang terbukti melanggar telah dijerat dengan sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Sanksi pidana diberikan kepada empat grup perusahaan perikanan.
Sanksi administrasi mencakup pencabutan izin usaha perikanan (SIUP) terhadap 15 perusahaan karena melakukan pelanggaran berat. Sementara pencabutan izin penangkapan ikan (SIPI) diberikan untuk 245 kapal karena sejumlah pelanggaran terhadap Undang-Undang Perikanan serta pembekuan SIPI 35 kapal. Selain itu, pencabutan surat izin kapal pengangkutan ikan (SIKPI) sebanyak 31 kapal, pembekuan SIKPI 26 kapal, serta sanksi peringatan untuk 48 SIKPI.
”Pencabutan izin bisa dianggap sebagai pelanggaran berat. Nyawa perusahaan ada di izin. Kalau izin dicabut, perusahaan tidak bisa beroperasi lagi,” kata Fadila yang kini menjabat Direktur Dukungan Penegakan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Staf Khusus Satgas 115 dan anggota Tim Analisis dan Evaluasi Kapal Ikan yang Dibangun di Luar Negeri Satgas IUU Fishing periode 2014-2019, Harimuddin, mengemukakan, hampir semua kapal eks asing yang melanggar adalah kapal berbendera Indonesia dengan kepemilikan modal asing (PMA). Regulasi sudah mengatur bahwa kapal-kapal eks asing itu wajib mendaratkan ikan di pelabuhan Indonesia, mempekerjakan ABK Indonesia, dan melaporkan seluruh hasil tangkapan. Nyatanya, aturan itu diabaikan.
Ia menambahkan, hanya ada sedikit kapal eks asing yang murni kepemilikan dalam negeri (PMDN). Pemerintah perlu becermin dari kasus perikanan ilegal di masa lalu mengingat dibukanya PMA terhadap usaha kapal perikanan tangkap telah memicu banyak pelanggaran.
Pemerintah sudah menerbitkan Perpres No 44/2016 tentang Daftar Negatif Investasi yang menutup usaha perikanan tangkap bagi modal asing. ”Kebijakan itu seharusnya dipertahankan guna menekan potensi pelanggaran,” kata Harimuddin yang kini menjadi Konsultan Hukum IOJI.
Celah pelanggaran
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Muhammad Abdi Suhufan menilai, pengoperasian kembali kapal-kapal eks asing yang sebagian besar dimiliki pemodal asing bukan kebutuhan mendesak. Produksi perikanan tangkap Indonesia sudah relatif stabil meski tanpa kehadiran kapal eks asing.
Di sisi lain, tren pasar perikanan global saat ini sudah tidak lagi mengarah pada jumlah ikan yang ditangkap, tetapi kualitas ikan yang ditangkap dan nilai tambah. Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya mendorong prinsip berkelanjutan dengan tidak menghabiskan potensi stok ikan.
”Pemerintah semestinya membuka mata bahwa tanpa kapal ikan eks asing, produksi tangkap kita sudah stabil. Nelayan pantura yang beroperasi sampai ke Laut Arafura akan kembali resah jika kapal-kapal modal asing kembali masuk,” kata Abdi.
Baca juga : Pencurian Ikan di Natuna Utara Semakin Masif
Ia menambahkan, pengawasan perairan hingga kini masih lemah sehingga dikhawatirkan akan membuka celah pelanggaran baru kapal perikanan. Aparat selama ini sudah kesulitan mengawasi perairan perbatasan dari praktik perikanan ilegal, seperti di Natuna Utara dan Laut Sulawesi.
Selain itu, aparat sulit memantau pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dengan adanya rumpon yang marak dan kapal andon. Beroperasinya kembali kapal-kapal eks asing dan rencana dibukanya penanaman modal asing di kapal perikanan diprediksi akan mempersulit pengawasan menyeluruh.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, keran kapal eks asing akan membuka kembali peluang terjadinya tindak pidana perikanan, mulai dari alih muatan ikan di tengah laut hingga perbudakan awak kapal. Pengawasan yang masih minim juga akan membuka peluang korupsi di sektor perikanan, manipulasi pencatatan hasil tangkapan yang berdampak pada turunnya penerimaan negara.
Masuknya kapal-kapal eks asing ukuran besar di perairan perbatasan di Laut Natuna Utara dan Laut Sulawesi juga akan mengimpit hasil tangkapan nelayan lokal, di mana perairan itu kaya sumber daya ikan.
”Kita kehilangan kesempatan untuk menghadirkan iklim usaha perikanan di dalam negeri dengan memprioritaskan pengelolaan sumber daya ikan pada 100 persen penanaman modal dalam negeri,” katanya.