Kapal buatan luar negeri atau eks asing akan diizinkan kembali beroperasi. Pengawasan perlu ditingkatkan untuk memastikan tidak ada potensi pelanggaran berulang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan bahwa kapal-kapal buatan luar negeri atau eks asing dapat beroperasi kembali. Pengoperasian kapal-kapal itu bertujuan untuk mendorong investasi perikanan tangkap di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas.
Dibukanya kembali izin operasi kapal-kapal buatan luar negeri itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang merupakan aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja. Selain itu, juga merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang, antara lain, mencabut daftar negatif investasi asing terhadap kapal perikanan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, peraturan menteri tengah disusun untuk mengakomodasi beroperasinya kapal-kapal buatan luar negeri di zona ekonomi eksklusif dan laut lepas. Saat ini terdata sekitar 680 kapal buatan luar negeri dengan ukuran kapal di atas 30 gros ton (GT) yang mangkrak hampir enam tahun sejak aturan moratorium izin kapal eks asing. Dari jumlah itu, diperkirakan tersisa 445 kapal.
Kapal-kapal buatan luar negeri yang mangkrak tersebut terindikasi milik perusahaan dalam negeri. Adapun kapal-kapal milik asing umumnya sudah meninggalkan Indonesia sejak pemberlakuan moratorium izin kapal eks asing. Ke depan, penanaman modal asing juga dimungkinkan pada usaha perikanan tangkap, dengan persyaratan, antara lain, wajib mendaratkan ikan di pelabuhan milik Indonesia.
Ia menambahkan, potensi ikan yang belum termanfaatkan saat ini sebanyak 3 juta ton per tahun dari potensi lestari sumber daya ikan sebesar 12,54 juta ton per tahun. Untuk memanfaatkan potensi itu, dibutuhkan sekitar 2.000 kapal ikan dengan ukuran 200-300 GT. Saat ini, kapal yang tersedia dengan ukuran sebesar itu merupakan kapal-kapal buatan luar negeri.
”Pemerintah telah menargetkan peningkatan invesasi di bidang perikanan tangkap serta menaikkan penerimaan negara bukan pajak. Langkah (pengoperasian kapal eks asing) ini bisa menambah investasi dan penerimaan negara. Diharapkan mulai Juni, kapal eks asing sudah bisa mulai beroperasi kembali,” kata Zaini, Rabu (5/5/2021).
Tahun 2021, pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak sektor perikanan tangkap sebesar Rp 1 triliun, atau melonjak dibandingkan dengan capaian tahun 2020 sebesar Rp 600 miliar.
Sebelumnya, larangan kapal eks asing tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, sebagaimana diubah dalam Permen KP Nomor 10 Tahun 2015. Ketentuan itu, antara lain, untuk mencegah kepemilikan modal asing di usaha perikanan tangkap.
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi menyebutkan, usaha perikanan tangkap tertutup bagi modal asing. Usaha penangkapan ikan hanya boleh dilakukan pengusaha nasional dan nelayan Indonesia.
Dari catatan Kompas, hasil analisis dan evaluasi Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (Satgas 115) terhadap 1.132 kapal ikan eks asing tahun 2015 menunjukkan, semua kapal itu terbukti melanggar. Dari jumlah itu, 769 kapal di antaranya dinilai melakukan pelanggaran berat dan 363 kapal pelanggaran ringan.
Perusahaan perikanan dinilai melakukan pelanggaran berat, antara lain, jika tidak memenuhi lebih dari separuh kriteria penilaian kepatuhan usaha serta terindikasi kuat melakukan tindak pidana, meliputi perdagangan manusia, perbudakan, penggunaan ABK asing, alih muatan ikan di tengah laut (transshipment) untuk dilarikan ke luar negeri, dan kapal berbendera ganda.
Zaini mengakui, pelanggaran kapal-kapal perikanan pada masa lalu akan diantisipasi agar tidak berulang melalui pengawasan. Berdasarkan pengalaman, modus-modus pelanggaran kapal umumnya sudah diketahui sehingga pengawasan akan ditingkatkan. Semua hasil tangkapan ikan oleh kapal-kapal yang beroperasi di ZEEI dan laut lepas wajib didaratkan di pelabuhan dalam negeri. ”Apabila nanti dari hasil analisis kami terindikasi hasil tangkapan kapal (eks asing) dinilai tidak wajar, izin usaha bisa kita cabut,” katanya.
Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengemukakan, kapal-kapal buatan luar negeri itu wajib mempekerjakan anak buah kapal (ABK) Indonesia. Adapun nakhoda dari sebagian kapal yang berkewarganegaraan asing akan bertahap beralih ke nakhoda dalam negeri.
”Pemanfaatan ZEEI kita, kan, selama ini minim, tidak banyak kapal nasional kita ke sana karena ukuran kapal kita rata-rata kecil. Untuk mengisi ZEEI, diperlukan kapal-kapal besar, sedangkan ada kapal-kapal eks asing berukuran besar yang mangkrak. Itu perlu dimanfaatkan,” katanya.
Di sisi lain, investasi asing pada usaha kapal perikanan dinilai wajar, seperti halnya di bidang usaha pertambangan dan perkebunan. Untuk itu, sistem pengawasan akan disempurnakan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Muhammad Abdi Suhufan menilai, kapal eks asing yang mangkrak terbagi atas kapal yang masuk daftar hitam akibat pelanggaran berat dan ada pula kapal yang sudah dimiliki perusahaan dalam negeri. ”KKP harus memastikan alas hukum untuk mengizinkan kapal itu boleh kembali beroperasi karena alasan penghentian kapal itu berbeda-beda,” katanya.
Komisaris PT Ocean Mitra Mas Esther Satyono mengemukakan, izin operasional 14 kapal miliknya diberhentikan sejak moratorium kapal eks asing. Dari jumlah itu, sebanyak 6 kapal harus dihancurkan (scrap) sehingga hanya tersisa 8 kapal yang sebagian dalam kondisi rusak. Pihaknya menilai, kapal buatan luar negeri miliknya itu dihentikan akibat regulasi meski tidak terbukti ada pelanggaran.