Tren Peningkatan Ekspor Dibayangi Lonjakan Biaya Logistik
Yang perlu dicermati adalah bagaimana eksportir-eksportir kecil kelas UKM/IKM. Mereka akan kesulitan mendapatkan kapal. Selain itu, lantaran barang yang dikirim lebih sedikit, mereka bisa dikenai tarif lebih mahal.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren peningkatan ekspor di tengah pandemi Covid-19 tengah dibayangi lonjakan tarif kargo peti kemas. Hal ini membuat eksportir dan importir menambah biaya operasional dan bersiasat untuk mereduksi beban biaya tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada triwulan-I 2021 surplus 5,52 miliar dollar AS. Nilai ekspornya 48,9 miliar dollar AS atau melejit 17,11 persen dibandingkan dengan periode sama 2020, sedangkan nilai impornya 43,38 miliar dollar AS atau meningkat 10,76 persen. Kenaikan ekspor dan impor tersebut menunjukkan geliat aktivitas industri nasional.
Namun, tren peningkatan permintaan global dan domestik ini dibarengi dengan lonjakan tarif kargo peti kemas atau kontainer. Freightos Baltic Index (FBX) mencatat, Indeks Kargo Kontainer Global (Global Container Freight Index) dalam kurun waktu setahun ini melonjak drastis. Indeks yang menggambarkan biaya pengiriman kargo peti kemas global per 30 April 2021 sebesar 4.375 dollar AS per kontainer setara 40 kaki (forty-foot equivalent unit/FEU). Angka ini meningkat tiga kali lipat dari posisi 1 Mei 2020 yang sebesar 1.451 dollar AS per FEU.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno, Senin (3/5/2021), mengatakan, tarif jasa kargo global meningkat karena antara permintaan dengan kapasitas kapal kontainer masih belum seimbang. Permintaan produk ekspor dan impor setiap negara masih beragam lantaran pemulihan krisis kesehatan dan ekonominya berbeda-beda.
Kondisi ini kerap menyebabkan ruang kosong dalam pengapalan peti kemas jika kapasitasnya lebih sedikit ketimbang permintaan. Sebaliknya, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan kekurangan ruang kosong jika permintaannya melebihi kapasitas.
”Jika ada ruang kosong, kami cepat-cepat berusaha memanfaatkannya. Namun, jika tidak ada, kami terpaksa mereposisi kontainer kosong dari Hong Kong atau Singapura dengan biaya tambahan masing-masing sekitar 250 dollar AS per TEU (1 TEU setara kontainer sepanjang 20 kaki) dan 150 dollar AS per TEU,” kata Benny saat dihubungi di Jakarta.
Merujuk pada Shanghai Containerized Freight Index (SCFI) periode 18 Desember 2009-9 April 2021, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) juga menunjukkan, tarif ke Amerika Selatan dan Afrika Barat lebih tinggi daripada wilayah perdagangan utama lainnya. Pada awal 2021, misalnya, tarif angkutan dari China ke Amerika Selatan melonjak 443 persen dibandingkan dengan 63 persen pada rute antara Asia dan pantai timur Amerika Utara.
Lonjakan tarif kargo peti kemas ini tidak hanya disebabkan panjangnya rute. Banyak kapal yang ”terjebak” di pelabuhan-pelabuhan sepanjang rute itu karena tidak ada barang yang diangkut balik atau kelangkaan kargo kembali. Selain itu, jasa pengangkutan logistik juga harus menanggung biaya penyimpanan peti kemas kosong dan sandar kapal.
”Negara-negara Amerika Selatan dan Afrika Barat mengimpor lebih banyak barang manufaktur daripada yang mereka ekspor. Mahal bagi operator untuk mengembalikan kotak kosong ke China dalam rute yang panjang,” sebut laporan UNCTAD berjudul ”Shipping during Covid-19: Why Container Freight Rates Have Surged” pada 23 April 2021.
Kondisi ini, lanjut Benny, diperkirakan akan bertahan hingga penawaran dan permintaan kembali mencapai keseimbangan. Kesimbangan itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ini dengan syarat pemulihan krisis kesehatan dan ekonomi di setiap negara semakin merata.
Terkait dampaknya terhadap harga produk ekspor dan impor, hal itu bergantung dengan metode pembayaran pengiriman. Jika menggunakan sistem free on board (FOB), harga produk relatif tidak akan naik. Apabila dengan sistem cost, insurance, dan freight (CIF), harga produk bisa bisa meningkat.
FOB merupakan penyerahan barang yang sudah disepakati antara penjual (eksportir) dengan pembeli (importir) di mana penetapan harga yang dihitung berdasarkan pada nilai barang ditambah semua biaya sampai barang tiba di atas kapal (on board). Adapun CIF lebih menekankan pada kewajiban eksportir menanggung biaya perjalanan hingga sampai di pelabuhan negara tujuan, biaya pengangkutan muatan dan kargo, serta biaya asuransi barang.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, kenaikan biaya pengiriman kontainer secara global memang melonjak 200 persen sampai 500 persen dari kondisi normal. Hal ini terjadi sejak ekonomi China mulai pulih pada Agustus 2020.
Bagi eksportir besar, imbasnya akan relatif lebih sedikit lantaran pengiriman mereka berbasis kontrak dan produknya banyak terkait dengan rantai pasok nilai global. Yang perlu dicermati adalah bagaimana eksportir-eksportir kecil yang kelasnya masih usaha atau industri kecil menengah (UKM/IKM).
”Mereka akan kesulitan mendapatkan kapal. Selain itu, lantaran barangnya yang dikirim relatif lebih sedikit, mereka bisa dikenai tarif lebih mahal. Padahal, kontribusi ekspor UKM/IKM terhadap jasa angkutan kapal ini cukup besar, yaitu 35 persen hingga 40 persen per tahun,” katanya.
Yukki berharap pemerintah bisa memfasilitasi eksportir-eksportir kecil tersebut agar tidak terbebani biaya pengiriman yang relatif lebih mahal. Memang campur tangan pemerintah dalam konteks pengiriman barang ini sangat terbatas karena sifatnya bisnis untuk bisnis. Namun, setidaknya pemerintah dan ALFI bisa menjadi fasilitator negosiasi antara eksportir kecil dan penyedia jasa pengiriman.
Yang perlu dicermati adalah bagaimana eksportir-eksportir kecil yang kelasnya masih usaha atau industri kecil menengah (UKM/IKM). Mereka akan kesulitan mendapatkan kapal. Selain itu, lantaran barangnya yang dikirim relatif sedikit, mereka dikenai tarif lebih mahal.
Sementara itu, PT Krakatau Bandar Samudera (KBS) terus melanjutkan program perkuatan infrastruktur logistik Pulau Jawa melalui anak usahanya, PT Krakatau Jasa Logistik (KJL). KJL telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Terminal Petikemas Surabaya (TPS), Berkah Multi Cargo (BMC), serta PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Kereta Api Logistik (KA Logistik).
Direktur Utama PT KBS Akbar Djohan mengatakan, kerja sama itu diharapkan dapat menghadirkan logistik yang terintegrasi dengan lebih efektif. Dengan demikian, konektivitas angkutan antara sejumlah wilayah di Jawa bagian barat dengan Surabaya dan sekitarnya semakin terpadu. Apalagi, ditopang dengan kereta api yang bisa masuk ke Pelabuhan TPS.
Direktur Utama PT KJL Puji Winarno menambahkan, PT KJL dapat mengoptimalkan rangkaian kereta api dari Surabaya untuk kargo impor atau lokal yang dibongkar di TPS menuju wilayah DKI Jakarta dan Banten. ”Kami juga bisa memenuhi kebutuhan besi dan baja untuk wilayah Indonesia bagian timur dengan memanfaatkan kereta api rute Cilegon-Jakarta langsung menuju sisi dermaga Pelabuhan PTS,” katanya dalam siaran pers, Senin.