Para peternak ayam petelur dan pedaging tengah merugi karena harus menanggung kenaikan ongkos produksi di tengah harga jual yang tidak optimal. Kenaikan harga jagung turut mendongkrak ongkos produksi unggas.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan harga jagung tengah memukul industri perunggasan nasional. Kenaikannya mendongkrak ongkos produksi karena jagung menjadi komponen yang dominan dalam struktur pakan. Sayangnya, harga jual hasil panen mereka tidak optimal.
Harga jagung lokal, menurut data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, berangsur naik dari Rp 3.845 per kilogram (kg) pada Januari 2021 menjadi Rp 4.263 per kg pada April 2021. Namun, laporan sejumlah pelaku industri pakan harganya melonjak signifikan beberapa pekan terakhir.
Di sejumlah sentra industri pakan di Pulau Jawa, harga jagung dilaporkan naik dari Rp 4.600 per kg menjadi Rp 5.500 per kg. Di beberapa gudang pabrik, harga jagung bahkan dilaporkan telah menyentuh angka Rp 6.000 per kg. Padahal, panen masih berlangsung di sejumlah sentra jagung.
Ketua Umum Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) Sholahuddin saat dihubungi pada Selasa (27/4/2021) menyatakan, serangan hama tikus dan ulat grayak menekan hasil panen jagung pada Februari 2021. ”Selain itu, panen raya pada tahun ini berlangsung di tengah curah hujan yang tinggi. Jangankan untuk menyimpan, petani kesulitan mengeringkan jagungnya agar laku,” ujarnya.
Dengan panen yang tak optimal, suplai jagung pun berkurang sebagaimana tergambar dalam tren harganya empat bulan terakhir. Situasi itu berdampak ke industri pakan dan peternak unggas sebagai penyerap sekaligus pengguna jagung yang dominan.
Singgih menyebutkan, harga jual telur ayam di tingkat peternak saat ini berkisar Rp 16.500 per kg hingga Rp 18.000 per kg. Sementara harga daging ayam ras di peternak sekitar Rp 18.500 per kg. Padahal, ongkos produksi kedua komoditas itu berkisar Rp 21.000 per kg hingga Rp 22.000 per kg.
Selain lebih rendah daripada ongkos produksi, harga jual daging dan telur ayam juga lebih rendah daripada harga acuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permenda) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Menurut aturan ini, harga acuan telur dan daging ayam di tingkat peternak Rp 19.000-Rp 21.000 per kg, sementara di tingkat konsumen Rp 24.000 per kg (telur) dan Rp 35.000 per kg (daging ayam).
Stok menipis
Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola berpendapat, kenaikan harga jagung hingga di atas Rp 5.000 per kg menandakan stok dari produksi jagung nasional tengah menipis. Selain harga yang terbentuk, dia menyoroti suplai jagung di pabrik pakan yang rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi kurang dari satu bulan. Padahal, biasanya setelah panen raya pada Februari-April suplai jagung ke pabrik pakan bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi tiga bulan.
Situasi menipisnya stok juga tergambar dari harga yang melebihi acuan. Menurut Permendag No 7/2020, harga acuan jagung dengan kadar air 15 persen ditetapkan Rp 3.150 per kg di tingkat petani dan Rp 4.500 per kg di tingkat pembeli. Dia menilai, apabila impor baru diputuskan saat ini, realisasinya akan terlambat. Apalagi harga jagung dunia tengah naik.
Data yang dihimpun Kementerian Perdagangan, harga jagung di pasar internasional sekitar 222,1 dollar AS per ton atau Rp 4.793 per kg (landed price) bulan ini, lebih tinggi dibandingkan dengan situasi harga di Januari 2021 yang sekitar 202,5 dollar AS per ton atau Rp 4.326 per kg. Dengan demikian, kata Maxdeyul Sola, impor jagung bukan solusi jitu saat ini.
Kalangan petani juga berharap pemerintah tidak mengimpor jagung saat ini. Sebab, kata Sholahuddin, ada panen jagung 1,5 bulan mendatang. Apabila impor dilakukan, harga jagung di tingkat petani pada panen nanti dikhawatirkan anjlok. Saat ini, meski jumlahnya terbatas, masih terdapat jagung di sejumlah sentra, seperti di Nusa Tenggara Barat, yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan.
Para pelaku usaha sektor ini berharap ada solusi atas krisis jagung. Dengan demikian, industri perunggasan nasional bisa tetap mandiri memenuhi kebutuhan sumber protein hewani yang terjangkau masyarakat. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo, kapasitas pabrik pakan yang menganggur saat in sekitar 35 persen.
Kebutuhan jagung untuk industri pakan dan peternak mandiri sepanjang 2021 masing-masing diperkirakan 7,04 juta ton dan 3,71 juta ton. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menyatakan, pihaknya akan menggelar koordinasi teknis untuk mencari solusi untuk meredam dampak kenaikan harga pakan di perunggasan.