Kelangkaan pasokan, lonjakan harga, dan misteri data produksi jagung berulang terjadi dan menghambat gerak industri perunggasan nasional. Tanpa pembenahan serius, swasembada pangan sumber protein hewani bakal tergerus.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Jagung adalah ”duri dalam daging” perunggasan nasional lima tahun terakhir. Kelangkaan pasokan, lonjakan harga, dan misteri data produksi berulang menyelimuti komoditas ini. Padahal, keberadaannya amat menentukan gerak sektor peternakan unggas. Sektor yang digerakkan oleh jutaan peternak, skala kecil hingga besar, sekaligus pemasok bahan pangan utama sumber protein hewani yang terjangkau masyarakat.
Oleh karena porsinya dominan dalam komposisi pakan, fluktuasi harga jagung amat menentukan ongkos produksi serta harga daging dan telur ayam. Sayangnya, problem fluktuasi harga belum sepenuhnya teratasi, sejalan dengan pasokannya yang naik turun. Para peternak dan industri pakan masih saja diliputi ketidakpastian terkait harga dan ketersediaannya di pasar.
Situasi itu terjadi beberapa bulan terakhir. Oleh karena pasokannya menipis, harga jagung pakan melonjak dari sekitar Rp 4.600 per kilogram (kg) di awal tahun 2021 menjadi Rp 5.300 per kg di Maret 2021. Peternak di sejumlah sentra melaporkan harga jagung yang lebih tinggi, Rp 5.500 per kg hingga Rp 5.800 per kg, bahkan mendekati Rp 6.000 per kg di gudang pabrik pakan di Banten.
Siklus paceklik jagung memang berulang terjadi di awal tahun. Namun, tahun ini situasinya beda. Kenaikan harga jagung di dalam negeri sejalan dengan situasi di pasar dunia. Laman tradingeconomics.com mencatat, harga jagung di pasar berjangka Chicago menyentuh 6 dollar AS per gantang (27,2 kg) pada April 2021, angka tertinggi sejak Juli 2013.
Kenaikan harga jagung di pasar internasional terjadi di tengah kekhawatiran atas pengetatan pasokan global dan permintaan yang kuat dari China. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan, pasokan jagung akan menyusut lebih dari perkiraan semula. Hal itu terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan jagung untuk bahan baku etanol, pakan ternak, dan ekspor.
Akan tetapi, keluhan peternak dan industri pakan soal jagung berkebalikan dengan data pemerintah. Kementerian Pertanian memperkirakan, produksi jagung dengan kadar air 15 persen sebanyak11,73 juta ton sepanjang Januari-Mei 2021. Sementara total kebutuhan jagung untuk industri pakan, konsumsi langsung, dan benih, termasuk angka kehilangan atau tercecer, sebanyak 9,44 juta ton selama kurun waktu tersebut. Artinya, ada surplus 2,29 juta ton di lima bulan pertama tahun ini.
Jika benar surplus, kenapa harganya konsisten naik, setidaknya enam bulan terakhir? Apakah hukum besi penawaran permintaan tak berlaku di sini atau data produksinya yang berkabut sehingga tidak mencerminkan kenyataan di lapangan? Di titik ini, kita seolah tidak beranjak sejak bertahun-tahun lalu, berkubang dalam polemik yang dipicu oleh kekacauan data.
Polemik jagung datang seperti penyakit musiman lima tahun terakhir. Kambuh terutama saat paceklik tiba. Sejak pemerintah memutuskan untuk mengurangi dan menghentikan impor jagung tahun 2016, pro-kontra soal ketersediaan jagung timbul tenggelam menyertai situasi pasar. Namun, sejumlah pelaku usaha dan akademisi sepakat, pangkal dari persoalan ini ada pada akurasi data produksi.
Seperti halnya beras di masa lalu, data produksi jagung masih diselimuti kabut. Angka produksi sering mengirim sinyal palsu soal situasi stok di lapangan. Dampaknya, langkah antisipasi kadang tak tepat atau keputusan datang terlambat. Karena itu, perbaikan metode penghitungan produksi mendesak diselesaikan guna menghasilkan data jagung yang akurat. Metode baru penghitungan produksi beras dengan kerangka sampel area kiranya perlu diadopsi untuk menghitung jagung.
Setelah menjernihkan kabut data, energi akan lebih efektif tersalur untuk membenahi problem budidaya, meningkatkan mutu dan produktivitas, serta mengefisienkan proses guna mendongkrak daya saing peternakan nasional. Dengan demikian, sektor yang telah tumbuh dan besar secara mandiri ini bisa berkembang secara berkelanjutan.
Pembatasan impor memang diyakini telah mendorong produksi jagung nasional. Situasi harga memotivasi petani untuk untuk menanam dan meningkatkan produksi jagung. Areal penanaman pun berkembang luas. Namun, kegairahan itu mesti ditopang peta yang jelas, terutama untuk menyokong industri pakan, peternakan, dan perikanan.
Selama ini sudah banyak waktu, energi, dan tenaga terkuras untuk memperdebatkan data produksi serta kecukupan jagung dalam negeri. Pengorbanan itu semestinya cukup. Dengan demikian, para pelaku perunggasan nasional bisa fokus memacu daya saing guna menghadapi tantangan di depan mata, yakni arus besar yang dibawah oleh perdagangan lintas negara. Bukan terus-menerus dibikin bingung oleh data jagung.