Pandemi Covid-19 berpotensi meruntuhkan kesejahteraan petani jagung di Nusa Tengara Barat. Sebelum pandemi terjadi, mereka sudah dihantam sejumlah masalah, seperti serangan hama dan kemarau panjang.
Oleh
Khaerul Anwar
·2 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berpotensi meruntuhkan kesejahteraan petani jagung di Nusa Tengara Barat. Sebelum pandemi terjadi, mereka sudah dihantam sejumlah masalah, seperti serangan hama dan kemarau panjang.
Jagung adalah salah satu komoditas andalan Nusa Tenggara Barat. Data yang dihimpun Kompas, produksi jagung NTB tahun 2019 mencapai 2,2 juta ton dari areal sekitar 200.000 ha. Lahan terbesar ada di Kabupaten Dompu. Dari total produksi itu, 100.000 ton untuk memenuhi kebutuhan lokal provinsi, sisanya dijual kepada pengusaha/penampung untuk disebarkan ke daerah lain.
”Pandemi membuat harga anjlok. Serangan ulat granyak dan kekeringan selama tahun 2019 membuat produktivitas panen raya pertama tahun 2020 ini turun,” kata Managing Director Managing Director PT Rinjani Agri Corpora Dean Novel, Minggu (3/5/2020) di Lombok. Perusahaan ini menjadi salah satu penyerap jagung petani setempat.
Menurut Dean Novel, awal panen raya pada Maret sempat memberikan harapan bagi petani. Harga jagung pipilan kering Rp 4.0000-Rp 4.200 per kilogram. Namun, penerapan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah menurunkan harga itu. Hingga Rabu (29/4/2020), harga jagung pipilan kering Rp 2.800-Rp 2.900 per kg.
Kondisi itu membuat petani di ujung nadir. Mereka merugi akibat terlilit ongkos produksi, seperti harga benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tanam. ”Dengan harga jual saat ini, biaya proses produksi tidak akan tertutupi,” kata Sri Anom, petani jagung Desa Martak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Kondisi itu berimbas pada menurunnya penyerapan hasil panen dari petani ke pedagang pengumpul. Mereka kini banyak menunda pembelian karena seretnya serapan pabrik pakan atau industri end-user atas komoditas jagung.
Petani merugi akibat terlilit ongkos produksi, seperti harga benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tanam.
Sanusi, petani jagung di Desa Labangka, Kecamatan Labangka, Kabupaten Sumbawa, terkejut dengan harga jagung yang menurun drastis. Saat ini harga jagung basah Rp 2.100 per kg dan harga jagung kering hanya mendekati Rp 3.000 per kg.
”Petani jagung sekarang nangis dan kurang semangat panen karena harga rendah dan buruhnya tidak ada,” ujar Sanusi, yang memodali sarana produksi bagi 200 petani.
Ke depan, Dean menyarankan pemerintah segera menyerap hasil panen petani. Selain untuk stabilisasi harga, petani nantinya bakal memiliki kepastian pasar sehingga mitigasi defisit dan krisis pangan dapat diantisipasi sejak dini. Petani juga perlu diberikan kredit usaha rakyat agar kembali berdaya di tengah pandemi.
”Kami saat ini sedang menjalankan skema pembelian jagung petani yang akan kami dijadikan stok dengan menggandeng perbankan nasional. Harapannya, bisa menjadi masukan bagi pengambil kebijakan agar ke depan tidak terjadi krisis pangan,” ucapnya.