Indonesia Minta Minyak Nabati Ditinjau secara Komprehensif
Ekonomi hijau sedang menjadi arus utama di kawasan Uni Eropa.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia meminta tinjauan komprehensif atas minyak nabati dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui kelompok kerja bersama ASEAN dan Uni Eropa. Tinjauan komprehensif itu meliputi ragam minyak nabati yang dihasilkan negara-negara anggota ASEAN serta kajian dampak produksi terhadap lingkungan hidup.
Kelompok kerja bersama tersebut merupakan realisasi komitmen ASEAN-Uni Eropa Ministerial Meeting ke-23 pada 1 Desember 2020. Mengutip siaran pers di laman resmi UE, kelompok ini, salah satunya, sebagai wadah berbagi informasi mengenai produksi minyak nabati serta menciptakan kesepahaman perihal kriteria keberlanjutan dan proses sertifikasinya demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan, kelompok itu semestinya juga membahas minyak nabati lain yang diproduksi negara-negara anggota ASEAN, tidak hanya soal kelapa sawit.
”Saat menghadiri forum dengan negara-negara ASEAN beberapa jam lalu, minyak kelapa juga menjadi sorotan karena ada sejumlah hambatan belakangan ini. Pembahasan mengenai minyak nabati ini merupakan kepentingan bersama ASEAN,” katanya saat membuka acara bincang-bincang dalam jaringan berjudul Strategic Partnership antara Uni Eropa-ASEAN dan Implikasinya bagi Industri Kelapa Sawit, Rabu (31/3/2021).
Pembahasan mengenai minyak nabati ini merupakan kepentingan bersama ASEAN.
Mengutip laman indexmundi.com, anggota ASEAN yang memproduksi minyak kelapa di posisi 15 teratas dunia pada 2020 adalah Filipina, Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Produksi Filipina diperkirakan 1,57 juta ton, sedangkan Indonesia 955.000 ton.
Mahendra menambahkan, tinjauan dampak produksi minyak nabati terhadap lingkungan hidup juga mesti menyeluruh, tidak hanya soal deforestasi. Akan tetapi, juga soal polusi lingkungan serta aspek keanekaragaman hayati.
Salah satu parameter yang digunakan UE untuk mengukur dampak lingkungan akibat bahan bakar nabati (BBN) adalah alih guna lahan secara tak langsung. Berdasarkan parameter ini, BBN berbahan baku minyak sawit tergolong rentan alih guna lahan sehingga proporsinya perlu dikurangi dengan skema yang tertera pada dokumen Delegated Acts Arah Energi Terbarukan II (RED II) UE. Pada 2030, diharapkan proporsinya menjadi nol.
Mahendra menambahkan, Indonesia ingin mendorong kolaborasi riset dan studi di tingkat ASEAN bersama UE mengenai parameter pendekatan dampak lingkungan hidup dalam kerangka SDGs. ”Jangan sampai kita menggunakan indikator yang tidak akademis dan tidak diakui mancanegara,” katanya.
Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket mengatakan, Komisi Eropa tengah meninjau ulang dokumen Delegated Acts RED II dan akan mengumumkan hasilnya pada Juni 2021. Dia menggarisbawahi, tidak ada larangan impor BBN berbahan baku minyak sawit pada 2023 dan 2030.
Dia juga mengetahui, Indonesia tengah menggugat UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai dokumen tersebut karena berdampak terhadap BBN dari minyak kelapa sawit. Menurut dia, WTO menjadi wadah yang tepat untuk menyelesaikan persoalan itu.
Saat ini, ekonomi hijau sedang menjadi arus utama di kawasan UE. ”Generasi muda Eropa menyerukan dengan lantang, model ekonomi yang ada saat ini tidak selaras dengan masa depan mereka. Mereka menilai, kebijakan ekonomi hijau lebih cocok karena memperhatikan aspek lingkungan hidup,” tuturnya.
Generasi muda Eropa menyerukan dengan lantang, model ekonomi yang ada saat ini tidak selaras dengan masa depan mereka.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, kelompok kerja bersama UE dan ASEAN menjadi babak baru bagi komoditas kelapa sawit Indonesia. ”Hal ini juga menyangkut kepentingan besar kedua belah pihak dalam perdagangan,” ujarnya.
Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan menambahkan, UE merupakan pasar ekspor terbesar ketiga produk minyak sawit Indonesia. Spanyol, Italia, dan Belanda menjadi importir terbanyak dan biasanya akan mengekspor kembali ke Jerman dan Belgia.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum di Bidang Studi Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Indonesia mesti memiliki kendali dan memastikan kepentingan nasionalnya tidak dianulir dalam kelompok kerja bersama UE dan ASEAN. Tim negosiatornya harus memperhatikan kelangsungan kelompok kerja secara rinci. (JUD)