Pemerintah akan merevisi Peraturan Menteri Keuangan tentangtata cara penjaminan pemerintah melalui badan usaha penjaminan untuk mendorong penyaluran kredit melalui program penjaminan penjaminan pemerintah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
DOKUMENTASI KEMENTERIAN KEUANGAN
(Dari kiri ke kanan) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto dalam acara bertajuk “Temu Stakeholder untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional” yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (25/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyempurnakan peraturan penjaminan kredit usaha untuk memancing agar penyaluran likuiditas perbankan ke sektor riil semakin deras. Akselerasi penyaluran kredit diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi mulai triwulan II-2021.
Dalam acara bertajuk ”Temu Stakeholder untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional” yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (25/3/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, Kementerian Keuangan akan merevisi peraturan terkait penjaminan kredit usaha. Revisi ini bertujuan agar kredit yang disalurkan perbankan dapat mengalir lebih deras, dan dunia usaha makin berminat mengajukan kredit.
”Lewat revisi itu, industri bisa lebih leluasa melakukan akses kepada pembiayaan. Sebab pemerintah melihat kredit belum mengalir secara maksimal, padahal berbagai upaya relaksasi sudah dilakukan,” kata Sri Mulyani dalam acara yang disiarkan juga secara virtual tersebut.
Lewat revisi itu, industri bisa lebih leluasa melakukan akses kepada pembiayaan. Sebab pemerintah melihat kredit belum mengalir secara maksimal, padahal berbagai upaya relaksasi sudah dilakukan.
PMK yang dimaksud adalah (PMK) Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Revisi regulasi ini untuk mendorong penyaluran kredit melalui program penjaminan penjaminan pemerintah.
Dalam peraturan ini, pemerintah menunjuk PT Jaminan Kredit Indonesia (Persero) atau Jamkrindo dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) atau Askrindo untuk melaksanakan penjaminan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hal ini dalam rangka melindungi, meningkatkan, dan mempertahankan kemampuan ekonomi para pelaku usaha sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya.
Dengan skema penjaminan tersebut, pemerintah mendorong penyaluran kredit dari perbankan kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adapun pokok-pokok materi yang diatur dalam PMK 71/2020 adalah dukungan fasilitas pembayaran imbal jasa penjaminan yang dibayarkan pemerintah kepada pelaku usaha UMKM serta proses dan tata cara permohonan penjaminan.
Penyempurnaan peraturan tersebut, lanjut Sri Mulyani, dilakukan agar berbagai level usaha pada sektor riil dapat lebih leluasa melakukan akses kepada pembiayaan. Penyempurnaan juga diharapkan membuat perbankan lebih berani menyalurkan pinjaman dengan suku bunga kredit yang rasional.
HIMBARA
Data yang diolah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menunjukan grafik penurunan suku bunga perbankan terjadi sejalan dengan penurunan suku bunga kredit.
Dengan demikian, pemulihan ekonomi di triwulan II-2020 dapat terakselerasi sesuai dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari Kementerian Keuangan. Pada triwulan tersebut, ekonomi nasional diharap bisa tumbuh 7 persen, naik tajam dari realisasi triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo mengimbau kepada seluruh bank di Indonesia agar segera menurunkan suku bunga kredit. Penurunan suku bunga kredit bertujuan memberi stimulus kredit dunia usaha sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2021 sesuati target BI di rentang 4,3 persen hingga 5,3 persen.
Berdasarkan pantauan BI sejak akhir 2020 hingga awal 2021, bank konvensional yang secara konsisten menurunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) adalah bank milik badan usaha milik negara (BUMN) anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Adapun beberapa bank swasta yang juga sudah menurunkan SBDK adalah PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
”Kami berharap perbankan segera menurunkan suku bunga kredit dan segera salurkan kredit. Di tengah pandemi masih berlangsung, masih banyak sektor usaha yang mampu mencatatkan performa positif,” ujar Perry.
Baki debet
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, pertumbuhan kredit perbankan hingga 28 Februari 2021 masih minus 2,15 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontraksi pada bulan Februari tercatat lebih dalam dibandingkan dengan Januari 2021 yang mencapai negatif 1,92 persen.
Pertumbuhan kredit ini masih rendah karena penurunan baki debet dari sejumlah debitor besar. Berdasarkan kelompok 200 debitor terbesar sejak Maret 2020 hingga Februari 2021, terdapat 116 debitor yang mengalami penurunan baki debet dengan rata-rata kontraksi mencapai negatif 17,5 persen.
Baki debet adalah saldo pokok dari plafon pinjaman yang telah disepakati dalam perjanjian kredit dan biasanya akan berkurang jika angsuran rutin dilakukan atau sesuai jadwal pembayaran oleh debitor.
”Saat kami telusuri, terdapat 200 debitor yang mencatatkan penurunan baki debet karena memang modal kerjanya tidak memerlukan sebesar sebelum Covid-19. Tapi ini tidak masalah, nanti kalau demand naik akan butuh modal kerja lebih banyak,” ujarnya.
OJK mencatat pertumbuhan kredit mulai terlihat positif pada kelompok bank BUMN dan Bank Pembangunan Daerah masing-masing 1,45 persen dan 5,68 persen di Januari 2021. Sementara itu pada periode yang sama, kelompok bank umum swasta nasional mencatatkan penurunan pertumbuhan kredit mencapai negatif 5 persen. Adapun kelompok bank asing terkontraksi hingga negatif 25 persen.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai risiko ketidakpastian ekonomi yang tinggi selama masa pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan.
Relatif tingginya biaya dana dan biaya operasional pendapatan operasional bank umum menjadi salah satu penyebab lain bank, terutama bank swasta, enggan buru-buru merespons kebijakan suku bunga BI yang saat ini berada di level terendah sepanjang sejarah.
”Dari sisi efisiensi rata-rata bank di Indonesia, BOPO (rasio beban operasional dan pendapatan operasional)-nya 86,58 pada Desember 2020. Ini menggambarkan besarnya biaya operasional bank di tengah sempitnya ruang pendapatan operasional saat pandemi,” kata Eko.