Upaya Bulog menyerap hasil panen petani dinilai tidak akan optimal tanpa adanya jaminan penyaluran. Fungsi stabilisasi harga melemah seiring berkurangnya penyerapan dan penyaluran.
Oleh
Agnes Theodora / M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan beras oleh Perum Bulog belum bisa diandalkan untuk menyelamatkan harga gabah di tingkat petani pada panen raya pertama tahun 2021. Ketidakpastian penyaluran menghadang langkah Bulog untuk mengoptimalkan kemampuannya menyerap gabah atau beras petani.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso meyakini adanya potensi surplus beras tahun ini. Potensi produksi itu dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah (CBP). ”Kalau diminta menyerap 2 juta ton, kami sanggup karena kemampuannya ada. Persoalannya, setelah diserap, beras itu akan dipakai untuk apa? Apalagi, program-program (penyaluran) di hilir semakin minim,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar Relawan Perjuangan Demokrasi, Kamis (25/3/2021).
Menurut dia, rata-rata penyaluran beras CBP oleh Bulog saat ini berkisar 50.000 ton per bulan. Program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) menjadi kanal terbesar. Dalam setahun, penyaluran beras untuk KPSH bisa mencapai 600.000 ton. Dengan demikian penyerapan maksimal yang bisa dilakukan perusahaan berkisar 800.000 ton.
Potensi produksi yang menjadi acuan Bulog, kata Budi, adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian. BPS memproyeksikan produksi padi sepanjang Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton setara beras atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2019 dan 2020 yang masing-masing mencapai 13,63 juta ton dan 11,46 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan beras nasional untuk konsumsi sepanjang Januari-April 2021 diperkirakan 9,72 juta ton. Dengan demikian, pada periode yang sama terdapat surplus beras mencapai 4,81 juta ton.
Sampai Kamis (25/3/2021) pagi, realisasi pengadaan beras oleh Bulog dari produksi dalam negeri mencapai 158.000 ton, sekitar 10,8 persen dari target penyerapan 1,45 juta ton tahun ini. Adapun stok beras yang dikelola Bulog mencapai 943.000 ton.
Harga anjlok
Di tengah polemik tentang rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras tahun ini, harga gabah di tingkat petani anjlok. Jumlah wilayah yang melaporkan kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) bertambah seiring meluasnya area panen.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menyebutkan, per Rabu (24/3/2021), terdapat 459 kecamatan di 85 kabupaten yang melaporkan harga di bawah HPP yang ditetapkan Rp 4.200 per kilogram (kg) untuk gabah kering panen (GKP). Kasus harga gabah di bawah HPP paling banyak terjadi di Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Di Jawa Timur, menurut Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur, harga gabah Rp 3.400-Rp 3.500 per kg GKP. Sementara di Lampung, harga jual GKP di tingkat petani Rp 3.700-Rp 4.200 per kg. Di Cirebon, menurut pantauan Kompas sepekan terakhir, harga gabah Rp 3.300 per kg-Rp 3.700 per kg GKP.
”Apabila tidak ada upaya penyerapan gabah petani secara besar-besaran, dalam beberapa hari mendatang, harga gabah dipastikan hancur. Hingga saat ini, upaya penyerapan besar-besaran itu belum terlihat,” ujar Ketua KTNA Jawa Timur, Suyanto, Kamis (25/3).
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pihaknya berupaya mengatasi problem turunnya harga gabah, antara lain dengan meminta Bulog meningkatkan serapan. ”Apabila saat ini rata-rata serapan Bulog Kantor Wilayah Jawa Timur 1.500 ton per hari, harapannya bisa 2.000 ton per hari,” ujarnya.
Pihaknya juga usul agar Presiden Joko Widodo agar menugaskan Kementerian BUMN membantu mengoptimalkan penyerapan beras petani. Langkah ini pernah ditempuh sebelumnya dengan melibatkan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara).
Kepala Perum Bulog Kantor Wilayah Jawa Timur Khozin mengatakan, pihaknya telah mengerahkan satuan tugas ke daerah sentra untuk menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya. ”(Bulog) Jawa Timur memiliki gudang berkapasitas 1,2 juta ton yang masih kosong karena stok beras saat ini hanya 230.000 ton,” ujarnya.
Terkait rencana impor 1 juta ton beras, DPR meminta pemerintah menundanya karena dinilai tidak memiliki dasar yang kuat. Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P Aria Bima, meminta pemerintah memprioritaskan penyerapan gabah petani.
Sejumlah indikator menunjukkan produksi dan ketersediaan beras masih memadahi. Pengambilan keputusan impor lewat rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga tidak jelas. Pasalnya, sejauh ini, tidak ada narasi yang sejalan antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Bulog terkait hasil rakortas tersebut.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Ono Surono, juga menyoroti dasar pengambilan keputusan impor berdasarkan situasi global yang menghadapi ancaman krisis pangan. Sebab, krisis yang dimaksud tidak terjadi di dalam negeri.
Komisi IV sepakat menolak impor dilakukan pada Maret-Mei 2021.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, Ketua Komisi IV DPR, Sudin menyatakan, Komisi IV sepakat menolak impor dilakukan pada Maret-Mei 2021. Sebab mayoritas petani sedang memasuki masa panen raya.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menolak memberi keterangan terkait hasil rakortas serta desakan penundaan impor. Saat dihubungi, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud meminta Kompas bertanya ke Kementerian Perdagangan. ”Kebijakannya di sana (Kementerian Perdagangan),” ujarnya.
Sementara Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Mugiharso tidak merespons panggilan telepon dan pesan singkat dari Kompas. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi juga tidak merespons panggilan telepon dan pesan singkat dari Kompas. (NIK/IKI/GER/MEL)