Kenaikan realisasi penerimaan sejumlah jenis pajak pada Februari 2021 dinilai mengindikasikan pulihnya aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat. Namun, pemulihan masih menghadapi tantangan terkait penanganan Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan penerimaan negara dari berbagai jenis pajak pada Februari 2021 mengindikasikan pemulihan aktivitas ekonomi. Namun, pemulihan masih akan menghadapi tantangan, terutama terkait pengendalian Covid-19 dan keberhasilan vaksinasi.
Hingga 28 Februari 2021, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 219,2 triliun, tumbuh 0,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Realisasi itu terutama ditopang oleh pertumbuhan penerimaan cukai dan peningkatan bea keluar seiring kenaikan harga komoditas.
Sementara itu, penerimaan pajak sampai akhir Februari 2021 mencapai Rp 146,1 triliun. Angka itu masih terkontraksi 4,8 persen, tetapi lebih baik ketimbang situasi akhir Januari 2021 yang terkontraksi 15,3 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam telekonferensi pers APBN Kita 2021, Selasa (23/3/2021), menyatakan, ada empat jenis penerimaan pajak yang sudah mulai masuk ke zona positif pada akhir Februari 2021. Keempat jenis pajak itu adalah Pajak Penghasilan (PPh) final yang tumbuh 4,48 persen dibandingkan dengan tahun lalu, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) tumbuh 8,14 persen, PPN impor tumbuh 1,14 persen, dan PPh 26 tumbuh 19,47 persen.
Penerimaan PPN dalam negeri yang tumbuh positif menandakan konsumsi masyarakat tahun ini membaik dibandingkan dengan tahun lalu meski pandemi Covid-19 masih menekan daya beli masyarakat.
Menurut Sri Mulyani, PPN DN yang tumbuh positif menandakan konsumsi masyarakat tahun ini membaik dibandingkan dengan tahun lalu meski pandemi Covid-19 masih menekan daya beli masyarakat. Adapun penerimaan PPN impor naik sejalan dengan peningkatan impor barang modal dan barang konsumsi.
”Jadi, dibandingkan dengan Februari tahun lalu, dari komposisi PPN DN dan PPN impor terlihat pemulihan ekonomi mulai terjadi. Pemerintah akan mengawal dan mengakselerasi pemulihan ini,” katanya.
Ia menambahkan, meski masih berada di level negatif, penerimaan pajak mengindikasikan pemulihan. Pasalnya, kontraksi pada Februari 2021 menipis jika dibandingkan dengan Januari 2021. ”Kontraksi menipis juga didukung akumulasi penerimaan PPN yang Februari ini melonjak hingga 5,2 persen dibandingkan tahun lalu,” ujarnya.
Kementerian Keuangan mencatat, berdasarkan jenisnya, empat pos penerimaan pajak yang terkontraksi ialah PPh Pasal 21 negatif 5,8 persen, PPh 22 impor (negatif 22,14 persen), PPh orang pribadi (negatif 12,51 persen), dan PPh badan (negatif 39,54 persen).
Sri Mulyani menuturkan, kontraksi pada penerimaan PPh Pasal 21, PPh 22 impor, dan PPh badan terjadi seiring penggelontoran insentif perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional 2021. Tahun ini, pemerintah melanjutkannya untuk menanggung pajak karyawan, pembebasan PPh 22 impor, dan diskon angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50 persen.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, secara terpisah, mengingatkan, perguliran ekonomi yang lebih baik pada tahun ini tidak akan langsung membuat ekspansi dunia usaha kembali normal seperti sebelum pandemi. Akibatnya, penerimaan pajak juga naik melambat. ”Peningkatan ekonomi sangat bergantung pada penanganan Covid-19 dan vaksinasi. Di sisi lain, distribusi vaksin masih terbatas,” katanya.
Eko memperkirakan pemerintah bakal merevisi target pendapatan pajak. Ia juga menduga realisasi penerimaan pajak tahun ini akan tergerus, mengingat pemerintah cenderung menggelontorkan insentif pajak, seperti diskon untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan PPN properti.
Tekan defisit
Sementara itu, per Februari 2021, defisit APBN mencapai Rp 63,6 triliun. Sri Mulyani mengatakan, meski naik 2,8 persen ketimbang posisi Februari 2020, defisit anggaran pada awal tahun ini 0,36 persen produk domestik bruto (PDB), lebih rendah daripada posisi Februari 2020 yang tercatat 0,4 persen PDB. Menurut dia, akselerasi belanja negara diperlukan untuk mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
Hingga 28 Februari 2021, pendapatan negara tercatat Rp 219,2 triliun, tumbuh 0,7 persen dibandingkan dengan capaian pendapatan negara pada 29 Februari 2020 sebesar Rp 217,6 triliun. Adapun belanja negara hingga 28 Februari 2021 sebesar Rp 282,7 triliun, naik 1,2 persen daripada periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 279,4 triliun.
Sri Mulyani menyatakan, akselerasi belanja negara bertujuan mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan realisasi belanja negara di awal tahun ini ditopang oleh kenaikan belanja pemerintah pusat (BPP) yang hingga 28 Februari telah mencapai Rp 179,7 triliun, naik 9,2 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), Deni Ridwan mengatakan, defisit ini akan dipenuhi melalui strategi pembiayaan yang terukur. Yakni melalui penerbitan surat utang dan pinjaman.
”Pembiayaan akan dilakukaan dengan dua sumber utama, yaitu penerbitan surat berharga negara (SBN) dan dari pinjaman atau loan. dalam kondisi penuh ketidakpastian, fleksibilitas antar-instrumen pembiyaaan sangat penting,” katanya.
Sebelumnya, lembaga pemeringkat Fitch Ratings mempertahankan peringkat utang atau sovereign credit rating Indonesia pada peringkat BBB (investment grade) dengan outlook stabil. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, afirmasi peringkat utang Indonesia merupakan bentuk pengakuan internasional atas stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah.