Data melimpah bisa memudahkan, tetapi bisa pula membuat masalah.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Orang tengah mengagung-agungkan data dan informasi. Sebenarnya tidak ada yang salah, tetapi pengelolaan dan pengendalian data perlu lebih menjadi perhatian. Mereka yang kelak jadi pemenang adalah yang mampu mengelola, cermat, dan kritis terhadap data.
Sebuah wawancara yang dilakukan kolumnis The New York Times, Shira Ovide, dengan penulis buku tentang kecerdasan buatan, Cade Metz, menarik untuk menjadi perhatian kita. Kecerdasan buatan berbasis jaringan kerja otak pada masa lalu tidak bisa dikerjakan karena tidak cukup data dan tidak ada komputer dengan kemampuan memproses yang tinggi.
Kini, data melimpah dan bisa dipungut di internet. Komputer juga bisa memproses data dengan kecepatan tinggi. Orang berimajinasi, kecerdasan buatan bisa bekerja melampaui kecerdasan manusia tanpa cacat. Cade mengingatkan, kecerdasan buatan tidak akan seperti itu. Kecerdasan buatan mempunyai cacat. Data yang diumpankan manusia ternyata juga tetap mempunyai bias seperti bias jender, warna kulit, dan geografi.
Oleh karena itu, beberapa waktu lalu mulai ada kritik terhadap aktivitas pengumpulan data dengan teknologi digital. Analisis bisnis Profesor Julian Birkinshaw dari London Business School mengatakan, informasi memang tidak akan menjadi barang antik.
Namun, di masa mendatang tak cukup hanya bermodal informasi melimpah untuk sukses. Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa mendapat data secara efisien, mampu memilah, dan menganalisisnya.
Data yang diumpankan manusia ternyata juga tetap mempunyai bias seperti bias jender, warna kulit, dan geografi.
Data melimpah bisa memudahkan, tetapi bisa pula membuat masalah. Orang akan malas dan tidak kritis ketika data melimpah sehingga bisa percaya begitu saja dengan data dan sistem pengolahannya. Data yang melimpah juga bisa memunculkan ketakutan baru karena tidak bisa menangani sehingga malah membiarkan data begitu saja.
Kita bisa mengambil contoh data melimpah yang kadang menyesatkan saat mengambil kesimpulan. Kekalahan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden AS pada 2016 menjadi bahan kajian menarik dari sisi pengelolaan data. Konsultan Clinton memiliki data profil pemilih yang nyaris komplet hingga membentuk mahadata. Mereka juga menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk membuat analisis harian, tetapi ternyata gagal.
Sebuah buku berjudul The AI Delusion membahas, salah satunya, masalah yang menimpa tim Clinton. Buku ini memberi pesan, komputer yang digunakan untuk mendapatkan data memang hebat, tetapi tetap memiliki keterbatasan.
Komputer dengan kemampuan menambang data bisa membuka kebenaran yang tersembunyi, tetapi kemampuan itu memberi bayang-bayang seolah komputer lebih hebat dari manusia sehingga orang lebih percaya komputer.
Berbagai keputusan Clinton disebutkan berdasarkan pemrosesan mahadata dengan fasilitas kecerdasan buatan bernama Ada. Tim percaya dengan semua data itu dan sangat jarang ada yang mengintervensi atau setidaknya melawan keputusan komputer.
Contoh lain adalah berbagai layanan berbasis digital yang selalu menyertakan pemeringkatan bagi layanan mereka. Sebuah aplikasi pemesanan akan memberi pelanggan kesempatan untuk menilai mereka. Orang akan memakai pemeringkatan itu untuk mengambil keputusan. Layanan dengan peringkat tinggi akan diambil, sedangkan peringkat rendah tidak dilirik.
Sebuah aplikasi pemesanan akan memberi pelanggan kesempatan untuk menilai mereka.
Sekali-sekali, kita berpikir berbeda. Pada layanan dengan peringkat tinggi, carilah satu atau dua konsumen yang memberi peringkat rendah dan perhatikan komentarnya. Sebaliknya, ketika Anda melihat layanan dengan peringkat rendah, coba cari konsumen yang memberi peringkat tinggi dan lihat pula komentar. Kita akan mendapatkan hal-hal unik dari komentar para konsumen sehingga kita mungkin bisa bersikap lain.
Jika seorang pimpinan puncak bisnis fokus pada data semata, akan ada yang tertinggal dalam ”perahu” korporasi. Obsesi pada data belaka akan menggiring mereka pada sebuah kesimpulan dan tidak memberi peluang kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Kasus di dalam bursa saham juga bisa menjadi contoh. Setiap saat data tersedia ketika kita akan membeli atau menjual saham. Informasi sangat melimpah, tetapi para pemain saham yang hebat pasti pernah terjerembab meski memiliki banyak informasi.
Buku berjudul The Righteous Mind mungkin bisa mengingatkan kita bahwa kemampuan nalar dan strategi kita ternyata berada di bawah ”pengaturan” intuisi saat mengambil keputusan.
Kita bisa saja memiliki data melimpah dan sistem pemrosesan hebat, tetapi tidak otomatis menjamin kita mampu membuat pilihan yang tepat. Pengalaman lebih diperlukan sehingga intuisi terasah. Sangat boleh jadi, ketika kita lekat dengan data begitu saja, kita menjadi tidak kritis. Data malah bisa menjadi kutukan. (ANDREAS MARYOTO)