Hati-hati dengan Pasar Beras Dunia, Optimalkan Produksi Dalam Negeri
Produksi beras dunia periode 2020/2021 diperkirakan lebih rendah dibandingkan konsumsi dan stok akhir diproyeksinya turun untuk pertama kali dalam 14 tahun terakhir. Indonesia perlu memastikan produksi dalam negeri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan harga serta perbandingan antara produksi dan konsumsi beras dunia mencerminkan situasi yang patut diwaspadai. Sebaliknya, potensi kenaikan produksi beras Indonesia mendapatkan sorotan dari lembaga internasional. Oleh sebab itu, produksi beras dalam negeri dinilai patut menjadi andalan pemenuhan kebutuhan dan cadangan pemerintah ketimbang impor.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengumumkan, Kamis (4/3/2021), indeks harga beras dunia pada Februari 2021 berada di posisi 116. Indeks ini naik 1,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan lebih tinggi 11,4 persen dibandingkan Februari 2020.
Sementara Economic Research Service Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memublikasikan Rice Outlook yang ditulis Nathan Childs pada Februari 2021. Publikasi itu memproyeksikan, produksi beras dunia pada periode 2020/2021 mencapai 504 juta ton, sedangkan konsumsi global 504,2 juta ton. Stok akhir pada 2020/2021 diprediksi berkisar 178,1 juta ton atau lebih rendah sekitar 200.000 ton dibandingkan periode setahun sebelumnya. Penurunan stok akhir tersebut diperkirakan menjadi yang pertama selama 14 tahun terakhir.
Publikasi yang sama juga menggarisbawahi potensi kenaikan produksi beras Indonesia. Sepanjang periode 2020/2021, produksi beras Indonesia diproyeksikan naik 2,3 persen dari periode tahun sebelumnya menjadi 35,5 juta ton. Kenaikan itu dilandasi peningkatan potensi luas panen lantaran musim hujan yang datang lebih awal.
Menanggapi data-data tersebut, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014, Bayu Krisnamurthi, menilai, ada indikasi tekanan dari pasar beras dunia yang harganya cenderung meningkat.
”Pasar beras di tingkat dunia bersifat pasar yang tipis. Selama 20-30 tahun terakhir, beras yang diperdagangkan (antarnegara) berkisar kurang dari 10 persen. Pada tahun ini, situasi pasar beras dunia tidak seleluasa sebelumnya. Oleh sebab itu, kita perlu mengantisipasinya dengan keyakinan terhadap kondisi (perberasan) di dalam negeri,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (7/3/2021).
Indonesia dapat menguatkan keyakinannya terhadap produksi beras dalam negeri dengan pemantauan serta pendataan kuantitas dan kualitas stok di tiap titik rantai pasok, dari panen, penggilingan, hingga pasar konsumen. Kualitas beras hasil panen raya pada Maret-April 2021 patut menjadi sorotan lantaran berpotensi mengandung kadar air lebih tinggi sehingga membutuhkan bantuan pengering yang efektif dan efisien.
Saat ini, Bayu menilai, produksi beras nasional menghadapi tantangan ganda, yakni jatuhnya harga di tingkat petani dan potensi kenaikan harga di tingkat konsumen. Selain akibat penurunan kualitas hasil panen, harga gabah di tingkat petani anjlok juga karena tidak optimalnya penyerapan Perum Bulog dan kenaikan jumlah produksi saat panen raya. Harga di tingkat konsumen berpotensi naik lantaran proses pengeringan gabah di musim hujan membutuhkan waktu dan biaya tambahan.
Semakin anjlok
Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia Zainal Arifin Fuad menyatakan, petani tengah menanggung rugi karena harga gabah kian anjlok ke bawah ongkos produksi. ”Ongkos produksi kami berada di atas HPP (harga pembelian pemerintah). Berdasarkan laporan yang kami himpun, harga gabah jatuh hingga Rp 3.700 per kilogram,” katanya saat dihubungi.
Nilai HPP diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Menurut regulasi itu, HPP gabah kering panen untuk pengadaan cadangan beras pemerintah sebesar Rp 4.200 per kg.
Selain itu, Zainal juga mempersoalkan dualisme fungsi Bulog dalam menjalankan fungsi bisnis dan kewajiban pelayanan masyarakat (PSO). Menurut dia, dualisme itu membuat Bulog tak dapat optimal menyerap gabah atau beras dari dalam negeri sehingga proteksi harga petani goyah.
Agar kualitas gabah hasil panen raya saat ini terjaga sehingga harganya tak tertekan, dia mengharapkan realisasi bantuan pengering. Dia berharap pemerintah dapat menyalurkan bantuan ke daerah-daerah yang kualitas gabahnya mengandung kadar air tinggi berdasarkan pemetaan maupun pendataan yang telah dikumpulkan.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengimbau, target penyerapan beras oleh Bulog sepanjang 2021 dinaikkan dari 1,4 juta ton menjadi 2,5 juta ton.
”Serapan sebanyak 1,4 juta ton sulit membentuk harga yang layak bagi petani. Serapan Bulog ini penting karena menjadi sinyal bagi pengepul dalam menetapkan harga,” katanya.