Biaya gasifikasi batubara menjadi DME jauh lebih mahal ketimbang biaya impor elpiji. Kebijakan proyek gasifikasi batubara tersebut perlu dipertimbangkan lebih matang agar subsidi tak membengkak.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan dimetil eter atau DME berpotensi membengkakkan subsidi. DME direncanakan untuk menggantikan elpiji yang sekitar 70 persen dari total konsumsinya di Indonesia diperoleh dari impor. Berdasar kajian, biaya produksi DME dari gasifikasi batubara lebih mahal ketimbang harga elpiji.
Analis keuangan energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Ghee Peh mengatakan, butuh biaya besar untuk menghilangkan kadar air yang terdapat di dalam batubara berkalori rendah. Batubara kalori rendah adalah bahan baku utama dalam proyek gasifikasi batubara di Indonesia.
Biaya produksi DME lebih tinggi dibandingkan biaya impor elpiji saat ini. Dari kajian IEEFA, biaya produksi DME per ton bisa mencapai 470 dollar AS atau lebih tinggi dari impor elpiji saat ini yang harganya 365 dollar AS per ton.
”Apabila di Indonesia memproduksi 1,5 juta ton DME per tahun, akan ada potensi kerugian 377 juta dollar AS per tahun,” ujarnya dalam webinar mengenai riset IEEFA tentang proyek hilirisasi batubara, Selasa (2/3/2021).
Menurut Ghee, dengan harga yang lebih mahal, menjadi tidak masuk akal apabila proyek gasifikasi batubara menjadi DME dilanjutkan. Apabila dikenai subsidi pada produk DME, nilainya akan lebih tinggi dari subsidi elpiji yang sudah ada saat ini. Ia mengatakan bahwa harga DME harus lebih murah 30 persen dari harga elpiji agar bisa bersaing.
”Selain itu, energi yang dihasilkan DME hanya 62 persen dari energi yang dikeluarkan elpiji dan 69 persen dari energi yang dikeluarkan bahan bakar solar. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa proyek gasifikasi batubara akan sulit mendapatkan keekonomiannya,” katanya.
Harga DME harus lebih murah 30 persen dari harga elpiji agar bisa bersaing.
Di acara yang sama, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, menuturkan, proyek gasifikasi batubara yang digagas pemerintah saat ini buah dari tidak konsistennya kebijakan di bidang energi. Berawal dari konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah juga menjalankan proyek gas rumah tangga dan mendorong pemakaian kompor listrik. Semua ditujukan untuk mengurangi konsumsi elpiji yang sebagian besar diimpor.
”Kebijakan energi kita mudah sekali berubah dan tak konsisten. Ganti ini, ganti itu. Padahal semuanya membutuhkan subsidi. Begitu juga pada gasifikasi batubara. Akhirnya, subsidi terus diberikan dan tak habis-habis,” ujarnya.
Terkait gasifikasi batubara, pemerintah membebaskan royalti hingga nol persen bagi perusahaan tambang batubara yang melakukan hilirisasi batubara, seperti proyek gasifikasi menjadi DME. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu menyampaikan, royalti nol persen dikenai terhadap volume batubara yang dipakai perusahaan untuk proyek hilirisasi. Kebijakan tersebut diberikan lantaran ongkos investasi hilirisasi batubara di Indonesia terbilang mahal.
”Untuk menghasilkan DME sebanyak 1,5 juta ton per tahun, perusahaan membutuhkan investasi hampir 2 miliar dollar AS atau setara Rp 28,2 triliun. Selain itu, hanya hilirisasi batubara yang merupakan proyek strategis nasional atau menghasilkan produk strategis yang berhak memperoleh royalti nol persen,” ucap Arifin.
Royalti nol persen dikenai terhadap volume batubara yang dipakai perusahaan untuk proyek hilirisasi.
Kementerian ESDM melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sudah menguji coba penggunaan dimetil eter sebagai pengganti elpiji untuk skala rumah tangga. Ada tiga tipe pengujian, yaitu tabung gas yang berisi 100 persen DME, tabung berisi 50 persen DME dan 50 persen elpiji, serta tabung dengan komposisi 20 persen DME dan 80 persen elpiji. Pengujian dilakukan di Palembang, Sumatera Selatan, dan di DKI Jakarta sejak akhir 2019 hingga awal 2020.
”Hasil uji terap menunjukkan, nyala api DME berwarna biru dan api mudah dinyalakan. Hanya saja, waktu memasak menggunakan DME 1,2 kali lebih lama dibandingkan menggunakan elpiji. Secara teknis, pemanfaatan DME 100 persen layak dan bisa menggantikan fungsi elpiji,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Balitbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Badan usaha di dalam negeri yang sedang menggarap proyek gasifikasi batubara menjadi DME adalah PT Bukit Asam Tbk. Bukit Asam menggandeng PT Pertamina (Persero) dan Air Products, perusahaan Amerika Serikat selaku pemilik teknologi gasifikasi, dalam proyek yang dijadwalkan komersial pada 2025 tersebut. Lokasi pabrik di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan kebutuhan batubara 6 juta ton per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun.