Dilema ”Tarik Rem” dan ”Injak Gas”
Transportasi jadi sektor yang paling terpukul oleh pandemi Covid-19. Tahun lalu, seiring meluasnya penularan virus dan langkah pembatasan, sektor ini tumbuh minus 15,04 persen di tengah dilema antara ”gas” dan ”rem”.
Pembatasan mobilitas demi mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan sektor transportasi tumbuh minus atau terkontraksi tahun 2020. Ketika pembatasan dilonggarkan, kontraksi berkurang seiring meningkatnya mobilitas warga. Namun, penambahan kasus positif Covid-19 mengkhawatirkan. Menjaga mobilitas sembari mengendalikan penularan virus menjadi tantangan serius sektor transportasi di tengah pandemi.
Setahun lalu, tepatnya 2 Maret 2020, pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Mobilitas lalu dibatasi sebagai ikhtiar mencegah penyebaran Covid-19. Sektor transportasi pun terkontraksi di tengah pandemi yang hingga kini belum juga teratasi.
Menghadapi risiko penyebaran virus korona jenis baru, pemerintah tidak memilih opsi karantina wilayah. Padahal, opsi ini oleh sebagian kalangan dinilai paling efektif untuk mencegah penyebaran virus dari daerah terjangkit ke daerah lain.
”Senjata pamungkas” berupa karantina wilayah tidak dimanfaatkan di saat awal Indonesia dihadapkan pada penularan virus korona. Musuh yang sedemikian tangguh daya penularannya ini dihadapi dengan ”senjata lebih ringan”, yakni pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Melalui kebijakan PSBB ini, mobilitas masyarakat masih terjadi karena beberapa aktivitas ekonomi tetap bergerak meski terbatas. Meski tidak seketat karantina wilayah, PSBB jilid I mulai 10 April-4 Juni 2020 tak urung juga menurunkan mobilitas warga.
Berkurangnya pergerakan masyarakat, misalnya akibat penerapan kerja dari rumah dan sekolah dari rumah, menghantam sektor transportasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lapangan usaha transportasi dan pergudangan terkontraksi cukup dalam di triwulan II-2020, yakni tumbuh minus 30,80 persen.
Menimbang berbagai kondisi, pemerintah kemudian melonggarkan pembatasan, yakni melalui PSBB transisi sejak 5 Juni-13 September 2020. Sektor transportasi dan pergudangan di triwulan III-2020 tercatat tumbuh minus 16,71 persen.
Baca juga : Membangun Wajah Baru Turisme
Meski masih terkontraksi, pertumbuhan minus sektor ini tidak sedalam triwulan sebelumnya, saat PSBB diterapkan penuh. Tren perbaikan ini berlanjut pada triwulan IV-2020 ketika sektor transportasi dan pergudangan tumbuh minus 13,42 persen.
”(Kontraksi) Ini masih cukup dalam, tapi tidak sedalam triwulan II-2020 maupun triwulan III-2020,” kata Kepala BPS Suhariyanto saat merilis pertumbuhan ekonomi, 5 Februari 2021.
Selama pandemi ini, semua moda transportasi terkontraksi dengan kedalaman bervariasi. Sebagai gambaran, di triwulan IV-2020, angkutan udara terkontraksi paling dalam, yakni tumbuh minus 53,81 persen.
Angkutan rel juga terpukul, yakni tumbuh minus 45,56 persen. Angkutan sungai, danau, dan penyeberangan tumbuh minus 12,28 persen. Sementara itu, angkutan darat dan angkutan laut masing-masing tumbuh minus 3,50 persen dan minus 1,19 persen.
Adaptasi
Esensi pengendalian transportasi di masa pandemi Covid-19, seperti dituturkan pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno, adalah mencegah penularan virus korona baru. Covid-19 dapat menular melalui percikan liur atau lendir saat manusia berbicara, bersin, atau batuk.
Serangkaian aturan beperjalanan pun kemudian dibuat pemerintah yang intinya ingin mencegah penularan Covid-19 di sarana transportasi. Semua pihak didorong berperilaku baru, terutama memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan dengan sabun di air mengalir.
Kapasitas angkut sarana transportasi pun dibatasi tidak sampai penuh demi memenuhi prinsip jaga jarak tersebut. Penumpang di berbagai moda transportasi juga mesti memenuhi sejumlah persyaratan sebelum diizinkan berangkat.
Sebut misalnya kewajiban pelaku perjalanan udara menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau hasil nonreaktif rapid tes antigen. Selain wajib menggunakan masker, pelaku perjalanan pun dilarang berbicara satu arah maupun dua arah melalui telepon atau secara langsung sepanjang perjalanan.
Para penumpang juga dilarang makan minum sepanjang perjalanan yang kurang dari dua jam, terkecuali untuk kepentingan kesehatan, seperti minum obat. Perilaku baru yang coba dibiasakan bagi para penumpang itu menjadi bagian upaya mengamankan perjalanan dari potensi paparan Covid-19.
Baca juga : Risiko Masih Membayangi Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2021
Memasuki Februari 2020, GeNose C19—yakni alat deteksi Covid-19 melalui embusan napas—digunakan untuk memeriksa pemenuhan persyaratan perjalanan penumpang kereta api jarak jauh. ”Kami harus memastikan mereka yang akan melakukan perjalanan aman dari paparan Covid-19,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat meninjau uji coba penerapan GeNose di Stasiun Pasar Senen, 3 Februari 2021.
Setelah diterapkan di moda kereta api, GeNose kemudian juga disiapkan untuk moda transportasi laut dan udara. Uji coba perdana penerapan GeNose pada transportasi laut dilakukan di Terminal Penumpang, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/2/2021).
Sementara itu, penggunaan GeNose di sektor angkutan udara direncanakan dimulai 1 April 2021 mendatang. Penerapan GeNose di simpul-simpul transportasi, menurut Budi Karya, diperlukan agar masyarakat dapat mengakses alat pendeteksi Covid-19 yang lebih terjangkau.
Terkait adaptasi yang dilakukan pelaku usaha, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat Ateng Aryono mengatakan, operator angkutan berkomitmen menerapkan protokol kesehatan. Langkah ini untuk menjaga masyarakat yang tetap membutuhkan layanan transportasi di tengah pandemi.
”Selain penerapan prinsip 3M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan), pembersihan dan disinfeksi kendaraan pun dilakukan secara berkala,” kata Ateng ketika dihubungi, Jumat (26/2/2021).
Mengacu kondisi pandemi Covid-19 dan upaya-upaya pengendaliannya setahun terakhir, kepercayaan publik bertransportasi menggunakan bus tetap ada meski relatif tidak bergerak. Setidaknya hal ini tergambar dari tingkat okupansi bus yang belum menunjukkan peningkatan.
Baca juga : Korona Memantik Kesadaran akan Kesehatan di Angkutan Umum
”Okupansi masih bergerak di kisaran itu-itu saja. Semeriah-meriahnya itu, paling 40-50 persen saja okupansinya. Bahkan ada rute-rute tertentu yang sekali jalan penumpangnya sangat sedikit, 10 persen pun tidak sampai,” kata Ateng.
Namun, lanjut Ateng, patut dicatat bahwa ceruk pasar dari penumpang yang memang rutin bergerak menggunakan bus tetap terjaga ketika para operator bus menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Peluang inovasi pun terbuka meski menghadapi tantangan di sisi investasi.
Menurut Ateng, pelaku usaha angkutan jalan dapat melakukan upaya seperti ditempuh pelaku angkutan udara. Penggunaan filter menjadikan sirkulasi udara di kabin udara baik karena memungkinkan penggantian udara dengan udara bersih. ”Namun, dibutuhkan biaya besar untuk menggunakannya di angkutan jalan,” ujarnya.
Menurut Ateng, penjagaan agar penumpang benar-benar sehat, termasuk melalui upaya pendeteksian dengan biaya terjangkau, kini menjadi harapan. Organda belum berani meramal pada posisi optimistis situasi ke depan.
Namun, lanjut Ateng, bisnis transportasi hanya akan berjalan ketika ada pergerakan. Perbaikan tingkat kesehatan karena dorongan protokol kesehatan, vaksinasi, dan lainnya dibutuhkan untuk memulihkan pergerakan.
Sementara itu, ekonom transportasi dan energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Alloysius Joko Purwanto menilai penyebaran Covid-19 tidak cukup hanya ditekan melalui pengendalian mobilitas. Upaya memutus rantai penularan virus korona mesti dilakukan sistematis dan menyeluruh di berbagai aspek kehidupan manusia. Penelusuran dan pelacakan juga menjadi hal penting yang harus dijalankan.
Hal yang juga penting adalah menghindarkan semua pihak dari bahaya lupa terhadap keharusan meningkatkan kapasitas di sisi kesehatan dan lainnya. Kelupaan atau kelalaian berpotensi terjadi ketika, misalnya, telah ada vaksinasi. Apalagi berbagai upaya mulai PSBB, PSBB transisi, yang dilakukan selama ini belum juga mampu melandaikan kasus positif Covid-19.
Baca juga : Beradaptasi Menghadapi Pandemi
”Fenomena panic then forget, sekarang panik atau susah menderita (akibat pandemi) tapi kemudian lupa lagi begitu ada vaksin, harus dihindari,” kata Joko.
Menurut Joko, pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga di banyak hal, termasuk sisi kesehatan, tingkat pemahaman dan kedisiplinan masyarakat, serta aspek lainnya. Peningkatan kesiapan di berbagai aspek tersebut dibutuhkan mengingat pandemi Covid-19 boleh jadi bukanlah pandemi terakhir.
Tanpa pembelajaran, lanjut Joko, ketika nanti ada pandemi lain, maka penderitaan secara fisik maupun ekonomi akan terulang lagi, tak terkecuali di sektor transportasi. Siklus penderitaan akibat lupa seperti ini mesti dihindari.
Pada akhirnya, meminjam ungkapan Milan Kundera yang dikontekskan kondisi terkini, perjuangan manusia melawan Covid-19 kiranya juga adalah perjuangan manusia melawan lupa.